tirto.id - Puluhan aktivis dan mahasiswa di Yogyakarta menggelar aksi protes menolak Soeharto ditetapkan sebagai pahlawan nasional. Dua aksi digelar di dua lokasi berbeda hari ini, Senin (10/11/2205).
Aksi pertama diinisiasi oleh Aliansi Jogja Memangil yang berpusat di simpang empat Jalan Jenderal Sudirman. Massa memadati Museum TNI AD Dharma Wiratama sejak Senin pagi.
Pantauan kontributor Tirto di lokasi, demontrans membawa spanduk besar bertuliskan "Soeharto Bukan Pahlawan".
Selain itu, massa juga membawa pula poster "Wartawan Udin 1996, Dibunuh Karena Berita". Peserta mencoba mengingatkan peristiwa kelam yang terjadi di era kepemimpinan Soeharto.

Juru bicara Jogja Memangil yang kerap disapa Bung Koes mengatakan, penobatan Soeharto sebagai pahlawan nasional merupakan bentuk penghianatan terhadap rakyat.
Dia bilang, pada era reformasi tahun 1998, rakyat berbondong-bondong turun ke jalan mendesak presiden kedua itu lengser.
Namun nyatanya hari ini, rezim Prabowo-Gibran menentang rakyat.
"Ini artinya penguasa hari ini yakni rezim Prabowo-Gibran sedang menentang rakyat," kata Bung Koes kepada awak media, Senin.

Menurutnya, rezim Prabowo Gibran tidak mendengarkan suara rakyat. Menetapkan Soeharto menjadi pahlawan sama halnya menetapkan penjahat yang merupakan pelanggar HAM.
Bung Koes menyatakan reformasi telah mati dengan gong berupa penetapan Soeharto menjadi pahlawan nasional.
Oleh karena itu, Aliansi Jogja Memanggil menyerukan bahwa Harto bukan pahlawan, menolak RUU HAM, memintakan penegakan perlindungan pers.
Aksi ini juga meminta agar pemerintah membatalkan UU TNI dan memberikan pendidikan gratis kepada masyarakat umum bukan makanan beracun gratis.
Gelombang protes turut disuarakan oleh Forum BEM se-DIY di Titik Nol Kilometer, Kota Yogyakarta. Massa aksi tampak berkumpul pada pukul 15.47 WIB di lokasi.
Mereka kompak mengenakan pakaian hitam membentuk lingkaran menyuarakan orasi secara bergantian.
Koordinator Aksi, Faturahman Djaguna, membeberkan bahwa alasan fundamental menolak Soeharto sebagai pahlawan nasional karena keterlibatan presiden kedua RI itu dalam penculikan aktivis 1998.

Oleh sebab itu, pemberian gelar pahlawan dinilai menodai perjuangan rakyat maupun mahasiswa kala itu.
"Menurut kami dibayar dengan suatu kehormatan sedangkan nyawa dan darah itu telah dipertaruhkan oleh rakyat maupun mahasiswa itu sendiri pada waktu 1998," tegas Fatur diwawancarai dalam sela aksi.
Fatur menyoroti penetapan ini merupakan ketidakjujuran dari pemerintah Indonesia untuk menulis sejarah seperti yang dilakukan oleh Fadli Zon selaku Menteri Kebudayaan yang juga Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.
"Kami mencurigai kekhawatiran dalam konteks pendidikan generasi kita ke depan yang diberikan oleh pemerintah, dituliskan dalam konteks sejarah itu adalah historis sejarah yang baik-baik," lanjutnya.
Alhasil, secara kelembagaan organisatoris FBD memutuskan untuk tidak mengakui Soeharto sebagai pahlawan nasional.
Ke depan FBD akan memasifkan konsolidasi dengan berbagai elemen untuk terus turun ke jalan menolak gelar pahlawan Soeharto.
Penulis: Abdul Haris
Editor: Siti Fatimah
Masuk tirto.id


































