tirto.id - “Para tentara yang terinfeksi penyakit meninggalkan jejak yang menyedihkan di antara para wanita, anak-anak, dan orang-orang non-kombatan (yang jelas-jelas tidak ikut berperang),” tulis Guy Carleton Jones, dokter bedah militer, dalam suratnya yang dikirim pada sekitar Agustus 1914, sebagaimana dikutip Mark Osborne Humphries dalam “Paths of Infection: The First World War and the Origins of the 1918 Influenza Pandemic” (2014).
Meskipun jauh dari medan perang, lanjut surat yang dikirim Jones, “kengerian perang muncul pada warga sipil, pada anak yang tidak bersalah, pada non-kombatan yang tinggal di rumah.”
Dalam sejarah manusia, wabah atau penyakit yang menginfeksi massa terkait erat dengan perang dan penaklukan. Humphries menyebut wabah Yustinianus melanda Kekaisaran Bizantium pada abad ke-6, misalnya, muncul karena ada semacam “balas dendam” dari rakyat Afrika Utara kepada kota-kota utama kekaisaran, melalui biji-bijian yang kemudian diketahui mengandung virus Yersinia pestis. Pada pertengahan abad ke-14, Wabah Hitam (Black Death) menyebar melalui para pelaut asal Italia yang rakus berdagang dan melakukan penaklukan. Tatkala Spanyol menginvasi Aztec dan Inca pada abad ke-16 dan Inggris menganeksasi Timur Tengah, tepatnya di Oman, pada 1821, dunia kedatangan cacar dan kolera tak lama setelahnya.
Tentu saja ada alasan logis mengapa wabah dan perang atau penaklukan berkorelasi positif. Dalam studinya, Humphries menyatakan bahwa di medan perang atau area penaklukan, "mobilisasi pasukan internasional besar-besaran mungkin telah memfasilitasi berkembangnya pandemi.”
Curhatan dr. Jones, menurut Humphries, merupakan bentuk pengulangan sejarah. Tatkala Perang Dunia I berangsur-angsur mereda pada 1918, Flu Spanyol menyebar ke seluruh dunia. Kali ini penyebabnya adalah “gerakan besar-besaran pasukan yang ditarik mundur.” Virus dicurigai berasal dari Cina, persisnya dari para anggota Chinese Labour Corps (CLC), paramiliter bentukan Pemerintah Kolonial Inggris selama Perang Dunia I. Gerak CLC sangat fleksibel, dari Cina ke Amerika Utara, ke Eropa, ke Afrika, dan kemudian kembali lagi ke Cina.
Studi Humphries menunjukkan salah satu terbitan harian Toronto Globe memuat judul besar di halaman depan berbunyi: “Epidemi Pneumonia di Salah Satu Provinsi Cina Muncul.”
Flu Spanyol, wabah yang disebabkan virus influenza A subtipe H1N1, muncul dalam tiga gelombang. Pertama, sekitar musim semi 1918 (sekitar bulan Maret), gelombang kedua hadir pada musim gugur (sekitar September), dan terakhir penyakit ini menggelembung lagi di tengah masyarakat di antara Natal dan tahun baru, yang pada akhirnya membuat orang-orang Dominika menamai wabah ini “Christmas Cold” atau "Flu Natal".
Pada 1918-1919, sebagian masyarakat dunia pun harus ikhlas merelakan Natal berlalu tanpa kemeriahan. Kini, masyarakat di berbagai belahan dunia juga mesti menerima lebaran 2020 tak seperti lebaran tahun-tahun sebelumnya akibat penyebaran SARS-CoV-2, virus di balik COVID-19.
Karantina dan Berhari Raya
“Sayangku, aku minta maaf. Karena Karantina yang kujalani aku tidak dapat mengirim hadiah Natal, tapi, kumohon, terimalah cintaku,” tulis Hardy, anggota militer AS yang berasal dari pangkalan militer Douglas, Arizona dalam kartu pos berukuran 8,5 x 14 cm yang dikirim ke alamat Mishawaka, Indiana, tertanggal 21 Desember 1918.
Svenn-Erik Mamelund, dalam studi berjudul “Influenza, Historical” (2017) menyebut bahwa penyakit bernama influenza--yang tercipta karena kemunculan virus Orthomyxoviridae dan keturunannya--muncul mula-mula di zaman Mesir dan Yunani Kuno, sekitar 2500 tahun lalu. Waktu itu, tulis Mamelund, “manusia mulai menjinakkan dan hidup dekat dengan binatang, seperti babi dan burung.”
