tirto.id - Anies menyebut bahwa ia hendak membuat kota yang maju dan membahagiakan warganya. Salah satu poin yang ia inginkan adalah menjadikan kota ini sebagai ladang pahala. Retorika konservatif Anies Baswedan tercium jelas di sepanjang debat pertama calon Gubenur Jakarta.
Anies Baswedan membuka debat Pilkada DKI Jakarta dengan klaim bahwa ia membawa pengalaman, pengetahuan dan akumulasi jaringan. Untuk itu berjanji tidak akan membuat kota ini sebagai tempat uji coba, tapi akan mengajak warganya maju bersama dan menjadikan Jakarta sebagai tempat berpahala.
Ia mengaku memprioritaskan pendidikan dan penyediaan lapangan pekerjaan sebagai program utama, atau dalam bahasanya: “Kita didik anak-anak itu sehingga menjadi anak-anak yang berakhlak, anak yang berkarakter, anak yang berkompeten,”
Sejauh ini program jaminan pendidikan yang disediakan Pemda DKI Jakarta berusaha menjamin akses bagi warga DKI Jakarta dari kalangan masyarakat tidak mampu untuk mengenyam pendidikan minimal sampai dengan tamat SMA/SMK dengan dibiayai penuh dari dana APBD Provinsi DKI Jakarta. Maka ketika Anies hendak menawarkan program ini, sebenarnya tidak ada yang sepenuhnya baru kecuali tagline “plus” (KJP Plus). Pada acara debat kemarin ia tidak menjelaskan apa yang membedakan KJP milik Pemda DKI saat ini dengan KJP Plus yang ia tawarkan.
Sandiaga Uno, wakil Anies, hanya mengatakan bahwa “pendidikan kita diharapkan lebih tuntas, berkualitas, dan terjangkau biayanya” tanpa menjelaskan secara spesifik apa yang dimaksud tuntas, berkualitas, dan terjangkau.
Tentang Narkoba di Jakarta
Anies Baswedan juga berikhtiar memerangi narkoba hingga tuntas. Apa yang membuat Anies peduli dengan urusan narkoba di Jakarta?
Berdasarkan data Statistik Kriminal 2015 yang dirilis BPS, angka kejahatan terkait narkotika di Jakarta per 2014 ada 4.712 kasus. Angka ini tertinggi di seluruh Indonesia, jauh lebih tinggi daripada Sumatera Utara yang mencapai 2.732 dan Lampung 1.669 kasus sepanjang 2014.
BNN juga menyebut angka penyalahgunaan narkoba masih tetap tertinggi di DKI Jakarta. Selain itu angka prevalensi pernah pakai dan setahun pakai narkoba di Jakarta paling tinggi di antara provinsi lainnya di tahun 2015.
Tentang Lapangan Kerja di Jakarta
Selanjutnya Anies menyebut mereka yang datang ke Jakarta bertujuan untuk hidup sejahtera, karena di Jakarta mereka berharap bisa mendapatkan akses terhadap pekerjaan dan jaminan sosial seperti pendidikan dasar secara gratis. Selain itu, melalui calon wakil gubenurnya, Sandiaga Uno, pasangan itu menjanjikan menghadirkan satu pusat kewirausahaan per kecamatan untuk mendorong roda bisnis dan kemakmuran warga.
Sandiaga berkata bahwa lapangan pekerjaan semakin sulit didapat. “Sekarang mencari kerja sangat susah,” katanya.
Tapi benarkah lapangan pekerjaan semakin sulit di dapat?
Tim riset Tirto menyebutkan bahwa lima tahun terakhir angka pengangguran murni di Jakarta terus menurun. Ini indikator bahwa lapangan pekerjaan di Jakarta sedikit demi sedikit meningkat. Pada 2011 ada 10,8 persen penganguran terbuka di Jakarta, namun pada 2015 turun menjadi 7,23 persen. Suku Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DKI Jakarta juga rutin menyelenggarakan job fair, sepanjang 2015 kemarin mereka mengadakan job fair di Jakarta Pusat, Jakarta Timur, dan Jakarta Selatan.
Konsep Urban Renewal di Jakarta
Anies juga membahas urban renewal sebagai solusi alternatif untuk tidak menggusur, namun tidak sempat menjabarkan lebih jelas apa yang dimaksud dengan hal itu.
Emili Badger, dalam kolomnya di The New York Times, menyebut terma “urban renewal” muncul di Amerika pertama kali pada 1954 dalam Housing Act sebagai pengembangan dari konsep “urban redevelopment” yang populer pada 1949. Hukum ini memberikan kekuasaan dan uang pada pemerintah federal Amerika untuk mengubah lingkungan kumuh untuk tempat yang lebih baik. Emili Badger, menyebut Urban Renewal digunakan untuk menghabisi orang miskin, menyingkirkan lingkungan kumuh, dan menghancurkan komunitas yang dianggap menganggu kepentingan publik.
