tirto.id - Hanya dalam kurun waktu sekitar dua bulan, lebih kurang 15 ribu pegawai Microsoft dipecat. Mei 2025 lalu, perusahaan yang berbasis di Redmond, Washington, ini memutus hubungan kerja enam ribu karyawan. Lalu, pada awal Juli, giliran sembilan ribu orang yang mendapatkan surat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Ini belum termasuk ratusan orang yang juga sudah kehilangan pekerjaan di Microsoft sejak Juni.
Kabar tersebut pertama kali dilaporkan oleh Seattle Times, lalu dilansir ulang oleh Reuters, dan hingga kini menjadi sebuah isu global yang patut untuk dipertanyakan. Pasalnya, PHK massal Microsoft tidak dilakukan ketika perusahaan tengah kesulitan keuangan.
Sebaliknya, menurut laporan keuangan teranyar di kuartal pertama 2025, mereka mencatat pendapatan sekitar 70 miliar dolar AS dengan laba bersih hampir 26 miliar dolar AS. Jelas, angka ini tidak mencerminkan sebuah perusahaan yang tengah dilanda krisis.
Lantas, apa yang menjadi musabab di balik PHK besar-besaran Microsoft?
Dua Biang Kerok: AI dan Margin yang Menyempit
PHK massal Microsoft memang bukan langkah efisiensi biasa. Ia merupakan bagian dari perubahan strategi jangka panjang. Perusahaan bikinan Bill Gates itu berniat melakukan perombakan besar-besaran demi mengakomodasi ambisi AI (Artificial Intelligence) berskala penuh.
Dari sisi investasi, pada tahun fiskal 2025, Microsoft mengalokasikan sekitar 80 miliar dolar AS untuk belanja modal. Mayoritas dari jumlah itu dialirkan ke pembangunan pusat data AI dan infrastruktur komputasi awan. Hal itu tak lepas dari besarnya peran AI dalam kerja-kerja teknis.
Satya Nadella selaku Chief Executive Officer (CEO) bahkan menyebut bahwa AI kini berkontribusi menulis 20–30 persen kode program di berbagai produk Microsoft. Angka itu diperkirakan akan meningkat drastis dalam lima tahun ke depan. Menurut Chief Technology Officer, Kevin Scott, pada 2030, 95 persen kode mungkin akan dihasilkan oleh sistem AI internal mereka.
Namun, bukan hanya AI yang menjadi penyebab di balik PHK massal ini. Faktor kedua adalah penurunan margin di divisi cloud. Meskipun pendapatan Azure—layanan cloud Microsoft—masih menunjukkan pertumbuhan, margin operasionalnya justru mengalami penurunan. Dari yang sebelumnya 72 persen, kini “hanya” 69 persen.
Penurunan tersebut mencerminkan beban biaya yang membengkak akibat ekspansi masif ke teknologi AI. Dengan begitu, Microsoft merasa perlu menjaga keseimbangan antara belanja modal (capex) dan beban operasional (opex). Seperti halnya pola pikir korporasi lain, salah satu cara tercepat untuk melakukan itu adalah dengan merampingkan struktur organisasi alias memecat karyawan.
Divisi yang Terdampak
Alih-alih menyentuh divisi teknis inti, sebagian besar PHK kali ini menarget posisi manajerial menengah, penjualan, dan dukungan pelanggan. Divisi gaming alias Xbox pun tak luput dari pemecatan. Bagian-bagian inilah yang diproyeksikan bisa dirampingkan dan dialihkan dalam bentuk layanan digital.
Dalam logika Microsoft, masa depan bukan hanya soal membangun produk AI, melainkan juga menjadi perusahaan yang beroperasi dengan lebih ramping dan gesit.

Pemecatan itu mungkin terlihat rasional di atas kertas, tetapi tetap menimbulkan kegelisahan di internal perusahaan. CEO Xbox, Phil Spencer, dalam memo internal yang bocor, mengakui bahwa keputusan tersebut bukanlah refleksi dari kinerja karyawan yang terdampak.
“Saya menyadari bahwa perubahan ini datang justru ketika jumlah pemain, game, dan gaming hours yang kita miliki ada di titik tertinggi,” kata Spencer dalam memonya.
Pernyataan Phil Spencer di atas menyiratkan bahwa banyak posisi yang dihilangkan bukan karena kegagalan performa, melainkan karena restrukturisasi menyeluruh. Dan, tentu saja, ucapan ini menuai kecaman dari dunia gaming.
Respons dari para pegawai terdampak pun beragam. Ada yang menerima dengan pasrah, ada pula yang menyuarakan rasa frustrasi secara terbuka di media sosial.
Salah satu direktur AI Microsoft, Gabriela de Queiroz, misalnya, menulis dalam unggahan perpisahannya, "Tak peduli seberapa keras kamu bekerja, tak ada jaminan tempatmu akan aman." Pesan ini viral di kalangan komunitas teknologi, menggambarkan ketidakpastian yang makin nyata di era otomatisasi.
Mungkin Bukan yang Terakhir
PHK 15 ribu karyawan Microsoft sepertinya tidak akan jadi yang terakhir. Seorang analis pasar memperkirakan bahwa Microsoft perlu memangkas hingga 10 ribu posisi per tahun hanya untuk menjaga agar beban operasionalnya tidak melampaui belanja modal yang terus membesar. Pasalnya, 80 miliar dolar AS yang dialokasikan untuk infrastruktur AI bukan angka kecil, dan tekanan terhadap margin akan makin terasa jika struktur organisasi tetap gemuk dan tidak berubah.
Di sinilah muncul istilah yang belakangan ramai dibicarakan di industri teknologi: quiet AI layoffs. Berbeda dari PHK karena penurunan pendapatan atau kinerja buruk, quiet AI layoffs merujuk pada tren ketika pekerjaan manusia secara perlahan digantikan oleh sistem berbasis AI—kurang lebih sama dengan bagaimana tenaga manusia digantikan mesin di pabrik-pabrik. Fungsi penjualan, pemasaran, analisis data, bahkan sebagian pengembangan perangkat lunak kini bisa dilakukan oleh sistem otomatis atau tim yang jauh lebih ramping.
Microsoft bukan satu-satunya yang melakukan ini. Amazon, Meta, dan Google, juga menjalani restrukturisasi serupa. Namun, dengan skala dan posisi strategisnya dalam ekosistem AI global, terutama lewat kemitraan dengan OpenAI, langkah Microsoft menjadi sinyal penting bagi industri secara keseluruhan. Dalam dunia korporasi teknologi saat ini, AI bukan sekadar produk; ia telah menjadi struktur, fondasi, bahkan pertimbangan utama dalam perencanaan sumber daya manusia.
Dengan membelanjakan puluhan miliar dolar untuk infrastruktur AI, Microsoft telah menetapkan visinya dengan jelas: menjadi penguasa komputasi masa depan. Untuk mencapai itu, mereka mengubah fondasi internal dengan memangkas struktur yang tidak lagi relevan dan mengganti fungsi-fungsi tradisional dengan sistem terintegrasi dengan kecerdasan buatan.
Benar bahwa Microsoft memang harus beradaptasi agar tetap relevan di tengah revolusi AI, dan langkah restrukturisasi ini adalah bagian dari itu semua. Akan tetapi, inovasi yang baik bukan hanya soal kecepatan dan efisiensi, tapi juga bagaimana perusahaan memperlakukan manusianya dalam proses perubahan itu.
Di tengah gebyar teknologi dan belanja modal yang "wah", ada yang tak boleh dilupakan: 15 ribu orang yang terdampak itu bukan sekadar statistik, melainkan 15 ribu manusia yang harus menata ulang hidupnya dari awal. Jika memang AI diciptakan untuk kemaslahatan manusia, hal yang terjadi pada karyawan Microsoft belum membuktikan hal itu. Justru, ia makin menegaskan betapa berbahayanya teknologi AI bagi kelangsungan peradaban.
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadli Nasrudin
Masuk tirto.id


































