tirto.id - Ayzumardi Azra lama dikenal di dunia akademik sebagai ahli sejarah Islam. Ia memahami nuansa dan renik-renik kebudayaan dalam gerak sejarah dunia Islam, baik di "pusatnya" di Timur Tengah, juga di dunia tempat Azra tumbuh: Asia Tenggara. Azra juga lama dikenal sebagai tokoh Islam moderat. Terkait ucapan Ahok ihwal ayat Al Maidah yang membuatnya menjadi tersangka, mantan rektor Universitas islam Negeri Syarif Hidayatullah ini sekali lagi menunjukkan sikapnya sebagai orang yang berada di tengah. Ia tak menampik bahwa dalam kadar tertentu Ahok bisa dikatakan menistakan agama. Tapi Azra juga menekankan Ahok sudah meminta maaf, dan seharusnya demo besar-besaran itu tak perlu terjadi. Apalagi ada kemungkinan aksi yang 90 persen dilakukan orang-orang lurus itu ditunggangi oleh kepentingan politik tertentu, termasuk kehendak untuk memakzulkan Jokowi. Ia juga menegaskan demonstran yang membuat rusuh harus ditindak secara hukum. Berikut ini wawancara lengkap Aditya Widya Putri dari Tirto.id dengan Profesor Azra:
Bagaimana pandangan Anda tentang makna penistaan agama secara umum, tak hanya melihat pada kasus Ahok saja?
Secara umum, yang disebut penistaan agama [secara] universal, internasional, yaitu misalnya, mengolok-olok hal-hal yang prinsip dalam sebuah agama yang menyangkut keimanan, akidah. Akidah itu keimanan kepada Tuhan. Nabi, kitab suci diolok-olok atau dipelesetkan artinya atau konteksnya. Mungkin kitab suci sendiri sudah ada artinya yang baku sudah dibakukan artinya, tapi kemudian dipelesetkan menyangkut hal-hal yang bersifat keimanan.
Penistaan itu juga bisa termasuk hal-hal yang bersifat ibadah, kalau dalam Islam itu puasa, salat, naik haji, bayar zakat. [Jika] diolok-olok kemudian dipelesetkan, itu juga bisa termasuk penistaan agama. Jadi sebetulnya cakupannya sangat luas.
Apa contoh kecilnya dalam kehidupan sehari-hari?
Mengolok-olok nabi, misalnya mengatakan “Wah, dia bukan nabi,” padahal orang lain meyakini itu. Seharusnya tidak usah diolok-olok, biarkan saja orang percaya itu. Lalu misalnya salat kan ada berdiri, ruku, sujud, bisa saja penista agama mengatakan “Kok sholat ibadahnya begitu, pakai kepala menungging, ditungging-tunggingkan?” Nah yang begitu bisa termasuk penistaan agama. Jadi, hal-hal yang menyangkut keimanan dibuat lelucon. Yaitu saat kitab suci makna dan artinya dipelesetkan, tidak sebagaimana yang baku dipahami oleh umat penganut agama itu sendiri.
Bagaimana dengan contoh penistaan agama di zaman Rasul?
Penolakan terhadap Nabi Muhammad itu sendiri yang dilempari dengan kotoran ya seperti itu, nabi dilempari dengan kotoran. Sekarang nabinya sudah tidak ada, tapi jika masjidnya dilempari kotoran, itu termasuk penistaan agama. Misalnya kepala hewan yang haram dalam Islam dilempar ke dalam masjid, nah itu juga bisa disebut penistaan.
Membiarkan masjid kotor oleh hal-hal yang haram termasuk penistaan?
Tidak, sampah tidak penistaan, itu karena kelalaian, tapi kalau “sengaja” melemparkan, misal ada orang yang sengaja melemparkan kepala hewan yang haram, dilempari ke dalam masjid atau dilumuri darah hewan tersebut.
Apa contoh yang pernah terjadi di Indonesia?
Yang dianggap penistaan agama itu misalnya Ahmadiyah dianggap oleh banyak umat Islam walau tidak seluruhnya. Ini tergantung oleh sikap juga. Misalnya Ahmadiyah itu mengaku pendirinya Mirzan Gulam Ahmad sebagai nabi padahal di dalam ajaran yang baku di dalam Al-Quran dikatakan tidak ada lagi nabi setelah Nabi Muhammad. [Banyak yang mempertanyakan], ini kok bikin lagi ada nabi dan mengaku Islam? Mereka mengikuti Islam tapi kok percaya ada lagi nabi setelah nabi Muhammad?
Soal itu yang dianggap pelecehan ayat Al-Quran. Tentang bahwa nabi Muhammad adalah nabi terakhir.
Sama seperti ajaran-ajaran Lia Eden, dsb?
Termasuk seperti itu. Tapi [kasus itu] mungkin bukan penistaannya yang menonjol tapi penyimpangannya. Lia Eden atau Ahmadiyah dianggap menyimpang dari Islam, misalnya oleh lembaga-lembaga oleh MUI.
Pandangan Anda tentang kasus Ahok sendiri bagaimana?
Memang, kalau kita lihat dari ayatnya, ayat itu memerintahkan orang-orang beriman tidak mengangkat orang Yahudi atau Nasrani menjadi aulia, menjadi pemimpin, walaupun ada juga yang mengartikan aulia sebagai teman dekat. Tapi karena ini dalam ranah politik, Ahok kan bergerak dalam politik, jadi mau tidak mau ayat tersebut berarti pemimpin.
Saya kira ada dua masalah terkait ucapan Ahok di situ. Yang pertama adalah bahwa ada orang yang membodohi orang lain atau pemilih dengan menggunakan ayat supaya tidak memilih pemimpin Kristen, dalam hal ini Ahok. Nah, orang yang melakukan itu dianggap membodohi, membohongi para pemilih, walaupun sebetulnya orang yang mengutip ayat itu maksudnya bukan membodohi tapi maksudnya adalah menyampaikan bahwa ini lho ada ayat Quran yang begini. Jadi memang dalam kadar tertentu, dalam ukuran tertentu, ada unsur penodaan agama ada di situ.
[Tapi], Ahok sudah minta maaf. Menurut saya kalau sudah minta maaf ya sudah, tidak perlu lagi mengadakan demo besar-besaran. Apalagi demonya kemudian berakhir dengan kekerasan, kekerasan yang dilakukan malah tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Kedua, peristiwa seperti itu harus diambil hikmahnya, terutama oleh para politikus, ya jangan lah mengambil hal-hal yang sangat sensitif dalam agama, apapun. Jadi, agama apapun, apakah dia Islam, Kristen, kalau menyampaikan hal-hal yang sensitif dalam politik itu bisa menimbulkan kekacauan. Sensitivitas yang tadi saya sebut adalah soal keimanan, soal nabi, Tuhan, kitab suci.
Jadi, kalau mau menarik massa atau pemilih berdasarkan pendekatan agama, carilah bidang-bidang yang tidak terlalu sensitif seperti politisi mengumpulkan orang Islam di majelis taklim, itu tidak masalah. Karena memang faktor agama masih sensitif, tak hanya di Indonesia tapi juga di negeri lain seperti Amerika. Hanya saja, di Amerika walaupun ada isu agama sensitif, yang diangkat mungkin orangnya bisa berpikir rasional tidak emosional. Sebagian kita kan masih emosional.
Adakah unsur politis yang Anda tangkap dalam demo 4 November kemarin? Bagaimana menanggapi adanya fatwa yang keluar dari MUI?
Di kalangan Islam sendiri ada yang mengambil keuntungan atau manfaat dari kekeliruan atau kesalahan Ahok seperti itu, terutama para pemimpin demo itulah yang kemarin [rusuh] setelah isya itu. Jadi ya memang sebaiknya isu agama jangan dibawa-bawa ke politik terutama agama yang sensitif dan ekplosif tadi itu, menyangkut keimanan, ketuhanan, keimanan pada nabi, kitab suci, pada ritual. Jangan dibawa-bawa, nanti salah ucap.
Apalagi zaman sekarang, zaman media sosial di mana ucapan bisa diedit, dipotong, gambarnya bisa diubah dan macam-macam, kemudian menyebabkan eksplosi emosi di kalangan masyarakat.
Memang MUI saya kira lebih melihatnya secara ketat, secara rigid, dari sudut Al-Maidahnya. Nah sebetulnya ada atau tidak fatwa MUI kalau dilihat secara harfiah teksnya Al Maidah 51 itu sudah cukup jelas. Tapi mungkin MUI sebagai lembaga masyarakat keislaman merasa perlu mengeluarkan fatwa. Tapi seharusnya tak perlu ada gerakan pembela fatwa MUI. Itu tadi ada orang-orang yang ingin memanfaatkan kasus itu apakah dilihat dari ayat Qurannya sendiri Al Maidahnya atau fatwa MUI-nya, menggunakan kasus ini untuk aksi-aksi politik mereka sendiri.