Influenza sendiri, sebagai kata, muncul kali pertama pada 1357, tatkala penyakit ini menginfeksi masyarakat di sekitaran Florensia, Italia, dan orang-orang di sana berkata “influenza di freddo,” sebagai frasa “yang menunjuk pada penurunan suhu tubuh secara tiba-tiba.”
Namun, bukan Mesir dan Yunani Kuno maupun Italia yang mempopulerkan penyakit influenza kepada dunia, melainkan flu Spanyol, wabah yang disebabkan virus influenza A subtipe H1N1. Menurut Mamelund, flu Spanyol adalah salah satu wabah penyakit yang paling menghancurkan dalam sejarah umat manusia, yang menyebar ke segala penjuru Bumi pada 1918 hingga 1919, dan menginfeksi 1,8 miliar jiwa, dengan 50 hingga 100 juta jiwa diperkirakan tewas hanya dalam waktu kurang dari setahun.
Noah Kim, dalam laporannya untuk The Atlantic, menuturkan ketika flu Spanyol menyebar karantina merupakan senjata yang digunakan untuk menghindar dari infeksi. Tentu, 1918 berbeda dengan 2020. Kebijakan lockdown yang dilakukan kala itu, tulis Kim, terasa sebagai “pengalaman yang sangat sepi.”
Terinfeksi dan (mungkin) menjadi korban tewas karena flu Spanyol memang menakutkan, tetapi “orang-orang yang hidup di awal abad ke-20 haru berhadapan dengan kemungkinan hilangnya ikatan komunitas yang kuat karena lockdown. Sebuah pengalaman yang bagi banyak orang bahkan melebihi ketakutan akan kematian.”
Salah satu ketakutan yang harus dihadapi masyarakat dunia yang hidup tatkala flu Spanyol menyerang manusia adalah hilangnya perayaan Natal yang membuat banyak orang gelisah.
Sebagaimana dikisahkan James Derek Shidler dalam studi berjudul “A Tale of Two Cities: The 1918 Influenza” (2010) suasana Natal di tengah flu Spanyol sepi karena karantina. Salah satu terbitan Mattoon Journal-Gazette, harian lokal di kota Charleston dan Mattoon, AS, menyebutkan menjelang malam Natal "toko-toko sementara ditutup untuk menghindari kerumunan masyarakat.”
François R. Velde, dalam studi “What Happened to the US Economy During the 1918 Influenza Pandemic? A View Through High-Frequency Data” (2020) memaparkan selama pandemi flu Spanyol berlangsung toko-toko ritel di AS mengalami “kelangkaan dan penjualan toko-toko dengan stok barang-barang pokok merosot hingga 3 persen,” yang pada akhirnya “berpengaruh pada munculnya resesi ekonomi AS pada 1920-1921”.
Singkat kata, tatkala flu Spanyol muncul, dan karena dunia masih belum reda sepenuhnya dari Perang Dunia I, ekonomi pun krisis. Pada akhirnya, perayaan Natal menjadi kemewahan yangv luar biasa.
Di sisi lain, selama pandemi COVID-19 berlangsung, beberapa hari raya telah tiba, Waisak untuk umat Budha dan Pesakh untuk orang-orang Yahudi. The Straits Times, melaporkan bagaimana umat Buddha di Singapura telah menemukan cara inovatif untuk merayakan Waisak. Secara tradisional, umat Buddha mengunjungi kuil kala Waisak untuk melakukan beragam ritual, seperti nyanyian, tiga langkah satu busur dan membersihkan patung Buddha. Kini, umat Buddha yang ingin memberikan persembahan, misalnya, dapat membuat akun online kuil Buddha Tibet dan membayar $18, misalnya, untuk dupa, atau $10 untuk lampion.
BBC melaporkan, Zoom digunakan dalam perayaan Pesakh orang Yahudi. Selama Pesakh, orang Yahudi mengingat bagaimana Musa memimpin nenek moyang mereka keluar dari perbudakan di Mesir.
“Kami menyarankan sejenak untuk bercengkrama melalui Zoom,” ujar Rabi Rick Jacobs, tokoh komunitas Yahudi di New York.
Editor: Windu Jusuf