tirto.id - Sebulan belakangan, wacana kelaziman baru (new normal) digulirkan pemerintah Indonesia. New normal dimaknai sebagai skenario untuk mempercepat penanganan COVID-19 dalam aspek kesehatan dan sosial-ekonomi. Pemerintah juga mengumumkan rencana untuk mengimplementasikan skenario new normal dengan mempertimbangkan studi epidemiologis dan kesiapan regional.
"Presiden mengharapkan new normal ini diimplementasikan dengan beberapa pertimbangan," kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto setelah rapat terbatas pada Senin (18/5/2020), seperti dikutip laman Sekretariat Kabinet.
Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto telah mengeluarkan kebijakan nomor HK.01.07/MENKES/328/2020 pada 20 Mei tentang Panduan Pencegahan dan Pengendalian COVID-19 di Tempat Kerja Perkantoran dan Industri dalam Mendukung Keberlangsungan Usaha pada Situasi Pandemi.
Pedoman itu ditujukan untuk memberikan acuan pengelola tempat kerja di instansi pemerintah, perusahaan swasta, BUMN, serta dinas kesehatan provinsi dan kabupaten/kota saat masa PSBB dan setelah PSBB berakhir. Terawan berharap protokol kesehatan diterapkan karena kerumunan orang di tempat kerja punya risiko penularan virus SARS-CoV-2.
”Untuk itu pasca-pemberlakuan PSBB dengan kondisi pandemi COVID-19 yang masih berlangsung, perlu dilakukan upaya mitigasi dan kesiapan tempat kerja seoptimal mungkin sehingga dapat beradaptasi melalui perubahan pola hidup pada situasi COVID-19 atau New Normal,” ujar Terawan.
Seiring bergulirnya wacana ini, ada 4 provinsi dan 25 kabupaten/kota yang akan menjalankan skenario kelaziman baru. Empat provinsi yakni Sumatra Barat, DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Gorontalo. Sedangkan kabupaten/kota di antaranya adalah Surabaya dan Malang.
Hingga kini kelaziman baru memang belum diwujudkan menjadi kebijakan resmi. Namun begitu, terlampau riskan untuk menerapkannya dalam waktu dekat, di saat kurva kasus positif COVID-19 belum juga melandai. Itu artinya, derajat penularan virus masih tinggi di masyarakat.
Buktinya, per 6 Juni pukul 12.00, penambahan pasien positif COVID-19 harian tercatat 993— sehingga total kasus di Indonesia mencapai 30.514.
Ini adalah penambahan harian tertinggi sejak pandemi melanda Indonesia pada awal Maret. Sebelumnya, berdasarkan data dari laman covid19.go.id, penambahan terbanyak terjadi pada 21 Mei, yaitu 973 kasus.
Laporan harian per 6 Juni juga menyebut pasien sembuh mencapai 9.907 kasus, atau bertambah 464 orang. Sementara pasien meninggal bertambah 31 orang menjadi 1.801. Kemudian Orang Dalam Pemantauan (ODP) tercatat 46.571, sementara Pasien Dalam Pengawasan (PDP) sebanyak 13.347.
Kondisi ini jelas belum ideal. Kendati kasus positif menurun, tak serta merta berarti COVID-19 benar-benar lenyap. Pemerintah semestinya waspada sebelum benar-benar menerapkan protokol new normal. Ketika PSBB dicabut dan new normal dijalankan orang yang selama ini dibatasi jadi lebih leluasa bergerak. Meskipun protokol kesehatan sudah dibuat, pergerakan orang yang meningkat itu tetap rawan menimbulkan lonjakan infeksi baru.
Ini bukan hal baru. Pandemi-pandemi besar di masa lalu tak pernah datang hanya dalam satu gelombang. Dalam soal ini, kita bisa bercermin pada sejarah pandemi flu Spanyol 1918.
Gelombang Pertama yang Diremehkan
Pada 4 Maret 1918 seorang prajurit di Camp Funston, Kansas, Amerika Serikat dilaporkan menderita influenza. Tak ada yang khawatir saat itu. Influenza adalah penyakit musiman yang sering menyerang. Namun, tak sebagaimana lazimnya, influenza kali ini lebih cepat menular dan tampak lebih ganas.
Pada akhir bulan itu otoritas Camp Funston melaporkan 1.100 tentara yang tinggal di sana menderita influenza dan 38 di antaranya tewas. Masih belum ada yang menaruh perhatian atas kasus ini. Padahal virus sudah mulai menyebar ke kamp militer lain dan bahkan ke kota-kota di sekitarnya.
Para tentara yang terinfeksi pun membawa virus itu menyeberang ke medan Perang Dunia I ketika mereka dikerahkan ke Eropa. Seperti jerami terbakar di musim kemarau, wabah influenza lalu berjangkit di Inggris, Perancis, Spanyol, dan Italia. Para sejarawan meyakini itulah gelombang pertama dari pagebluk yang kini dikenal sebagai pandemi flu Spanyol.
“Setidaknya tiga perempat personel militer Perancis terinfeksi dan setengah pasukan Inggris terinfeksi pada musim semi 1918. Namun, gelombang pertama wabah ini tampaknya tidak terlalu mematikan—dengan gejala mirip demam tinggi dan malaise yang biasanya hanya berlangsung tiga hari. Berdasarkan data kesehatan masyarakat yang terbatas saat itu, tingkat kematiannya mirip dengan flu musiman,” tulis Dave Roos di portal History.
Para tentara menyebutnya penyakit “demam tiga hari”. Meski derajat virulensinya tinggi, virus ini dianggap tak seberapa mematikan.
Seorang dokter militer Inggris melaporkan bahwa 10.313 personel Angkatan Laut Inggris terjangkit influenza selama Mei dan Juni, tapi hanya 4 yang meninggal. Laporan dari Angkatan Darat Perancis juga menunjukkan fenomena yang sama. Di salah satu pos yang dihuni 1.018 tentara, tercatat 688 di antaranya sempat dirawat karena influenza. Dari jumlah yang sakit, 49 orang dilaporkan meninggal.
Memasuki musim panas di bulan Juli, baik di AS maupun di Eropa wabah itu mereda. Sebuah buletin terbitan Angkatan Darat AS di front Perancis pun mengklaim bahwa “epidemi hampir berakhir”. Inggris pun mengabarkan hal serupa. Namun tidak semua orang optimis wabah telah berlalu.
“Para dokter Amerika yang peduli pada upaya eradikasi wabah paham bahwa Amerika belum lepas dari ancaman selama varian influenza ganas ini tetap aktif di antara tentara mereka,” tulis Paul Kupperberg dalam The Influenza Pandemic of 1918-1919 (2008: 27).
Kecurigaan itu terbukti benar sebulan kemudian. Epidemi influenza dengan gejala yang lebih parah mulai merebak lagi pada Agustus.
Gelombang Kedua Mengganas
Pada pertengahan Agustus beberapa pelabuhan di pantai timur AS mulai kedatangan tentara yang ditarik mundur dari Eropa. Seturut catatan Kupperberg, ada sebagian kecil tentara yang kembali dalam keadaan terjangkit influenza. Apa yang terjadi selanjutnya mudah diduga: flu Spanyol mulai berjangkit lagi.
Pada 20 Agustus otoritas kesehatan masyarakat New York kembali melaporkan munculnya kasus infeksi influenza baru. Peningkatan kasus juga terjadi di Boston, lokasi pangkalan Angkatan Laut yang menjadi transit tentara dari Eropa, sejak 27 Agustus. Dari kota itulah gelombang kedua pandemi flu Spanyol yang lebih mematikan meledak di AS.
"Pada satu hari saja, 1.543 tentara di kamp dilaporkan sakit. Pada 22 September, hampir 20 persen kamp menderita influenza [...] Dalam beberapa hari sebagian dokter dan perawat ikut jadi korban gara-gara bekerja sepanjang waktu untuk merawat pasien. Mereka kewalahan dan rumah sakit terpaksa menolak pasien baru," tulis Kupperberg (hlm. 32).
Angka kematian akibat wabah flu Spanyol di seluruh dunia meroket dari September hingga November 1918. Di AS, catat Roos, 195.000 orang tewas gara-gara influenza. Lain itu, statistik juga menunjukkan fenomena aneh yang membedakan flu Spanyol dengan flu musiman. Pada umumnya influenza menyerang orang-orang dengan kondisi imunitas rendah, bisa usia anak-anak atau orang sepuh. Berkebalikan dengan ini, flu Spanyol justru berakibat fatal pada mereka di rentang usia prima, antara 25 hingga 35 tahun.
Gejala flu Spanyol juga terlihat lebih ganas daripada flu biasa. Sejarawan John M. Barry, berdasarkan catatan seorang dokter AS bernama Roy Grist, menyebut gejala flu Spanyol mulanya tak ada beda dari flu biasa. Namun hanya dalam beberapa jam saja seseorang yang terinfeksi mengalami pneumonia. Beberapa jam kemudian pasien mulai menunjukkan gejala sinosis karena kekurangan oksigen.
“Virus penyebab pandemi 1918 selain menginfeksi sel-sel saluran pernapasan bagian atas, juga menyusup hingga paru-paru, merusak jaringan dan sering menyebabkan pneumonia,” tulis Barry dalam artikelnya di Smithsonian Magazine.
Mengapa gelombang kedua pandemi flu Spanyol bisa lebih berbahaya dari yang pertama?
Jawaban langsung dan terang adalah belum memadainya sains medis saat pandemi terjadi. Di masa itu belum ada mikroskop dengan teknologi yang cukup untuk mengamati organisme sekecil virus. Pengembangan vaksin pun belum sehebat sekarang. “Dan lagi, para profesional medis terkemuka pada 1918 masih meyakini bahwa flu disebabkan oleh bakteri yang dijuluki basil Pfeiffer,” tulis Roos.
Berkelindan dengan kondisi itu, virus flu Spanyol pun mengalami mutasi selama transmisi dari manusia ke manusia. Penyebab utama flu ini adalah virus influenza tipe A subtipe H1N1, varian influenza yang sama sekali baru saat itu. Kurangnya pemahaman atas virus ini dan gejala penyakit yang ditimbulkannya kemudian diperparah oleh obat yang salah.
Dokter di AS menganggap flu Spanyol tak jauh beda dengan flu musiman sehingga mereka meresepkan aspirin sebagai obatnya. Saat itu dosis aspirin yang disarankan biasanya adalah 30 gram per hari—dosis yang saat ini diketahui justru meracuni tubuh.
Tentang ini laman History menulis, “Keracunan aspirin menyebabkan hiperventilasi dan edema paru, penumpukan cairan di paru-paru, dan sekarang diyakini bahwa banyak kematian pasien flu Spanyol sepanjang Oktober sebenarnya disebabkan atau dipercepat oleh keracunan aspirin itu.”
Di luar penjelasan medis tersebut, pergerakan tentara selama perang dan politik perang turut bertanggung jawab atas peningkatan kematian selama gelombang kedua pandemi. Pada kasus AS, menyebarnya virus dari instalasi militer ke kota-kota yang berdekatan dengannya—bahkan hingga seberang lautan—jelas tidak bisa dilepaskan dari perpindahan tentara selama Perang Dunia I.
Kepentingan perang pula yang membuat beberapa negara enggan mengambil kebijakan karantina. Sebabnya jelas: karantina membuat produksi kebutuhan perang menurun. Di Inggris, seorang pejabat pemerintahan bernama Arthur Newsholme menolak menutup pabrik amunisi dan kebijakan karantina yang berisiko melemahkan posisi Inggris dalam perang.
AS setali tiga uang dengan Inggris. Penelitian Barry mengungkap bahwa pemerintah AS bahkan menerbitkan undang-undang khusus yang melarang orang “menghasut” pembatasan produksi kebutuhan perang selama pandemi. Para penghasut ini bahkan diancam hukuman penjara 20 tahun. Itu belum ditambah dengan kelakuan para pejabat publik yang meremehkan risiko flu Spanyol.
“Di seluruh negeri, pejabat publik berbohong. Surgeon General Rupert Blue mengatakan, ‘Tidak ada alasan untuk khawatir jika warga memperhatikan prosedur pencegahan’. Dinas Kesehatan Masyarakat New York City menyatakan bahwa mayoritas orang yang dilaporkan sakit influenza bukan ‘gara-gara virus flu Spanyol’ atau menderita ‘penyakit bronkial jenis lain’,” tulis Barry.
Dengan respon macam itu tak heran AS pun terseok-seok mengatasi pandemi. Ketidaksigapan pemerintah AS merespons pandemi juga disebabkan terbatasnya jumlah tenaga medis. Para dokter dan perawat muda—di bawah umur 45—dikerahkan otoritas militer AS untuk kepentingan perang.
“Kekurangan perawatan yang parah karena ribuan perawat telah dikerahkan ke kamp-kamp militer dan garis depan. Kondisi makin runyam karena Palang Merah Amerika menolak menggunakan perawat Afrika-Amerika yang terlatih sampai pandemi terburuk berlalu,” tulis Ross.
Sudah bebal, rasis pula.
Editor: Ivan Aulia Ahsan