tirto.id - Pada 1948, Chairil Anwar, penyair terbesar Indonesia, menulis puisi berjudul "Persetujuan dengan Bung Karno." Terbit di Majalah Liberty, Jilid 7, No 297, tahun 1954, puisi dengan antusiasme tinggi ini boleh dibilang merupakan salah satu puisi Chairil yang kelewat bersemangat. Berikut petikannya:
Bung Karno! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh
Enam puluh tahun kemudian, dengan semangat setara atau malah melampaui Chairil kepada Bung Karno, para petinggi Partai Demokrat menunjukkan persetujuan luar biasa kepada Susilo Bambang Yudhoyono. Bedanya, Chairil mengungkapkannya dengan puisi yang akan dikenang bangsa ini sampai kiamat, bersama alasan-alasan yang apik, sementara para petinggi partai berlambang bintang mercy itu berbusa-busa menyatakan dukungan yang agak menggelikan. Mereka, para penyokong utama pemerintahan SBY garda depan itu, memaklumatkan nubuat bahwa SBY akan menjadi Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa.
"Pak SBY akan jadi Sekjen PBB," kata Ahmad Mubarok, saat itu menjabat Wakil Ketua Partai Demokrat, semeyakinkan pelaku multilevel marketing bahwa ia dan lawan bicaranya akan mendapatkan kapal pesiar atau jet pribadi atau vila di kutub utara.
Buntut dari pernyataan Mubarok, pada September 2014, banyak media daring mengangkat topik peluang SBY menjadi Sekjen PBB. Isinya, komentar-komentar para kader Partai Demokrat mengenai kemungkinan tokoh junjungan mereka untuk go international seperti Anggun C. Sasmi dan Agnes Monica. Memang ada yang berusaha rasional dengan mengatakan kemungkinannya kecil, sambil tentu saja tetap menyuarakan dukungan. Tapi sisanya yang mayoritas menyuarakan keyakinan membabi-buta bahwa SBY pasti bisa. Pasti bisa. Bisa.
“Di akhir masa jabatannya, Pak SBY banyak mendapat tawaran dari dunia internasional," kata Ruhut Sitompul, yang saat itu dikenal sebagai congor utama partai penguasa.
Bahkan politisi dari partai lain pun berlomba-lomba ikut bersuara. Fahri Hamzah, misalnya, kader Partai Keadilan Sejahtera, menambahi alasan kepatutan dan kepantasan SBY sebagai figur pengganti Ban Ki Moon. “Saya segarkan ingatan kita, kalau ada orang yang minta Sekjen PBB itu wajar. Apa yang dilakukan Pak SBY 10 tahun ini menarik perhatian dunia," ujar Fahri. "Saya dukung beliau jadi Sekjen PBB.”
Sebagai bagian dari bangsa Indonesia yang gemar bertoleransi, kita tidak bisa tidak manggut-manggut mendengar pernyataan mereka. Akhirnya, dua dekade setelah Ali Alatas dianggap cocok menduduki posisi penting dan terpandang dan terhormat itu, ada lagi anak bangsa yang bisa ditampilkan ke muka. Kendati modalnya tampak tidak memadai.
Sebelum namanya dijagokan jadi Sekjen PBB, Ali Alatas membangun reputasi dan karier diplomatiknya tidak dalam satu malam. Ia diplomat hebat yang meniti karier dari titik nol, sejak tahun 1954 ketika usianya masih 22, dari satu perundingan ke perundingan lain, hampir setengah abad, hingga punya pengaruh besar di berbagai forum internasional dan semua diplomat asing memuliakannya dengan panggilan yang Indonesia banget: Pak Ali—bukan dengan sebutan sir atau mister yang lazim dipakai.
Salah satu prestasi terbesar yang pernah dicatatkan Pak Ali adalah peran pentingnya mewujudkan perdamaian di Kamboja. Bersama Perdana Menteri Kamboja saat itu, Hun Sen, Pak Ali berhasil mengakhiri perang melawan Khmer Merah yang diperkirakan menewaskan antara 1,4 hingga 2,2 juta jiwa warga sipil. "Alatas berhasil menjembatani perdamaian bersejarah di Konferensi Internasional Paris pada 1991, mengakhiri konflik dengan Khmer Merah," tulis harian The Guardian dalam obituari mengenang Pak Ali.
Sebagai figur yang karismatik dan elegan, diakui jasa-jasa dan pengalamannya, tak heran pada tahun 1990-an namanya selalu nangkring di bursa pencalonan Sekjen PBB. "Alatas seorang tokoh yang sangat disegani di kawasan (Asia-Pasifik) yang tinggal selangkah lagi menjadi Sekjen PBB," tulis Reuters.
Jika saja pada masa itu ia mengajukan dirinya sebagai kandidat, kita pasti akan sangat bangga pernah punya anak bangsa yang duduk di kursi tertinggi pergaulan antarnegara. Sebab ia selalu menjadi bakal calon paling kuat. Namanya selalu teratas di bursa taruhan. Tapi ia tak pernah mencalonkan diri. Bos Pak Ali, bos kita semua pada zaman itu, Soeharto, tidak pernah merestui langkahnya.
Kenapa Soeharto menghalangi Ali Alatas masih misteri hingga hari ini. Menurut laporan-laporan resmi, sang diktator khawatir pencalonan Ali bisa mengakibatkan semakin meluasnya sorotan terhadap kejahatan hak asasi manusia di Timor Timur. Di dalam negeri, tidak sedikit orang yang percaya Soeharto sengaja menjegal Ali karena tidak sudi merasa dikangkangi. Jika Ali jadi Sekjen PBB, Soeharto was-was dianggap rakyat Indonesia sebagai bawahan Ali—ini jelas tak tertahankan bagi manusia macam Soeharto.
Kamis mendatang, Dewan Keamanan PBB akan melakukan pemungutan suara tahap pertama untuk menyeleksi 12 nama kandidat yang sejauh ini masuk. Nama-nama itu nantinya akan diseleksi lagi hingga tersisa satu nama untuk disahkan dan dilantik Majelis Umum PBB.
Sepanjang sejarah PBB, belum pernah ada perempuan yang menjabat Sekjen. Kabar baiknya, tahun ini separuh kandidatnya adalah perempuan. Tiga di antara mereka bahkan adalah calon-calon kuat yang berpeluang besar untuk menang: Helen Clark, kepala program pembangunan PBB dan mantan perdana menteri Selandia Baru; Susana Malcorra, Menteri Luar Negeri Argentina; serta Irina Bokova, Direktur Jenderal UNESCO asal Bulgaria.
Tidak ada nama Yudhoyono di sana. Maka suramlah nasib nubuat para pemuja SBY, mereka yang pernah dianugerahi julukan ciamik dari sastrawan AS Laksana: Para Pengunyah Kerupuk.
Penulis: Arlian Buana
Editor: Maulida Sri Handayani