tirto.id - Sudah lima bulan Rully Irawan (27), seorang sopir ojek online, menumpang tinggal di rumah pamannya di daerah Nanjung, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Ia menumpang setelah pada April lalu Grab menghapus layanan Grab Bike, menyelaraskan dengan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Karena layanan antar-jemput penumpang tidak tersedia, pendapatannya berkurang drastis. Akhirnya ia tidak bisa membayar sewa kontrakan yang per bulannya Rp700 ribu. “Kalaupun ada sampingan, buat bayar cicilan motor karena enggak dapat kelonggaran,” kata Rully kepada wartawan Tirto, Senin (14/9/2020).
Keadaan tak kunjung membaik meski layanan Grab Bike kembali tersedia. Rully pun tetap memilih untuk menumpang sambil mengumpulkan tabungan hasil 'narik'.
Rully tidak pernah mendapat bantuan apa pun dari pemerintah. Ia pernah mencoba ikut Kartu Prakerja dari gelombang I sampai V, juga program bantuan sosial (bansos), namun “enggak lolos terus,” katanya. Paman Rully yang memiliki warung makan Sunda juga mendaftarkan diri untuk mendapat dana hibah UMKM. “Paman juga enggak dapat dana bantuan UMKM itu.”
Joseph Kusuma (27) juga bernasib serupa. “Enggak dapat bantuan apa pun,” katanya kepada wartawan Tirto, Selasa (15/9/2020).
Tapi toh ia cukup bersyukur layanan membawa penumpang diizinkan lagi oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Situasinya lebih baik dibandingkan Maret dan April. “Meskipun enggak dapat bantuan ya kalau bisa 'narik' alhamdulilah. Meski memang masih sepi orderan,” katanya.
Rully dan Joseph hanya contoh kecil bagaimana nasib pengemudi ojek online di tengah pandemi. Ketua Asosiasi Pengemudi Ojek Online (ojol) Garda Indonesia Igun Wicaksono mengatakan yang bernasib serupa mereka banyak. Maka dari itu, “kami harap bantuan apa pun baik sembako dari Kemsos, ke Pak Juliari Batubara, atau tunai. Pokoknya bantu kami,” kata Igun kepada wartawan Tirto.
Total dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN), yang salah satunya dianggarkan untuk bansos, mencapai total Rp641,17 triliun. Di sana memang belum ada program sistematis khusus untuk membantu pengemudi ojek online, kecuali yang sifatnya dadakan seperti yang dilakukan Presiden Joko Widodo April lalu--bagi-bagi sembako di pinggir jalan.
Bantuan Tunai
Jika pemerintah mau, bantuan sebenarnya sangat mudah disalurkan karena perusahaan aplikasi punya data mitra cukup valid, kata ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira.
“Dari sisi data validitasnya, driver online paling lengkap bahkan dibanding data kependudukan milik pemerintah kita. Jadi sudah pasti lebih tepat sasaran kalau model bantuannya adalah cash transfer,” kata dia kepada wartawan Tirto.
Cara ini sudah dilakukan oleh pemerintah Singapura dan Malaysia. Per Februari lalu Singapura mengeluarkan stimulus sebesar Rp838 miliar dalam bentuk subsidi kepada 40 ribu pengemudi baik online maupun konvensional.
“Masing-masing driver mendapat bantuan sebesar 20 dolar Singapura per orang per hari (setara Rp6 juta/bulan) selama tiga bulan. Insentif lain adalah pemberian APD gratis bagi driver dan jaminan pendapatan apabila driver sakit karena COVID-19. Malaysia, Maret 2020, pemerintah memberikan bantuan tunai RM500 setara Rp1,8 juta per driver untuk 120 ribu.”
Bantuan berupa diskon BBM di SPBU Pertamina dan restrukturisasi kredit motor tak efektif, katanya. Program restrukturisasi kredit pun belum pernah ada evaluasinya. Rully saja masih membayar cicilan seperti biasa. “Ini kurang nyambung, apalagi ada PSBB mobilitas masyarakat rendah, order driver turun. Ya mau beli BBM juga sepi penumpang.”
Peneliti ekonomi dari Universitas Pasundan (UNPAS) Acuviarta Kartabi mengatakan skema bantuan pemerintah memang masih terlalu fokus pada sektor formal. Kalaupun ada bansos dan bantuan PKH dan hibah UMKM, data yang digunakan adalah data lama--ketika kondisi ekonomi masih normal--dan menyasar pada keluarga miskin yang sudah terdata di Kemsos.
“Sementara ojol itu tidak terkait dengan lapangan kerja formal, tapi sebenarnya terdampak. Tentu entitas seperti ojol dan sebagainya itu harus disiapkan formula khusus yang mana mereka punya kontribusi terhadap bergeraknya ekonomi,” katanya kepada wartawan Tirto.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), dari total 126,51 juta pekerja Indonesia usia 15 tahun ke atas, komposisi terbanyak adalah pekerja informal, jumlahnya mencapai 70,49 juta orang. Garda Indonesia sendiri pernah mengatakan bahwa pengemudi ojol mencapai 4 juta.
Melihat fakta itu, ia meminta pemerintah membuat program khusus untuk pengemudi ojol.
“Saya kira sangat mungkin ada modifikasi kebijakan karena kriteria yang bergaji di bawah Rp5 juta saja layak dapat bantuan, apalagi ini. Ojol itu prioritas kalau kita lihat pertumbuhan sektor transportasi yang paling anjlok sebesar 20 persen dari PDB, kalau di Jabar lebih dari 18 persen,” katanya.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino