Menuju konten utama

Ahli Virologi Mengantisipasi Flu Asia, tetapi Pemerintah AS Abai

Keteledoran pemerintah Amerika Serikat mengakibatkan puluhan ribu warganya tewas diterjang Flu Asia.

Ahli Virologi Mengantisipasi Flu Asia, tetapi Pemerintah AS Abai
Maurice R Hilleman, Direktur penelitian virus dan sel biologi, Merck Inst of Therapeutic research di West Point, meneliti pertumbuhan virus dalam kultur jaringan tabung roller pada 7 Maret 1963 di Pennsylvania. FOTO/AP

tirto.id - Pada suatu pagi tanggal 17 April 1957, Maurice Hilleman tengah duduk santai di kantornya sambil membolak-balikkan koran. Matanya kemudian menyapu sebuah artikel tentang wabah influenza yang terjadi di Hong Kong. Menurut artikel singkat itu, setidaknya 10 persen atau 250 ribu orang dari total dua juta populasi setempat telah terinfeksi virus flu mematikan.

Suasana di Hong Kong saat itu benar-benar kacau. Setiap hari, dua puluh ribu orang mengantri di rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Tidak pandang usia, anak-anak sampai lansia menunjukkan gangguan kesehatan yang sama berupa demam tinggi, batuk-batuk, dan gangguan pernapasan.

“Ya, Tuhan. Ini adalah pandemi!” kata Hilleman spontan. Saat itu ia sudah bekerja sebagai virologis di Pusat Kesehatan Militer Walter Reed, Amerika Serikat.

Dikisahkan oleh Paul Offit dalam biografi Maurice Hilleman yang berjudul Vaccinated: One Man’s Quest to Defeat the World’s Deadliest Diseases (2007: 13), Hilleman memprediksi bahwa virus yang kemudian diberi nama Flu Asia itu akan mewabah di seluruh dunia. Menurut perhitungannya, Amerika Serikat juga akan seperti Hong Kong tepat pada minggu pertama bulan September jika tidak ada tindakan pencegahan.

Menurut catatan yang dirangkum History, Flu Asia adalah virus influenza tipe A (H2N2) yang bermula dari Asia Timur. Flu Asia pertama kali dilaporkan di Provinsi Guizhou sebelah barat daya China pada Februari 1957. Virus ini menyebar dengan cepat ke Timur Tengah, Eropa, dan tiba di kota-kota pesisir Amerika Serikat saat memasuki musim panas.

Pelbagai Penolakan

Dunia kesehatan menjuluki Maurice Hilleman sebagai bapak vaksin modern. Selama hidupnya, dia diketahui berhasil mengembangkan tidak kurang dari 40 vaksin, termasuk vaksin MMR yang digunakan dalam imunisasi anak. Kendati demikian, dia tidak pernah menggunakan namanya sendiri sebagai nama vaksin.

Maurice Hilleman lahir di Miles City, Montana, Amerika Serikat, ketika dunia tengah dilanda pandemi global. Bersamaan dengan kelahirannya tanggal 30 Agustus 1919, kurva wabah Flu Spanyol di benua Amerika sedang mencapai titik puncak. Beruntung, virus yang menginfeksi sekitar 60 persen populasi dunia dan melumpuhkan perekonomian dunia itu tidak banyak mempengaruhi kehidupan keluarga Hilleman yang tinggal di kawasan perdesaan.

Pada 1941, Hilleman lulus dari Montana State College jurusan ilmu kimia dan mikrobiologi. Ketimbang bekerja untuk layanan kesehatan publik, dia lebih tertarik pada industri vaksin. Hilleman sempat bekerja di perusahaan pembuat vaksin E.R. Squibb & Sons, sebelum akhirnya menjadi peneliti virus flu di Walter Reed.

Hilleman adalah orang pertama dalam sejarah yang berhasil mengantisipasi pecahnya pandemi lebih awal. Di negaranya, dia satu-satunya orang yang menaruh perhatian pada Flu Asia saat virus ini pertama kali diwartakan oleh media-media berbahasa Inggris pada April 1957.

“Kita semua melewatkannya. Kelompok militer melewatkannya, bahkan WHO melewatkannya,” kenang Hilleman dalam sebuah wawancara dengan The Vaccine Makers Project.

Satu hari setelah membaca berita di surat kabar, Hilleman merasa harus segera melakukan sesuatu. Alih-alih mengikuti rantai komando dan segala macam protokol organisasi kesehatan, dia menghubungi sendiri laboratorium militer Amerika di Jepang. Melalui cara ini Hilleman berhasil mendapatkan sampel air liur salah seorang anggota Angkatan Laut AS yang terinfeksi Flu Asia di Hong Kong.

Majalah ilmu pengetahuan, Scientific American, mengisahkan bahwa hanya dalam beberapa minggu sejak kabar epidemi di Hong Kong naik ke permukaan, Hilleman dan timnya sudah mulai bekerja. Mereka bekerja selama 14 jam sehari untuk mengisolasi strain virus yang ternyata sudah mengalami mutasi dari flu musiman.

Paul Offit, penulis biografi Maurice Hilleman dalam keterangannya yang dipublikasikan History, menyebut Hilleman banyak mendapat banyak bantuan dari organisasi kesehatan swasta. Melalui jaringan informasi independen, dia menemukan bahwa masyarakat dunia saat itu sudah tidak lagi memiliki sistem kekebalan untuk melawan Flu Asia. Oleh karena itu, vaksinasi sangat dibutuhkan.

“Tidak jarang virus influenza mengalami perubahan yang menyeluruh hingga tidak ada seorang pun dalam sebuah populasi yang memiliki antibodi untuk melawannya,” papar Offit.

Hilleman pun merasa harus mendesak pemerintahan Presiden Dwight David Eisenhower dan WHO untuk bersiap menghadapi masa darurat pandemi. Dia juga berinisiatif membuat vaksin dalam kuantitas besar. Akan tetapi, bekerja sama dengan pemerintah nyatanya tidak pernah mudah. Hilleman sempat mendapat penolakan dari kalangan yang menganggap Flu Asia sebagai bagian konspirasi Perang Dingin.

Menurut laporan The Washington Post, sebagian orang Amerika saat itu menganggap mutasi virus flu terjadi akibat percobaan nuklir yang dilakukan Amerika Serikat di kawasan Pasifik. Lainnya bahkan mencurigai kelompok komunis telah menyebarkan kuman berbahaya yang membuat flu musiman berubah menjadi mematikan.

Infografik Maurice Hilleman

Infografik Maurice Hilleman. tirto.id/Fuadi

Lebih Cepat dari Pemerintah

Rintangan paling berat yang dihadapi Hilleman ternyata datang dari kepala negaranya sendiri. Profesor ilmu politik di Universitas Missouri-Kansas City, Max Skidmore, menuliskan dalam artikel “Misguided Responses to Public Health Emergencies” bahwa Eisenhower teguh pada pendiriannya untuk tidak melakukan program vaksinasi dalam mengantisipasi pandemi Flu Asia.

“Dia memiliki keyakinan pada kemampuan vaksin pasar bebas untuk menangani pandemi yang akan segera datang,” kata Skidmore. “Sebagai hasilnya, angka kematian mungkin sekitar dua kali lipat dari yang seharusnya.”

Jelang pertengahan tahun 1957, menjadi jelas bahwa kurva penyebaran Flu Asia tidak akan menurun dalam waktu singkat. Encyclopedia Britannica bahkan menyebut Flu Asia sebagai pandemi influenza terparah kedua setelah Flu Spanyol tahun 1919. Wabah ini diperkirakan telah membunuh sekitar 1 sampai 2 juta orang di seluruh dunia.

Menyadari bahaya Flu Asia, Hilleman berkeras mengembangkan vaksin secara mandiri. Dia bahkan merilis keterangan pers tertulis untuk memperingati masyarakat Amerika Serikat akan kedatangan pandemi Flu Asia di bulan September 1957. Dalam biografinya, Hilleman disebutkan berhasil meyakinkan enam perusahaan pembuat vaksin flu untuk bersatu memproduksi vaksin dalam waktu empat bulan, sebelum libur musim panas anak-anak sekolah berakhir.

“Vaksin flu tidak pernah diproduksi secepat itu,” tulis Offit. Agar dapat memenuhi target, menurut Offit, Hilleman telah mengabaikan peraturan negara tentang produksi obat. Dia dengan percaya diri melangkahi wewenang Divisi Standar Biologis yang seharusnya bertugas mengatur standar pembuatan vaksin.

Menurut Scientific American, vaksin flu yang dikembangkan Hilleman berhasil diproduksi massal pada bulan Juni. Sebelum pandemi Flu Asia menghantam Amerika Serikat pada bulan September, setidaknya 40 juta dosis vaksin telah didistribusikan dalam waktu tiga bulan.

Pada bulan Agustus, seorang pengacara asal New York bernama Robert Himmelfarb mengirim surat kepada Eisenhower. Dia menyebut bahwa vaksin yang diproduksi enam perusahaan swasta tidak akan cukup. Dua bulan kemudian, gubernur negara bagian Kentucky menulis surat yang sama. Gubernur itu meminta agar Gedung Putih menangani langsung pandemi Flu Asia yang sudah memakan korban jiwa sebanyak 80 ribu orang dengan angka kasus lebih dari 225 ribu.

Menurut catatan Skidmore, pandemi memang tidak pernah menjadi prioritas dalam pemerintahan AS kala itu sehingga pihak swasta seperti Hilleman terlihat lebih menonjol. Para pejabat tinggi pemerintahan hanya diketahui menggelontorkan sekitar 2 juta dolar AS untuk memastikan perusahaan swasta mau melakukan pekerjaan pemerintah.

Terlepas dari sikap tak acuh pemerintahan Eisenhower, upaya Hilleman mendorong produksi vaksin lebih awal dianggap berhasil menekan angka kematian hingga dua kali lipat. Penulis Charles E. Brooks bahkan memuji gerak cepat Hillemar. Melalui artikel surat kabar yang dilansir The Washington Post, Brooks menulis bahwa “ini adalah pertama kalinya dunia medis membuat persiapan sebelum wabah melanda.”

Baca juga artikel terkait VIRUS INFLUENZA atau tulisan lainnya dari Indira Ardanareswari

tirto.id - Humaniora
Penulis: Indira Ardanareswari
Editor: Irfan Teguh