tirto.id - Aksi demo 4 November kemarin menjadi sangat kompleks ketika beberapa indikator menunjukkan masuknya free rider atau penunggang bebas yang membuat aksi yang awalnya damai menjadi jauh lebih tidak terkontrol pada malam hari.
“Saya melihat ada pergerakan, ada upaya beberapa elite yang kemudian mencoba masuk lewat pintu demonstrasi ini. Mekipun yang demontrasi berorientasi pada soal penistaan agama, tapi ada juga yang berkeinginan untuk melakukan deligitimasi terhadap pemerintahan Jokowi,” kata Gun Gun Heryanto, peneliti politik dari UIN Syarif Hidayatullah kepada Mawa Kresna dari tirto.id, Minggu (6/11/2016).
Pertanyaannya kemudian, siapa yang diuntungkan pasca demo? Mengapa Ahok bisa dikatakan melakukan blunder terhadap isu SARA yang berdaya ledak tinggi? Bagaimana sebaiknya pemerintah bersikap agar tak terjadi demo serupa yang berpotensi menciderai demokrasi? Berikut wawancaranya;
Adakah perubahan konstelasi politik nasional dan Jakarta menjelang Pilkada 2017 pasca demo 4 November?
Pertama, kita harus membaca konteksnya dulu. Aksi demo kemarin memang menjadi sangat kompleks ketika beberapa indikator menunjukkan masuknya free rider atau penunggang bebas yang membuat demonstrasi yang awalnya damai menjadi jauh lebih tidak terkontrol pada malam hari, melampaui batas undang-undang.
Kenapa penting membaca konteks ini, karena sedari awal kerumunan orang kan berkelindan dengan dua konstelasi. Pertama konstelasi politik nasional, kedua kontelasi politik jangka pendek di Pilkada Jakarta.
Jadi memang bisa terkait konstelasi politik nasional?
Saya melihat ada pergerakan, ada upaya beberapa elite yang kemudian mencoba masuk lewat pintu demonstrasi ini. Meskipun yang demontrasi berorientasi pada soal penistaan agama, tapi ada juga yang berkeinginan untuk melakukan deligitimasi terhadap pemerintahan Jokowi.
Kemudian terkait konstelasi Pilkada DKI, bagaimana pun kita sama-sama tahu bahwa sumber dari demo 4 November pernyataan Ahok. Ketika pernyataan Ahok disebar melalui beragam kanal, tidak hanya media mainstream tapi juga sosial media, saya melihat memang ada yang sepertinya berupaya menariknya menjadi sebuah ekspresi politik. Bukan lagi ekspresi di wilayah hukum.
Bisa dijelaskan lebih detail?
Penistaan agama itu wilayah hukum dan prosesnya sudah dipastikan oleh Wapres JK, yakni dua minggu untuk kejelasan status. Bukan selesainya persoalan. Misalnya, apakah statusnya bisa ditingkatkan menjadi tersangka. Proses hukum sekarang sedang berjalan di kepolisian dan sedang berjalan pemanggilan saksi-saksi.
Seharusnya yang menuntut penegakan hukum senang dan mengawal proses penegakan hukum ini menjadi lebih profesional dan proporsional. Dan selama belum ada putusan inkrah, maka semua orang harus menghargai yang namanya keadaban berpolitik. Keadaban berpolitik basisnya adalah nilai etis. Sebab jika terjadi pemaksaan, ada tirani mayoritas dalam beropini, maka sama saja dengan intervensi dari pemegang kekuasaan.
Intervensi tidak boleh dilakukan oleh Presiden atau tirani mayoritas. Artinya, harus ada upaya pemberian wewenang secara profesional dan proporsional kepada penegak hukum. Tinggal kemudian penegak hukum dipantau. Semua mata dan telinga harus memantau penegak hukum terkait apakah ada penistaan agama atau tidak.
Artinya demo 4 November sangat berpengaruh pada konstelasi Pilkada DKI?
