Menuju konten utama

Agus Hafalan, Ahok iCore7, Anies Antinarkoba

Bagaimana Ahok-Djarot dipukul dan memukul balik lebih keras Agus-Sylvi dan Anies-Sandi di Debat Pertama Pilgub DKI 2017.

Agus Hafalan, Ahok iCore7, Anies Antinarkoba
Semua pasangan calon gubernur dan wakil gubernur bersalaman usai debat ketiga Pilkada DKI Jakarta, Jumat (10/2). Tirto.id/Andrey Gromico

tirto.id - Disadari sendiri oleh Agus Yudhoyono atau tidak, debat pertama menunjukkan dengan jelas betapa kemampuan berpikir dan berbicaranya masih jauh di bawah dua cagub lain. Setelah pelbagai prahara dan keributan yang harus dilaluinya dalam empat bulan belakangan, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok tampil santai dan berhasil mengatasi berbagai pertanyaan sekaligus mementerengkan keunggulannya. Sementara Anies Baswedan tetap menjadi Anies Baswedan, dengan segala retorika dan materi kuliahnya.

Setelah debat, Agus mengaku dimentori langsung oleh peponya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), dan di hadapan pendukungnya di luar gedung acara ia melakukan aksi selancar panggung yang hampir mustahil ditiru cagub lain. Agus memang tidak perlu menyesali keputusannya tidak mengikuti dua debat tak resmi yang diselenggarakan Net TV dan Kompas TV, meski kalau saja Agus mau datang di dua debat swasta terdahulu, memanfaatkannya sebagai latihan, bisa jadi ia akan lebih siap menghadapi atmosfer dan tensi debat versi KPU ini. Keputusan yang mengharuskannya "berada di tengah rakyat" itu tidak boleh disesali.

Jejak Pepo SBY pada diri Agus hanya terlihat pada gestur, mimik, dan gaya bicara yang kelewat tertata, sedangkan fitur utama seperti penguasaan persoalan dan pemaparan angka dan tawaran solusi yang menjanjikan nyaris absen dari Agus. Sedikit saja sulung SBY itu menyebut angka-angka, itu pun seperti bocah SD kelas satu yang menghafal perkalian sembilan. Sedang Ahok begitu fasih menggelontorkan data dan prestasi dan rencana laksana kepala sekolah yang menjadi inspektur upacara Senin pagi.

Superioritas SBY pada Debat Capres 2004 dan 2009 yang menggulung Megawati, dengan kesantunan dan kecanggihan "Insya Allah" dan program-program yang terasa dekat dan nyata, seperti tak diturunkan kepada Agus.

Namun, bukan berarti Agus tak punya harapan.

Lagi pula Agus masih sangat muda. Pada 2004, sebagai pensiunan jenderal, SBY sudah matang secara politik, di usia 55 ia sudah kenyang asam-garam jabatan publik. Sementara Agus di 2016 yang hanya pensiunan mayor masih sangat bayi dalam politik—bahkan dibanding adiknya, Edhie Baskoro Yudhoyono, ia masih bau kencur. Jalan di depan Agus masih panjang terbentang.

Sejak pembukaan debat, Agus seperti sudah diketok palu untuk mati kutu. Entah spontan entah terencana, moderator Ira Koesno yang sepanjang dua jam selalu berteriak-teriak itu menyalami masing-masing paslon dan melaporkan suhu tangan mereka kepada pemirsa:

"Saya mau salaman dulu. Saya pengin tahu, lebih dingin tangan saya atau tangan paslon," kata Ira seraya menghampiri ketiga paslon. "Tangan Mas Agus dingin, Pak Ahok hangat, Mas Anies ini juga hangat."

Di babak pertama, ketika masing-masing calon harus menampilkan jualan terbaiknya, Agus tidak lebih baik dari tukang jual obat di pengkolan desa. Ia hampir tak beranjak dari teks visi-misi dan program yang telah ditulis oleh timnya: Maju, aman, adil, sistem ruang kehidupan yang harus menyejahterakan semua, pembangunan inklusif dan partisipatif.

Ahok langsung ke pokok persoalan dengan membicarakan Indeks Pembangunan Manusia, pembenahan birokrasi, dan niatnya untuk terus belajar dan memperbaiki diri. "Kalau kami dilanjutkan lagi, bukan hanya visi-misi program tercapai, tapi Ahok-nya sudah menjadi iCore7, i7, bukan Pentium lagi," kata Ahok. "Sehingga kami akan lebih baik, kesalahpahaman bisa dihindari."

Anies menggebrak dengan ikhtiar antinarkobanya. Habis menawarkan pengetahuan, pengalaman, dan akumulasi jaringan untuk mengatasi pelbagai persoalan ibu kota, Anies berkhotbah, "Seluruh ikhtiar menjadi tak bermakna begitu hadir narkoba. Orangtua sedih, rakyat sedih, karena ancaman narkoba."

Infografik Debat Uji Janji

Di babak kedua, terkait program kerja unggulan, Djarot Siaful Hidayat maju menjelaskan apa saja yang telah ia dan Ahok lakukan, dan Sandiaga Uno bicara tentang lapangan pekerjaan dan pendidikan dan biaya hidup dan menawarkan program OK-OCE untuk memudahkan urusan-urusan warga Jakarta.

Dua cawagub sudah bicara, tapi Agus tidak langsung memberikan kesempatan kepada wakilnya, Sylviana Murni. Agus mengambil kesempatan itu untuk menjelaskan sendiri program unggulannya: Bantuan Langsung Sementara, Rp5 juta per keluarga miskin per tahun; pemberdayaan RT/RW, 1 RW Rp1 miliar per tahun; dana bergulir, Rp5 juta per unit usaha; dan selanjutnya sampai kesepuluh, ia membaca contekan.

Agus seolah ingin menjadi Sinterklas van Jakarta yang mendaftar hadiah untuk anak-anak.

Sisanya tak banyak yang menarik, seperti rutinitas biasa. Pengulangan-pengulangan, kecuali beberapa kali terjadi saling serang antar-kandidat—walaupun sebenarnya tidak baru-baru amat, karena perang serupa sudah terjadi di media.

Djarot bertanya kepada Agus, “Bagaimana mengelola dana 1 miliar untuk 1 RT/RW supaya mereka bisa mempertanggungjawabkan supaya tidak masuk penjara?"

Alih-alih menjawab dengan perincian teknis, Agus balas menyerang Djarot: "Kalau pemimpin tidak punya hati; selalu bertanya bagaimana kalau rakyat gagal, bagaimana kalau mereka masuk penjara. Bagaimana kalau mereka berhasil, tidak pernah ditanyakan."

Mendengar itu, Ahok membela diri sambil memukul balik. “"Seolah-olah kami ini enggak suka orang miskin, benci orang miskin,” katanya. “Saya kira kita harus mendidik dalam membantu. Itulah yang akan kami lakukan."

Momen paling mengejutkan justru datang dari Anies. Setelah menyebut Sylvi “enggak nyambung” dan menghantarkan retorika positif seperti “bukan memerangi kemiskinan, tetapi memajukan kesejahteraan umum" yang memang sudah menjadi ciri khasnya, Anies bikin segenap penghuni internet terlonjak dari kursinya dan beramai-ramai berkicau karena ia menyebut nama salah satu tempat hiburan malam kelas atas Jakarta.

"Untuk urusan penggusuran, kita tegas. Untuk urusan prostitusi, Alexis, kita lemah," kata Anies.

Ahok pun menanggapi, "Pak Anies bilang kami tidak menutup Alexis. Kami sudah menutup Miles dan Stadium. Begitu ada narkoba, kami tutup."

Masih ada beberapa perdebatan seru lainnya, dari tema penggusuran dan reklamasi yang dipakai paslon 1 dan 3 untuk menggebuk 2, program dana bergulir paslon 1 yang jadi bulan-bulanan paslon 2 karena rentan jadi dana macet, hingga serangan paslon 3 kepada 2 agar jangan “hanya kerja, kerja, kerja” tetapi tidak “punya gagasan”; bukan sekadar memimpin barangnya, tapi juga membangun manusianya.

"Perut, Otak, Dompet [slogan Ahok-Djarot]; di sana tidak ada nilai, tidak ada moral. Yang kami akan bangun adalah iman dan takwa, akhlak dan karakter,” kata Anies.

"Program kami bukan hafalan, bukan retorika," balas Ahok, sengit. "Kami memiliki visi-misi, program, semua dengan angka. Kami suka debat seperti ini, kami mengharapkan masukan-masukan yang baru. Tapi di debat ini, tidak banyak yang baru."

Ahok ada benarnya. Dalam #PeriksaData yang dilaksanakan Tirto, hanya muncul Agus-Sylvi dan Ahok-Djarot. Banyak pihak yang protes, mengapa tak ada Anies-Sandi? Masalahnya, dalam debat pertama ini, paslon 3 memang tidak pernah menyitir data dan melulu sibuk dengan ucapan-ucapan yang tidak bisa diukur secara kuantitatif.

Jadi, siapa pemenang debat pertama? Jajak pendapat Tempo menyebut Anies-Sandi yang terbaik, dan TvOne memenangkan Agus-Sylvi. Menurut pantauan PoliticaWave, paslon 2 paling banyak dibicarakan netizen hingga 23.441 kali, paslon 3 meraih 17.175 percakapan, dan paslon 1 hanya 4.112. Dengan volume percakapan yang kecil itu, Agus-Sylvi paling banyak mendapatkan sentimen positif, yakni 61 persen. Ahok-Djarot meraih 47 persen, dan Anies-Sandi mendapat 33 persen.

“Pendeknya,” tulis Bastian Scherpen, salah satu netizen di akun Twitternya, “Agus-Sylvi akan memberimu uang, Anies-Sandi ingin membangun karakter, dan Ahok-Djarot akan meneruskan pekerjaan mereka.”

Baca juga artikel terkait DEBAT CAGUB DKI 2017 atau tulisan lainnya dari Arlian Buana

tirto.id - Indepth
Reporter: Arlian Buana
Penulis: Arlian Buana
Editor: Maulida Sri Handayani