Tokoh politik dunia yang baru-baru ini membahas dan menggunakan terma Urban Renewal adalah Donald Trump. Di Amerika para sarjana dan peneliti menolak Urban Renewal karena dianggap lebih sering menggusur kelompok minoritas rentan daripada memberdayakannya. Di Amerika Pittsburgh menjadi contoh kota yang sukses diubah dari daerah kumuh ke daerah mentereng. James Baldwin, novelis Afrika Amerika, menyindir Urban Renewal menjadi "Negro Removal" karena memangsa kelompok kulit hitam.
Retorika Pendatang di Jakarta
Menjadi penting bagi Anies untuk memastikan Urban Renewal sebagai alternatif penggusuran tidak berakhir menjadi penyingkiran “minoritas”. Ini penting bukan semata karena Anies tidak menjelaskannya dengan rinci, melainkan juga karena retorika Anies cukup sering mengutarakan retorika mengenai standar moral, akhlak, karakter, dan inside/outsider. Juga terkait kunjungan Anies ke Markas FPI dan di sana ia mengungkapkan retorika keunggulan warga peranakan Arab dalam sejarah (Indonesia).
Ini tentu menarik, selama beberapa bulan terakhir Anies sibuk menjawab tuduhan bahwa dirinya liberal, kunjugan ke markas besar FPI di Petamburan juga bagian dari upaya menyingkirkan citra liberal itu. Retorika konservatisme ini untuk menarik dukungan dari kelompok mayarakat tradisional yang menganggap nilai norma kesusilaan dan tata krama sebagai cara pandang hidup utama.
Anies, misalnya, sempat menanggapi pernyataan Syviana soal Tim Pengawasan Orang (Timpora) Asing kepada pasangan calon nomor satu. Ia menyebutkan salah satu tantangan terbesar di Jakarta adalah memastikan kesempatan kerja yang ada di Jakarta bisa dinikmati warga Jakarta. Kesempatan yang ada di Jakarta menurutnya jangan sampai dinikmati orang lain. Ia sendiri memprioritaskan lapangan pekerjaan di Jakarta dinikmati warga Jakarta.
Pernyataan ini memuat nada kecurigaan terhadap pendatang dan mengingatkan kita pada retorika anti imigran yang, misalnya, dilakukan Donald Trump. Ia juga menawarkan konsep pengawasan terhadap orang asing pada level RT dan RW. Ia menjanjikan pengawasan melekat di setiap wilayah sehingga memastikan mereka yang berkarya di Jakarta adalah mereka yang memiliki dokumen-dokumen lengkap,
Kecurigaan terhadap orang asing ia sampaikan melalui kalimat yang lugas. “Karena sekarang berdatangan mereka dari luar mengambil manfaat di Jakarta dan merugikan warga Jakarta. Timpora akan kita optimalkan,” kata Anies.
Faktanya pekerja di Jakarta sangat banyak yang secara administratif bukan warga Jakarta. Apakah dengan itu warga ber-KTP Bekasi, Depok, Bogor atau Tangerang akan dipersulit bekerja di Jakarta?
Ini juga rencana yang krusial karena, biar bagaimana pun, Jakarta adalah ibukota negara, tempat di mana republik ini dikendalikan, sekaligus pusat ekonomi yang paling menentukan.
Sebagai catatan, uraian Anies tentang retorika pendatang ini untuk menimpali apa yang dikatakan Sylviana Murni terkait Timpora. Sehingga, catatan ini juga patut disorongkan kepada pasangan Agus-Syviana.
Perkembangan Transportasi di Jakarta
Berikutnya Anies menyerang Ahok dengan menyebutkan bahwa transportasi di Jakarta belum distrukturkan. Ia menyebut masyarakat Jakarta sudah tumbuh berkembang namun rute transportasi kita sudah beberapa dekade ini tak mengalami perubahan.
Kalimat ini perlu dielaborasi lebih lanjut, apa yang ia maksud engan distrukturkan? PT Transjakarta sendiri telah membuat banyak perbaikan koridor, peremajaan bus, penambahan jumlah trayek seperti Bekasi MM - Bundaran HI, Bekasi MM - Tanjung Priok, Bekasi Timur – Grogol, Lebak Bulus – Kota dan Manggarai - Universitas Indonesia.
Angka pertumbuhan penumpang Transjakarta yang diklaim Sandiaga Uno hanya enam persen juga dibantah oleh PT Transjakarta, menurut mereka jumlah pelanggan Transjakarta pada 2016 adalah sebesar 123,73 juta orang. Sementara pada 2015, jumlah penumpang Transjakarta 102,95 juta orang. Dengan demikian, kenaikan pelanggan Transjakarta sebesar 20,78 juta orang, ada kenaikan 20 persen penumpang.
