tirto.id - SBY curhat. Bukan berita baru. Sepuluh tahun pemeritahannya adalah reportoar curhat satu ke curhat lain, dari prihatin ke prihatin. SBY curhat sambil marah-marah, ini baru berita. Terakhir ia melakukannya tujuh tahun lalu.
Dalam jumpa pers di Istana Merdeka 17 Juli 2009 silam, SBY membeberkan laporan intelijen yang bikin berdiri bulu kuduk. "Intelijen yang saya maksud adalah, adanya kelompok teroris yang berlatih menembak, dengan foto saya, foto SBY," katanya, menaruh tangan kanannya di dada, "dijadikan sasaran."
SBY balik badan, meminta sesuatu dari perwira polisi yang berdiri tepat di belakangnya. Empat lembar kertas. "Kita tunjukkan."
"Ada rekaman videonya, ini mereka yang berlatih menembak," lanjutnya, sambil mengangkat salah satu kertas dengan tangan kirinya, agar kamera wartawan bisa menangkap lebih jelas. Kertas itu kemudian ditaruh di paling belakang tumpukan.
"Dua orang menembak pistol." Ia pamerkan kertas lainnya.
"Dan ini foto saya, dengan perkenaan tembakan di wilayah muka saya," kata SBY, menunjuk pipinya, yang di kertas, lalu yang asli, lalu kembali ke kertas lagi. "Ini intelijen, ada rekaman videonya, ada gambarnya, bukan fitnah, bukan isu."
Dalam pidato paling serius sekalipun, dalam keadaan normal, ia masih tampak bisa menahan diri dan mimiknya terukur. Tapi tidak dalam pidato intelijen-intelijenan ini. Air mukanya keruh. Pastilah gawat betul.
Kegawatan serupa terulang pada 2 November 2016. Kali ini statusnya bukan lagi presiden negara demokratis dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Sekali lagi ia kehilangan ketenangannya yang masyhur itu. Di hadapan para wartawan yang berkumpul di kediamannya, di Cikeas, ia membicarakan beberapa hal penting terkait citra dirinya sebagai mantan presiden dan ketua umum salah satu partai terbesar dan ayah salah seorang calon gubernur DKI Jakarta.
Dan, sekali lagi, berhubungan pula dengan intelijen—yang sungguh-sungguh pula ia maksudkan.
"Saudara-saudara, ber-ba-ha-ya jika di sebuah negara ada inteligence failure dan inteligence error," kata SBY. "Inteligent failure, misalnya, laporannya itu berlebihan atau kurang." Diikuti contoh yang dijabarkannya dengan gaya seorang bapak yang mengandani anaknya. "Kalau inteligent error; analisisnya bengkok, datanya ndak ada, faktanya tidak ada, dikait-kaitkan, ambil sumber social media, termasuk buzzers, dianalisis, 'ah, pasti ini yang menggerakkan, pasti ini yang mendanai.'"
SBY sedang menyesalkan tuduhan terhadap kelompok tertentu, partai politik tertentu, yang ditengarai menggerakkan dan mendanai demontrasi akbar "Aksi Bela Islam" 4 November yang dimotori Front Pembela Islam. "Kalau ada informasi atau analisis intelijen seperti itu, saya kira berbahaya—menuduh seseorang, menuduh sebuah kalangan, menuduh sebuah partai politik, melakukan seperti itu," katanya. "Pertama, itu fitnah. Fitnah lebih kejam dibandingkan pembunuhan, I tell you. Yang kedua, menghina. Rakyat bukan kelompok bayaran. Urusan hati nurani tidak ada yang bisa mempengaruhi."
Parpol atau kelompok mana yang difitnah? Hanya SBY yang tahu. Ia tidak membuka sesi tanya-jawab setelah pidatonya pungkas. Sebagaimana video latihan teroris yang dengan wajah SBY sebagai sasaran hingga kini belum pernah dirilis, kita tidak akan pernah tahu kalau tidak SBY sendiri yang menerangkan. Lagi pula, namanya juga intelijen, tidak semua orang punya akses.
Namun, untuk memudahkan narasi, kita anggap saja partai SBY, Partai Demokrat, yang menjadi sasaran tuduhan. Jahat betul orang-orang yang asal tuding itu—jika benar ada.
"Kita tahu Arab Spring. Mulai dari Mesir, Libya, Tunisia, Yemen, itu tidak ada—dikatakan—penggeraknya. Leaderless revolution. Yang mengomandoi: handphone, social media. Itulah era digital society. Itulah era sekarang ini," kata SBY. "Jadi, jangan tiba-tiba menyimpulkan 'ini yang menggerakkan, ini yang mendanai.'"
Dari mana SBY mendapatkan laporan intelijen atas laporan intelijen tersebut? "Saya kumpulkan keterangan," katanya, "saya korek apa yang ada dalam pikiran para penyelenggara negara, jajaran pemerintahan, beliau-beliau yang mengemban amanah, baru saya bicara."
Bukan main, SBY sudah bisa membaca pikiran orang. Semakin sakti saja.
Selanjutnya, SBY menyampaikan pandangan, sikap, dan rekomendasi Partai Demokrat untuk unjuk rasa besar-besaran 4 November. "Kalau sama sekali tidak didengar, diabaikan, sampai lebaran kuda masih akan ada unjuk rasa itu," katanya. "Mari kita bikin mudah urusan ini, jangan dipersulit."
Ia berhenti sejenak, melepas kacamata, mengambil sapu tangan yang dilipat empat dari saku celananya, mengelap pipi kirinya yang berkeringat, dahi, mata kanan, rambut belakang, dan kembali memasang kacamata.
Setelah meminta maaf atas jeda tersebut, ia melanjutkan ceramahnya dengan materi kuliah Manajemen semester satu yang sama sekali tidak mudah diikuti. Kuliahnya panjang sekali, tapi sari patinya ada di kalimat berikut ini: "Pak Ahok ya mesti diproses secara hukum. Jangan sampai beliau dianggap kebal hukum," katanya. "Tidak perlu ada tudingan Pak Ahok tidak boleh disentuh. Bayangkan, do not touch Pak Ahok. Bayangkan. Nah, setelah Pak Ahok diproses secara hukum, semua pihak menghormati." Dengan penekanan pada kata "menghormati", dan larangan darinya agar jangan gaduh.
Kemudian SBY mengklarifikasi beberapa isu miring yang menerpa dirinya: mulai dari Tim Pencari Fakta (TPF) Munir, rumah dinasnya yang diberitakan macam-macam oleh sebuah stasiun televisi, hingga hartanya yang digosipkan mencapai Rp9 triliun.
"Kalau saya punya kekuasaan sekarang ini, era sekarang ini, barangkali yang memberitakan berita bohong itu sudah terbirit-birit, yang menebarkan fitnah itu sudah ketakutan. Barangkali dalam waktu 3 hari sudah ketemu, Bareskrim sudah menemukan siapa pertama kali yang menyebarkan berita—akhirnya menjadi viral. Dan pasti dapat ditindak," katanya.
"Mimpi saya. My dream. Dan saya punya hak konstitusi untuk bermimpi," lanjutnya. "Mudah-mudahan mimpi saya ini tidak dilaporkan ke Presiden Jokowi—misalnya, 'mimpinya SBY itu mengganggu stabilitas nasional'. Siapapun rakyat kebanyakan, termasuk saya, jika difitnah oleh televisi, dan pelaku social media melanggar hukum dan etika, itu juga mendapatkan perlakuan yang sama."
SBY sepertinya lupa tentang kaosnya era digital society seperti yang disampaikannya di muka. Dan, yang lebih penting, seharusnya ia tidak perlu berandai-andai ia masih punya kekuasaan. SBY hanya perlu melapor ke pihak kepolisian. Tidak perlu bermimpi dan berkhayal mimpi itu dianggap mengganggu stabilitas nasional. Serahkan pada proses hukum. Beres perkara.
Kecuali ia memang hanya bermaksud menjadikannya drama dalam pidato. Baper.
Kamis sore, 3 November 2016, Presiden Jokowi bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla menggelar jumpa pers. Keduanya terlihat santai, duduk di sebuah sofa yang diletakkan khusus di beranda Istana Merdeka. JK lebih banyak berbicara, Jokowi hanya menanggapi pertanyaan yang langsung ditujukan untuknya saja.
Ditanya tanggapannya mengenai pidato SBY, Jokowi menjawab, "Bagus, sangat bagus." Disambut gelak tawa awak media di sana. "Ya, kan, memberikan masukan kepada pemerintah. Bagus, sangat bagus."
Mengenai informasi intelijen yang disinggung SBY, "Ya, yang namanya manusia, kadang bisa benar, kadang bisa enggak bener. Bisa eror, bisa enggak eror," kata Jokowi, disusul tawanya sendiri.
"Intelijen itu kan informasi kemudian dianalisa," kata JK mengambil alih. "Analisa, kan, boleh beda-beda. Mungkin yang ditangkap Pak SBY beda, analisa kita juga beda. Tapi, itu biasa saja."
Dan Jokowi terus tertawa.
Penulis: Arlian Buana
Editor: Arlian Buana