Iya karena sumber dari tuntutan adalah salah satu dari kandidat. Ahok sebagai petahana menjadi titik episentrum. Bukan hanya diskursus tapi juga perang opini. Kemudian kenapa mempengaruhi konstelasi politik nasional, karena Ahok sebagai aktor sangat dekat dengan Jokowi. Belum lagi fakta bahwa Pilkada DKI Jakarta menjadi barometer indikator politik nasional karena hampir setiap saat mendapat sorotan dari media.
Apakah Anda melihat ada kepentingan untuk Pilpres 2019?
Ya kalau muncul wacana soal pemakzulan itu bubble atau gelembung politik. Apa basis evidence-nya orang mengarahkan tuntutan penistaan agama terhadap pemakzulan presiden?
Tetapi kalau ditanya apakah ada hubungan dengan pertarungan opini menjelang Pilpres 2019? Ya memang masih terlalu jauh dengan 2019. Tapi ingat, Pipres 2019 bakal ada konstelasi yang berbeda dengan pemilu sebelumnya, karena Pileg dan Pilpres disatukan. Semua orang sudah pasang kuda-kuda dari sekarang.
Saya melihat kemarin menemukan momentumnya. Badai datang lebih dini karena ada entry point yang bisa dimasuki oleh beberapa pihak yang melihat demo 4 November bisa menjadi jalan buat mendelegitimasi pemerintahan Jokowi. Sebab sosok Ahok dianggap sangat dekat, power relation-nya sangat dekat dengan Jokowi.
Ahok sepertinya sudah jadi musuh bersama. Muncul wacana gubernur boleh siapa saja asal bukan Ahok. Mengapa bisa terjadi?
Memang risiko semua petahana. Biasanya memang akan menjadi target yang harus dikalahkan. Kalau kita bacanya soal kontestasi elektoral. apakah Ahok menjadi common anemy? Bisa iya kalau itu misalnya dilakukan oleh jangkar politik di Pilkada DKI. Tapi demo 4 November itu melampaui batas teritorial. Bahkan apakah lebih banyak masyarakat DKI yang ikut atau tidak, itu juga perlu diteliti.
Bahwa kemudian banyak aktor yang masuk gelanggang demonstrasi kemarin, kita sudah sama-sama tahu. Di situ banyak juga politisi partai politik yang masuk. Artinya saya melihat menjadi lebih kompleks dari sekadar menuntut penistaan agama itu.
Maksud Anda?
Saya melihat dari dua sisi. Satu sisi memang ada ribuan massa yang berkehendak menuntut penegakan hukum. Menurut saya masih sangat wajar karena ini negara demokrasi. Kalau ada kegundahan dan kekecewaan, apalagi ada pelanggaran hukum, orang memang harus menuntut penegakan hukum.
Tapi ada sisi kedua, yakni sisi kepentingan politik yang sebenarnya wilayahnya abu-abu. Bukan selesai pada orientasi penegakan hukum, tetapi lebih pada pertarungan opini yang terjadi secara terus-menerus dan menjadi kontrol merusak citra dan reputasi Ahok.
Apakah Ahok sendiri bisa dikatakan membuat blunder?
Memang bisa dikatakan semacam pintu masuk karena Ahok dalam beberapa hal juga melakukan blunder. Ini kan soal bagaimana manajemen komunikasi. Ada isu yang dilempar dan kemudian direspon oleh Ahok. Dan tentu menjadi sasaran empuk.
Isu yang bersinggungan dengan suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) memang berdaya ledak tinggi. Jadi di level itu, stimulan Ahok memang bisa dikatakan blunder. Ahok memang sudah meminta maaf, meski kemudian tidak menghapus proses hukumnya. Proses itu sedang berjalan di Bareskrim Mabes Polri.
Tetapi ternyata ada segelintir elite politik yang pasti akan memanfaatkan. Bukan hanya semata untuk penyelesaian kasus hukum, tetapi soal delegitimasi terhadap citra Ahok. Dan tentu akan bermanfaat bagi kompetitor, baik langsung atau tidak langsung. Dan kita bisa melihat kompetitor tidak memainkan isu secara eksplosif. Agus dan Anies menahan diri. Tetapi tim di bawah dan partai pendukungnya bergeliat menghidupkan isu berjalan dalam bingkai sosial media dan mainstream.
Bagaimana Anda melihat manuver Jokowi menemui Prabowo?
Saya setuju bahwa dalam situasi seperti kemarin, hal yang paling bagus dalam konteks idealisme negara demokrasi berbasis kebangsaan dan kebhinekaan adalah menempuh langkah-langkah yang bisa mendinginkan. Sebab bangsa ini akan tercederai dengan isu berdaya ledak tinggi seperti isu agama. Sembuhnya tidak satu tahun atau dua tahun.
Ini memang bukan soal menang atau kalah di Pilakda DKI, tapi soal daya tahan demokrasi. Kalau kemudian cedera di sini, maka problem bukan hanya di Pilkada DKI 2017, tetapi juga proses konsolidasi demokrasi di Indonesia. Sebab konsolidasi membutuhkan stabilitas dan daya tahan demokrasi.
Bagi saya, demokrasi yang tercederai oleh konflik horizontal yang masif dan menjadi eskalasi politik nasional akan berdampak buruk. Maka saya berpikir akan menjadi setback bagi proses konsolidasi demokrasi di indonesia.
Kalau proses hukum berjalan dan Ahok diputuskan bersalah atau tidak, ya itulah menurut saya hal yang paling elegan. Daripada memaksakan isu menggelinding bukan di ranah hukum tetapi di ranah lain. Propaganda atau black campaign merusak hasil reformasi.
Siapa yang paling diuntungkan dalam kondisi seperti ini?
Pihak yang paling diuntungkan tentu kompetitor Ahok. Saya tidak mengatakan bahwa demo 4 November diskenario oleh kompetitor Ahok. Tetapi siapa paling diuntungkan? Tentu kompetitor. Dan hari-hari ini akan jadi hari penuh caci-maki terhadap Ahok.
Dan bisa saja kemudian, di level persepsi, akan ada lapisan masyarakat yang juga terpapar oleh ragam black campaign terhadap Ahok. Terutama terkait isu penistaan agama. Sekarang kan sudah muncul isu labeling sebagai penista agama. Sebelum putusan pengadilan inkrah, sudah ada pengadilan opini. Dan pasti isu seperti ini akan menjadi salah satu dari sekian banyak amunisi untuk menyerang petahana.
Bagaimana saran Anda melihat kondisi saat ini?
Bagi saya yang penting adalah publik dan pemerintah harus sama-sama punya tanggung jawab moral dan etis. Masing-masing memastikan bahwa semua yang bertarung di level lokal punya konsen yang sama menjaga kestabilan dan presistensi demokrasi. Jangan sampai hal yang paling krusial soal kebebasan dalam berekspresi jadi ternodai. Ini adalah kebebasan yang berkeadaban.
Tokoh-tokoh yang kemarin menginisasi demo 4 November juga harus punya tanggung jawab moral dan etis untuk menjaga gerakannya supaya kemudian tidak menjadi back fire terhadap citra dari Islam yang rahmatanlilalamin (membawa rahmat dan kesejahteraan bagi seluruh alam semesta).
Pun juga pemerintah, jangan mengesankan bahwa hukum hanya berlaku kepada orang yang tidak punya kekuasaan, tetapi juga yang sedang berkuasa. Jadi harus sama. Sementara warga yang menuntut penegakan hukum, juga harus bersabar dengan proses hukum dan jangan melakukan tindakan di luar proses hukum.
Apakah momentum aksi besar-besaran seperti kemarin bisa terulang terkait kepentingan jangka pendek Pilkada?
Sangat bisa. Direplikasi masih sangat bisa. Apalagi ada pernyataan yang punya timeline seperti pernyataan Wapres JK terkait proses hukum Ahok.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti