tirto.id - Pepo yang baik dan mencintai Memo sepenuh hati,
Ananda mengerti Pepo tak boleh berdiam diri. Masukan Pepo sebagai Presiden Keenam RI tentu akan berguna sekali untuk rezim Jokowi ini. Tapi mengapa harus menulis di Rakyat Merdeka?
Pertama, kalau Pepo mengharapkan jangkauan yang luas, sebagai veteran pejuang politik yang punya intuisi dan pengalaman dan pengetahuan dan logika, Pepo tentu tahu di media mana Pepo harus mengirimkan tulisan. Kalau di online, ya, sebaiknya Tirto.ID. Kalau di cetak, Harian Kompas atau Majalah Tempo. Ketiga media itu, selain jangkauannya lebih luas, juga lebih terpercaya.
Bukan berarti Rakyat Merdeka buruk. Setiap media punya ceruk pasar dan segmentasinya masing-masing, Pepo tentu tahu. Rakyat Merdeka selama ini peredarannya sebagian besar hanya di Jakarta dan punya karakter kuat sebagai media yang blak-blakan dan tembak sana tembak sini. Dengan audiens dan karakter demikian, dalam hemat ananda, Rakyat Merdeka kurang memenuhi standar untuk tulisan Pepo yang seharusnya menjangkau pembaca seluruh Indonesia, dan tentu saja kurang cocok dengan karakter Pepo yang cenderung tenang dan terukur dalam menyampaikan pendapat. Menurut Nostradamus, itu seperti Barack Obama menulis untuk Breitbart. Belum lagi menurut primbon, Pepo dan Rakyat Merdeka itu ibarat air dan minyak.
Kedua, kalau Pepo ingin memberi masukan khusus kepada Presiden Jokowi, kenapa tidak langsung berkirim surat saja? Atau kirim pesan melaui Facebook, dari fanpage ke fanpage? Whatsapp atau LINE juga boleh, asal jangan SMS dan Twitter, bisa repot pengirimannya dipotong-potong. Dalam hati kecil ananda, rasanya itu lebih elok. Tapi sebagai seorang yang pernah mengemban tugas negara di masa silam termasuk hampir 30 tahun mengabdi sebagai prajurit TNI dan 15 tahun bertugas di jajaran pemerintahan, tentu Pepo lebih tahu mana yang paling tepat. Maafkan Ananda jika ini Pepo anggap lancang, ananda hanya mencoba memberi masukan dan jernih melihat persoalan—seperti yang selalu Pepo wejangkan.
(Dan apabila dua alasan selanjutnya ini betul, ananda bisa memahami langkah Pepo, meski tidak bisa sepenuhnya bersetuju.)
Ketiga, kalau Pepo ingin minum air sambil menyelam, memberi masukan sambil berharap didengar seluruh rakyat Indonesia, tetap saja pilihan Rakyat Merdeka itu kurang unyu. Saran ananda, teteup, lebih baik Tirto.ID—sudah terpercaya, isinya banyak analis cemerlang dan sarat data, jangkauannya pun sangat luas, semua kepala di NKRI ini bisa mengaksesnya melalui henpon, tidak seperti Koran Rakyat Merdeka atau Harian Kompas dan Majalah Tempo yang masih harus menggandakan kertas.
Keempat, kalau Pepo ingin meminjam tangan seseorang untuk memukul sianu, ananda pikir kurang tepat rasanya memakai wahana surat kabar—penjelasan dugaan ini akan ananda beberkan di alinea-alinea agak akhir. Dalam pengamatan ananda, hanya orang-orang khusus yang punya kemampuan menulis pukul-pinjam-tangan. Salah satunya Pak Goenawan Mohamad yang pernah memukul Pak Pramoedya Ananta Toer dengan tangan Pak Nelson Mandela. Pepo, dengan berat hati dan ribuan maaf harus ananda katakan, belum termasuk.
Pepo adalah politisi dan penyanyi dan pencipta lagu. Pepo, seperti yang Pepo akui sendiri, adalah seorang yang pernah mengemban tugas negara di masa silam termasuk hampir 30 tahun mengabdi sebagai prajurit TNI dan 15 tahun bertugas di jajaran pemerintahan. Pepo lebih jago memukul orang dengan tangan orang lain melalui lobi-lobi politik, atau pertempuran-pertempuran kecil, atau lagu, terutama yang bergenre curhat.
Ananda tidak tahu siapa sesungguhnya yang Pepo ingin pukul, ananda hanya mengira-ngira, meraba-raba, mengingat kondisi batin Pepo akhir-akhir ini kurang begitu baik, sebab seperti pengakuan Pepo sendiri: kerap diterpa begitu banyak fitnah, kabar miring, intrik.
Pepo yang baik hati dan jago nyanyi,
Ananda menduga, hanya menduga berdasarkan beberapa alasan—bukan berdasarkan laporan intelijen dan ananda belum sesakti Pepo yang bisa membaca pikiran orang, Pepo sebenarnya sedang ingin memukul Presiden Jokowi dengan tangan para demonstran "Aksi Bela Islam". Meski Pepo bungkus dengan sangat halus dalam kolom Rakyat Medeka itu, dengan ungkapan "Secara moral saya wajib menjadi bagian dari solusi," dan "Dengan segala kerendahan hati", ananda melihat Pepo justru sedang menjelek-jelekkan pemerintahan Jokowi-JK.
"Ketika akhirnya Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla menjanjikan bahwa kasus Pak Ahok itu akan diselesaikan secara hukum, boleh dikata ucapan kedua pemimpin puncak yang saya nilai tepat dan benar itu terlambat datangnya," tulis Pepo.
Aduh, Pepo, Ananda pikir penilaian terlambat itu kurang bijak, dan dalam derajat tertentu juga kurang tepat.
Pepo tentu ingat, di masa pemerintahan Pepo yang sepuluh tahun itu, pernah terjadi perseteruan Cicak vs Buaya. Menanggapinya, Pepo selalu bilang "menghormati hukum" dan lebih banyak berpangku tangan. Berbulan-bulan Pepo seperti menutup telinga. Setelah duo pimpinan KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra Hamzah ditahan kepolisian dengan tuduhan yang mengada-ada, baru Pepo bicara. Padahal publik sudah berulang-ulang mendesak Pepo bertindak, agar KPK tidak dikriminalisasi. Perseteruan itu tidak perlu berlarut-larut dan menjadi drama seandainya Pepo bertindak cepat.
Jokowi punya sikap yang sama dengan Pepo, menyerahkan kasus Ahok pada proses hukum. Tidak sampai menunggu lama, Jokowi menginstruksikan kepolisian untuk bertindak cepat. Pada sebuah kesempatan Jokowi menyatakan, "Saya tegaskan bahwa proses hukum terhadap Basuki Tjahaja Purnama akan dilakukan dengan tegas dan transparan. Dan saya rasa rakyat perlu tahu, saya tak akan melindungi saudara Basuki Tjahaja Purnama karena sudah masuk dalam proses hukum."
Ananda tidak melihat urgensi pengungkapan “terlambat”-nya Jokowi-JK. Toh, semuanya telah berjalan sesuai harapan banyak pihak. Lagi pula, dibanding Cicak vs Buaya yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemberantasan korupsi, penistaan agama Ahok tidak merugikan-merugikan negara amat—untuk tidak bilang tidak merugikan sama sekali. Kasus pertama terang signifikansinya, dan menuntut aksi cepat, sedang kasus kedua ibarat ada orang yang menghina nenek moyang kita sebagai penipu atau maling atau pemerkosa. Jelas kerugian kita sebagai bangsa jika KPK tidak bertaji, sementara mulut Ahok hanya melukai perasaan—yang bahkan tidak berdampak apa-apa jika kita hanya menganggapnya sebagai kentut.
Dan tidak semua orang Islam Indonesia memilih marah mendengar ucapan Ahok, Pepo, hanya sebagian yang demikian ngototnya ingin Ahok dipenjara atau mati—hak mereka yang mengadukan Ahok tentu harus kita hormati, tapi ancaman pembunuhan sama sekali tidak bisa dibenarkan.
Pepo mengaku jadi korban adu domba. "Banyak bisikan maut, bahkan termasuk spanduk, yang mengadu saya dengan Pak Jokowi," tulis Pepo. Sudah tahu begini, kenapa Pepo masih saja menunjukkan gestur ofensif kepada Presiden Jokowi dengan menyebutnya terlambat? Pilihan demikian, menurut ananda, hanya akan menambahi amunisi para pengadu domba.
Ingat, Pepo, publik belum lupa peristiwa "Tour de Java vs Blusukan de Hambalang" yang menunjukkan ketegangan antara Pepo dan Jokowi.
Pepo yang baik hati dan selalu bijaksini,
"Ada juga yang berusaha membawa kasus Pak Ahok ini ke dunia internasional dengan tema pelanggaran HAM. Saya khawatir hal begini justru membuat situasi di dalam negeri makin bergejolak," lanjut Pepo. Ananda berduka membaca dua kalimat ini.
Pertama, Pepo tidak menjelaskan secara rinci siapa yang Pepo maksud dan dalam bentuk apa. Kedua, tanpa ada yang membawa-bawa pun, demonstrasi 4 November yang massif itu dengan sendirinya mengundang perhatian dunia, terutama pers internasional, bodoh sekali insan pers jika sampai menutup mata terhadap aksi yang dihadiri ratusan ribu orang, dan bukan hal aneh jika mereka punya perhatian khusus terhadap kebebasan berbicara dan Hak Asasi Manusia. Ketiga, banyak aktivis HAM dalam negeri yang mengkritisi pasal karet penistaan agama yang dikenakan kepada Ahok. Pasal tersebut dianggap mengebiri kebebasan berekspresi yang merupakan fondasi dasar demokrasi, dan karenanya bertentangan dengan UUD 1945 pasal 28.
Pepo yang baik hati dan sayang anak-cucu,
Mengenai makar, Pepo tak perlu khawatir. Semua orang yang mengikuti pemberitaan 411 tahu siapa yang teriak-teriak ingin menjatuhkan presiden, dan setelah panggung itu dia tidak pernah mengucapkannya lagi. Semua orang tahu, omongannya yang lantang itu cuma lelucon. Mana ada kudeta yang berhasil dengan sekali teriak lalu tiarap?
Di samping semua kritik di atas, ananda setuju satu hal dari tulisan Pepo: bahwa "Yang diajak untuk berpikir bersama oleh Pak Jokowi jangan hanya pihak-pihak yang nyata-nyata ada di "belakang" Presiden, tetapi seharusnya juga mencakup mereka yang dinilai berseberangan." Di sini Pepo menunjukkan kualitas seorang negarawan.
Kalau Pepo sering-sering mengucapkan yang begini, dan mundur dari jabatan sebagai ketua umum partai, seluruh rakyat Indonesia tentu dengan senang hati memanggil Pepo sebagai Guru Bangsa. Tanpa harus mendorong tagar #SBYNegarawan trending di Twitter, tak perlu lagi bantuan bot, semua orang akan menginsafi betapa negarawannya seorang Pepo SBY.
Dan Pepo harus tahu, kami semua sayang Pepo. #TerimaKasihPepo.
Penulis: Arlian Buana
Editor: Arlian Buana