Mutu Pendidikan dan Moral Serta Iman di Jakarta
Pada akhir sesi keenam Anies membahas tentang meningkatkan mutu pendidikan, yang menurutnya tidak hanya sekedar perut, otak dan, dompet.
“Di sana tak ada moral, di sana tak ada karakter, di sana tak ada nilai. Justru yang mau kita bangun adalah iman, taqwa, akhlak, karena yang dibutuhkan bagi masyarakat Indonesia adalah pendidikan yang menumbuhkan karakter moral dan karakter kinerja,” kata Anies.
Benarkah Ahok tidak membangun iman, taqwa dan ahlak? Anies perlu memperjelas apa indikator pendidikan untuk membangun iman, taqwa dan ahlak.
Secara spesifik pendidikan karakter moral yang diharapkan Anies dicapai dengan program penumbuhan karakter dan lingkungan. Di mana akan dibuat aturan maghrib sampai isya bagi yang murid usia sekolah muslim mengaji.
Menariknya jauh sebelum Anies, Ahok pada 2014 meminta ulama untuk menyukseskan target Pemprov DKI terhadap buta Al Quran. Salah satu target utama dari program ini adalah anak-anak usia sekolah, Ahok malah secara spesifik berharap melalui program ini anak-anak usia 12 tahun di DKI sudah hafal dan khatam Quran. Ia juga mengimbau Biro Pendidikan Mental dan Spiritual (Dikmental) DKI untuk benar-benar menyeleksi anak-anak yang diikutsertakan dalam perlombaan MTQ.
Ini tentu bukan tolok ukur komitmen pendidikan yang membangun iman, tapi jika menyebut Ahok tak ada niat sama sekali untuk membangun iman (dengan ukuran mengaji), Anies tidak terlalu akurat.
Perkara Kampung Deret di Jakarta
Anies juga menyinggung tentang janji dan kontrak politik yang dibuat Joko Widodo untuk membangun kampung deret dan tidak akan menggusur. Menurut Anies, pada saat kampanye Gubenur DKI Jakarta yang sebelumnya berjanji untuk membuat kampung deret tapi tidak dipenuhi.
Di RT 12/RW 04 Kelurahan Cilincing, Jakarta Utara, ada sebuah kampung nelayan yang saat ini lebih dikenal dengan sebutan Kampung Deret telah dibangun. Sebanyak lebih kurang 400 kepala keluarga tinggal di 350 bangunan di kawasan tersebut. Kampung Deret ini dibangun pada saat Joko Widodo (Jokowi) menjabat sebagai Gubernur DKI.
Sebelumnya tempat ini merupakan pemukiman kumuh yang sempit dan jauh dari indah. Rumah warga juga dibangun dengan bahan seadanya, namun dengan pendekatan yang baik, rumah warga tidak digusur total, namun diubah tanpa memindahkan. Ini pendekatan ala Jokowi tentu saja dan Ahok memang tidak mampu melakukan atau meneruskannya.
Apakah ini konsep urban renewal yang dimaksud Anies tentu mesti kita tunggu penjelasannya secara lebih detail.
Kesulitan Menguji Anies
Ahok menyerang Anies dengan sebutan "dosen" -- serangan agresif yang tidak salah jika dibilang mendelegitimasi pekerjaan dosen. Setiap orang, dari dosen sampai guru TK, berhak mencalonkan diri sebagai pemimpin publik. Tolok ukur dalam debat tentu bukan dosen atau bukan, melainkan kemampuan menjelaskan rencana dan program dengan jelas. Seorang dosen bisa saja menjelaskan dengan baik, seorang insinyur belum tentu dapat menjelaskan.
Namun Anies memang perlu mengungkapkan rencana dan programnya dengan lebih jelas. Artinya: lebih konkrit, lebih terukur, juga lebih dapat diuji. Banyak uraian-uraian Anies yang memang sulit untuk tidak dikatakan abstrak. Retorika Anies tentang moral, akhlak, dan iman (Anies sangat sering menggunakan kata "moral") tidak salah, lebih tepatnya: tidak bisa dibantah karena tidak mungkin ada kandidat yang akan mengatakan sebaliknya.
Anies mesti lebih berani mengeksplorasi gagasan-gagasan moralnya melalui uraian program yang lebih operasional agar lebih mudah diuji dan/atau difalsifikasi. Dalam perdebatan mengenai hajat publik, menjadi penting uraian-uraian yang dapat difalsifikasi. Jika tidak, uraian-uraian seperti itu bisa diabaikan.
Di atas kertas Anies bisa dan mampu. Salah satu yang menonjol dalam karier akademik Anies adalah sebagai peneliti. Dari menjadi peneliti di Pusat Antar-Universitas di UGM, manajer riset di IPC Inc., sampai Direktur Riset Indonesian Institute Center, juga menjadi peneliti utama di Lembaga Survei Indonesia. Berbicara soal angka, juga data, bukanlah sesuatu yang asing bagi Anies.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Zen RS