Jadi memang benar pernyataan Presiden Jokowi bahwa demonya ditunggangi kepentingan politik?
Nah yang 4 November itu lebih ke aksi politik mereka sendiri, tidak murni agama terutama pada tingkat orang-orang yang memimpin demo itu. Pemimpin demo itu punya agenda politik, tapi sebagian besar pendemo yang berdemo dengan damai adalah orang yang lurus-lurus saja: ingin Islam tak dinodai, tak dinista, tapi tidak ada keinginan untuk melakukan kekerasan. Mereka orang Islam yang sederhana saja pemikirannya. Merasa tersinggung dan demo, tapi tak agenda yang lain, misalnya memakzulkan Jokowi. Tidak ada mereka itu. Sebagian besar, saya rasa 90 persen atau lebih dari itu, kan juga banyak ibu-ibu yang ikut demo. Mana ada ibu-ibu itu punya agenda menjatuhkan Jokowi? Tidak ada.
Yang punya agenda adalah para pemimpinnya itu yang bisa kita identifikasi sejak dari semula tidak suka dengan Jokowi. Jadi kesalahan Ahok digunakan sebagai entry point untuk tujuan yang lebih jauh, yakni memakzulkan Jokowi. Bagi saya, kalau tidak suka dengan Jokowi, ya tunggu saja dua setengah tahun lagi akan ada pemilu. Kalau tidak suka ya jangan pilih Jokowi, itu cara yang damai, cara yang diajarkan Islam.
Anda mengatakan hanya pemimpinnya yang punya agenda politik, berarti mereka memanfaatkan kasus Ahok yang dianggap menistakan Al-Maidah. Bisakah orang yang memanfaatkan ini dikatakan menistakan agama juga?
Ya mungkin tidak sampai tingkat seperti itu. Tapi mereka memanfaatkan isu itu, istilahnya menunggangi isu itu untuk kepentingan politik mereka sendiri. Mungkin penistaan agama secara literal tidak, kecuali mereka plintir-plintir arti sebuah ayat untuk memprovokasi massa, itu bisa juga penistaan kalau mereka melakukan itu. Saya tidak tahu apakah mereka melakukan itu, yang jelas mereka keras tidak kompromi.
Bagaimana Presiden Jokowi harus bertindak atas kegaduhan ini, apakah yang dilakukan kemarin sudah benar?
Saya kira Jokowi ya harus baik kepada semua pelanggar. Kalau terhadap Ahok kan sudah dia tegaskan akan menjalankan proses hukum secepat-cepatnya, walaupun itu juga kurang proporsional juga, biasanya pemeriksaan tidak terbuka kok ini mau disiarkan secara live? Sepertinya kasus ini dikecualikan atau diistimewakan.
Pada saat yang sama, penegakan hukum ini juga harus dilakukan terhadap orang-orang yang melakukan kekerasan, yang memprovokasi, yang menghasut. Harus dilakukan penegakan hukum, sebab kalau tidak mereka memiliki impunitas. Saya kira polisi tahu siapa yang memprovokasi dan menggerakkan massa, siapa yang ikut ngomong, siapa yang ikut ketemu dengan Wiranto atau menkopolhukam dan wapres, kan ketahuan.
Jadi harusnya juga dilakukan penyelidikan hukum terhadap orang-orang itu. Jangan cuma Ahok yang diselidik, dibawa ke meja hijau, dipanggil ke kepolisian ke Bareskrim tapi juga pelaku yang lain yang bikin gaduh di demo 4 November kemarin pukul 18.00 WIB. Karena yang pukul 18.00 kan sudah melanggar hukum. Siapa itu yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran hukum?
Bukan soal masih demo pukul 18.00 tapi juga akhirnya menimbulkan kekerasan, juga harus ditindak secara hukum. Kalau benar isunya ada provokator di luar peserta demo ya dibongkar saja, apakah muslim atau nonmuslim yang jadi provokatornya harus dibuka secara transparan oleh polisi. Harus diselidiki, hukum harus ditegakkan. Kalau tidak, orang-orang itu akan merasa punya kekebalan, impunitas dan ini bisa menjadi preseden yang buruk bagi penegakan hukum di Indonesia.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani