Menuju konten utama

Presiden yang Tak Kunjung Padam

Sebuah usaha menguji kemahiran SBY berkata-kata.

Presiden yang Tak Kunjung Padam
Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memberikan sambutan dan pidato dukungan kepada pasangan calon Gubernur DKI nomor urut satu Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni di Sentul International Convention Center (SICC), Babakan Madang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Rabu (8/2). Tim sukses pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur DKI Agus Harimurti Yudhoyono dan Sylviana Murni menggelar acara yang bertajuk silaturahmi paguyuban bersama Rakyat Tangguh Republik Wibawa (RTRW) dan Laskar Masyarakat Kreatif (LMK). ANTARAFOTO/Yulius Satria Wijaya/aww/17.

tirto.id - Sutan Takdir Alisyahbana mengumpamakan kisah cinta karangannya yang berlarut-larut sebagai dian, atau pelita, “yang tak kunjung padam.” Kisah itu terbit pada 1932. 72 tahun kemudian, produk serupa muncul di Indonesia: presiden yang tak kunjung padam.

Ia, Susilo Bambang Yudhoyono, memerintah selama satu dekade dengan repertoar keluhan satu ke keluhan lain. Dan kini, saat masa jabatannya telah habis, tetapi keluhan-keluhannya jalan terus, perumpamaan itu terasa semakin kokoh.

Dalam pembukaan rapat kerja pemerintah dengan menteri-menteri dan para gubernur se-Indonesia di Istana Kepresidenan Cipanas, Jawa Barat, 02 Februari 2010, ia berkata: “Kita bahas juga, misalkan, unjuk rasa yang terjadi di negeri Pancasila ini ... Ada demo yang bawa kerbau. Ada gambar SBY. Dibilang, SBY malas, badannya besar kayak kerbau.”

Wahyu Adi Putra Ginting, dalam tulisannya “Kerbau (dan) SBY” yang diterbitkan majalah linguistik Lidahibu edisi kesebelas, menyatakan bahwa penekanan Susilo atas simile “kerbau” sebagai “SBY malas, badannya besar” itu membuat wawasan kebudayaan nusantaranya patut dicurigai:

“Tidakkah SBY memahami makna-makna liyan kerbau yang berserakan di masyarakat adat Indonesia?” tulis Wahyu. “Mengapa dia justru menanggapi simbol kerbau sebagai sebuah makian, yang dulunya diproduksi, diatur makna kiasannya, oleh para Meneer atau Tuan Sep Belanda? Tidakkah SBY, sebagai seorang Jawa saja, setidaknya, memahami bahwa masyarakat adat Jawa sendiri punya cara positif memaknai kerbau? Tidakkah dia memahami peran kerbau dalam jagad pertanian Indonesia?”

Anggaplah Susilo kurang menguasai wawasan kebudayaan nusantara dan ia, sebagaimana terkesan dari kesukaannya berkeletah memakai kata-kata bahasa Inggris, lebih akrab dengan kebudayaan dunia “yang universal”. Tetapi cara berpikir demikian pun dapat melahirkan tafsir lain, yang lebih patut bagi seorang kepala negara, atas kerbau yang diarak para demonstran.

Susilo dapat memandang kerbau, misalnya, sebagai simbol rakyat indonesia kebanyakan yang dipaksa terus-menerus bekerja demi “para pemilik sawah” alih-alih memajukan kesejahteraan mereka sendiri. Atau, ia bisa membaca kerbau sebagai simbol kedudukannya pada waktu itu, presiden, yang membuatnya harus melayani rakyat dan menaruh kepentingan rakyat lebih tinggi daripada kepentingan pribadi ia dan kelompoknya.

Tetapi Susilo hanya melihat kerbau sebagai alat para demonstran buat melecehkannya. “Apakah itu unjuk rasa?” tanyanya. “Itu nanti kita bahas.”

Pada kesempatan lain, Susilo mengadu bahwa ada sekelompok teroris yang berlatih menembak dengan fotonya sebagai sasaran. “Foto SBY,” katanya sambil menangkupkan tangan di dada. “Perkenaan tembakan di wilayah muka," ia melanjutkan sembari menunjuk pipinya, yang di kertas, lalu yang asli, dan kembali ke kertas lagi (baca juga: Tangisan SBY sebagai Warga Biasa).

Pemimpin besar Kuba, Fidel Castro, sebelum meninggal dunia pada November silam, menurut catatan pemerintah Kuba, telah mengalami 638 percobaan pembunuhan. Ratusan usaha pembunuhan itu dilakukan dengan beragam cara, dari pelemparan granat hingga yang mengesankan keputusasaan musuh-musuhnya, antara lain upaya penyuntikan Lysergic Acid Diethylamide (LSD) ke dalam cerutunya dan peletakan garam perontok janggut di dalam sepatu butnya.

Dan yang terbaru, sejak 19 Januari hingga 6 Februari 2017, Susilo melepas serial cuitan lewat akun Twitter pribadinya. Perkara yang ia bicarakan macam-macam, mulai amatan tentang situasi Indonesia hari ini (“Juru fitnah dan penyebar hoax berkuasa dan merajalela”), analisisnya tentang dugaan penyadapan percakapan telepon antara ia dan ketua Majelis Ulama Indonesia Ma'ruf Amin (“Jika kita dimata-matai, sasarannya bukan Bapak”), hingga pengumuman soal jumlah pengikut akun Twitternya.

Tetapi pesan Susilo tak berubah: SBY, Presiden ke-6 Republik Indonesia, telah dizalimi.

SBY, Mantan, dan Prihatin

Saya menyalin keterangan “Presiden ke-6 Republik Indonesia” itu dari bio akun Twitter Pak Susilo. Menurut aturan keprotokolan yang diresmikan pada masa jabatannya, demikianlah penyebutan yang benar buat orang-orang yang pernah menjabat sebagai presiden Indonesia, bukan “Mantan Presiden”.

Susilo, selain ajek menekankan “SBY” alias dirinya sendiri dalam banyak kesempatan berbicara kepada publik, juga dikenal luas mempunyai perhatian khusus terhadap diksi atau pilihan kata.

Istilah “mantan” berasal dari bahasa puak Besemah dan Komering di Sumatera bagian selatan. Artinya sepadan dengan “bekas” dan “eks.” Namun, menurut James Sneddon dalam The Indonesian Language: Its History and Role in Modern Society (2003), pakar bahasa Indonesia Anton Moeliono mengangkutnya ke dalam leksikon bersama makna baru, yang lebih santun dan “tinggi”, sehingga pensiunan “guru”, “peneliti”, dan pekerjaan-pekerjaan terhormat lainnya tak perlu berbagi “bekas” dengan “maling” dan “pengecer madat” atau menjadi “eks” sebagaimana “amtenar Hindia Belanda”.

Bagaimana SBY dan Jokowi saling menyasar melalui bahasa? Siapa yang lebih unggul? Baca analisisnya: Bola-Bola Jokowi vs SBY.
Maka, jika sasaran pemerintahan Susilo sekadar memberi penghormatan kepada orang-orang yang pernah menjadi presiden Republik Indonesia, lema "mantan" sudah memadai. Penyebutan khusus seperti “Presiden ke-sekian” justru menyiratkan pesan lain, yang lebih kuat, yaitu “Ingat baik-baik, ia masih relevan dalam dunia politik.”

Untuk memastikan perhatian besar Susilo kepada pilihan kata, tengoklah, misalnya, bagaimana ia memakai kata “prihatin”. Ketika seorang polisi di Sumatera Utara dikepruk preman sampai mati, Susilo mengaku prihatin; saat tim nasional sepakbola Indonesia kalah sepuluh gol dari Bahrain, ia prihatin; bahkan, setelah tahu telepon “Memo” kena sadap pemerintah Australia, ia tetap lebih suka “prihatin” ketimbang “marah.”

Sebagai kata sifat, prihatin berarti “sedih”, “bingung”, atau “waswas”, tetapi sebagai kata kerja ia bermakna “menahan diri”. Maka, saat Susilo berkata “Saya prihatin” untuk menanggapi satu perkara, artinya ia mengaku sanggup menahan diri dan berpikir sekalipun terlibat secara emosional dengan perkara tersebut.

Bilang Begini, Semua Tahu Maksud SBY Begitu

Dalam pidato kenegaraan pada 16 Agustus 2007, Susilo mengatakan: “Perubahan UU PPh, perubahan UU PPN dan PPnBM, RUU Pajak dan Retribusi Daerah saat ini masih dalam pembahasan. Tentu saya sangat berharap, agar ketiga RUU itu dapat juga diselesaikan dalam waktu yang cukup singkat, sehingga memberikan kepastian dan perbaikan dalam lingkungan usaha.”

Menurut D. Jupriono dan rekan-rekannya dalam artikel “Makna Terselubung Pidato Kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono: Analisis Wacana Kritis” yang diterbitkan Jurnal Parafrase edisi September 2009, kutipan itu menandakan upaya Susilo untuk mencuci tangan: Seandainya pembahasan undang-undang itu berlarut-larut dan menghambat bisnis, hendaknya para pengusaha tak menyalahkan Presiden, melainkan DPR.

Susilo memang mengucilkan diri dari upaya penyelesaian ketiga RUU tersebut (ia bilang “diselesaikan” (oleh DPR, tentu), bukan “kami selesaikan”) dan justru mengesankan diri berada dalam satu barisan dengan para pengusaha yang “sangat berharap” ada “kepastian dan perbaikan dalam lingkungan usaha.” Pendeknya, makna gramatikal kata-kata yang ia pilih pada waktu itu mengesankan bahwa pemerintah dan DPR bekerja sendiri-sendiri.

Padahal, tepat dua tahun sebelum itu, ketika beban terletak di punggungnya, Susilo ingin DPR memberi lebih dari sekadar tuntutan dan “harapan” kepadanya: “Terhadap pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, saya mengharapkan dukungan dari lembaga-lembaga negara. Posisi paling depan sebagai mitra kerja Pemerintah adalah DPR dan juga DPD.”

Demikian pula dalam pidato kenegaraan pada 15 Agustus 2008: “Marilah ... kita bangun kehidupan berbangsa dan bernegara secara sehat, dan menjalin hubungan kelembagaan lebih erat lagi ... Saya mengajak MPR, DPR, DPD, MA, MK, BPK, dan lembaga negara lainnya untuk bersinergi membangun bangsa.”

Ada pola yang berulang pada pelbagai pernyataan Susilo: Ia peduli pada pilihan kata dan cenderung menyukai “penyampaian tak langsung”, namun, pesannya sejelas nama-nama mempelai dalam undangan resepsi pernikahan. Keliru anggapan sejumlah orang bahwa Susilo biasa menggunakan ungkapan bersayap, kecuali jika yang mereka maksudkan ialah sayap ayam yang tak bisa dipakai terbang.

Dalam cuitannya di Twitter kepada Ma'ruf Amin, misalnya, tak ada makna di bawah permukaan; hanya “tanpa mengurangi rasa hormat, sayalah incaran yang sebenarnya”. Dan tanpa perlu mengorek kata-kata pidatonya, orang bisa menyimpulkan bahwa Susilo punya kecenderungan untuk berdiri paling depan saat pemirsa bertempik-sorak (baca analisis cuitan-cuitan SBY di media sosial: SBY sebagai Selebtweet).

Bahkan, ketika Susilo keliru menggunakan analogi, orang tetap paham maksud yang hendak ia sampaikan. Pada akhir 2007, ia bicara: “Karena kelalaian kita, dulu banyak yang pesta. Pesta di hutan, pesta di bisnis dengan bisnis KKN, dan mengambil uang negara. Mereka lupa mencuci piringnya; piringnya kotor. Kita cuci bersama-sama piringnya sekarang ini. Tetapi jangan diganggu. Kita mencuci piring akibat kekotoran yang selama ini terjadi di negeri kita.”

Orang paham maksud Susilo ialah “Mari bekerjasama memberantas korupsi warisan rezim-rezim yang telah lewat”, sekalipun arti yang tepat dari analogi itu adalah “Dulu banyak orang korupsi dan mereka meninggalkan jejak. Sekarang, mari kita hapuskan bukti-bukti itu; semoga tak ada yang mengganggu.”

Kesantunan bukan Tanda Kemahiran Berbahasa

Kejengkelan otoritas Belanda terhadap penggunaan bahasa Melayu yang karut-marut sebagai bahasa jembatan di kepulauan Hindia mencapai puncak pada pertengahan abad ke-19. Menurut HMJ Maier dalam tulisannya “From Heteroglossia to Polyglossia: the Creation of Malay and Dutch in the Indies” yang diterbitkan Jurnal Indonesia edisi 56, mereka menganggap hal itu menghambat pembentukan birokrasi yang sangkil, ketentaraan yang solid, dan ekonomi yang menguntungkan.

Pada 1855, pemerintah Hindia Belanda menyiapkan kamus resmi Melayu-Belanda. Para penasehat penting Gubermen, sekalipun sempat berdebat panjang, sepakat bahwa bahasa Melayu yang patut dijadikan dasar kamus tersebut hanya bahasa Melayu “yang murni”, yaitu Melayu Riau dan Malaka.

H von de Wall, linguis pertama yang ditugasi mengumpulkan bahan-bahan untuk kamus itu, kelewat yakin pada kemurnian abab orang-orang Riau. Ia nyaris tak menggunakan sumber-sumber tertulis sama sekali. Padahal, menurut van der Tuuk, orang yang kelak menggantikannya, bahasa lisan orang-orang Riau telah menyimpang jauh dari kesusastraaan Melayu klasik berkat pengaruh bahasa Melayu orang-orang keturunan Tionghoa yang menurutnya berantakan dan brabbeltaal alias Melayu asal-asalan yang dipakai banyak orang Belanda. Pekerjaan von de Wall bubrah. Van der Tuuk bekerja dari nol dan merampungkan kamus yang ia bayangkan pada 1877.

Sneddon (2003) menggambarkan van der Tuuk sebagai seorang fundamentalis Melayu tinggi: ia bahkan sanggup mengutuk orang-orang sekaumnya, golongan kulit putih, yang bicara dalam brabbeltaal serta tidak mau mempelajari Melayu tinggi. Semangat van der Tuuk itu kemudian diteruskan oleh CA van Ophuijsen. Ia mengusulkan agar pemerintah menerbitkan daftar kosakata sebagai “cara mengatasi kekacauan berbahasa yang merajalela.” Pada 1895, Snouck Hurgronje merekomendasikan kepada Gubermen agar rencana van Ophuijsen itu dijalankan. Setahun kemudian, proyek itu pun mulai.

Hasilnya ialah Kitab Logat Melayu: Woordenlijst voor de spelling der Malaisch taal met Latijnsch karakter (1901). Buku itu menghimpun 10.130 kata-kata berbahasa Melayu dalam ejaan baru yang berbasis ejaan Belanda.

Pada 1902, Direktur Pendidikan Hindia Belanda menetapkan bahwa ejaan van Ophuijsen dan kata-kata yang ia kumpulkan itulah satu-satunya versi yang diterima di sekolah-sekolah pribumi. Kata 'bisa', misalnya, yang lazim digunakan dalam percakapan sehari-hari, ditendang dari kelas dan digantikan oleh 'dapat', padanannya dalam Melayu tinggi.

Maka, bahasa Melayu hidup dalam keadaan diglosik, dengan jurang besar di antara varian 'tinggi' dan 'rendah.' Bahasa 'tinggi' dipelajari lewat pendidikan formal dan digunakan terutama dalam bentuk tertulis dan pembicaraan formal, tetapi tak terpakai dalam percakapan sehari-hari sebagaimana bahasa 'rendah.' Situasi itu menjadikan penguasaan bahasa 'tinggi' umum dianggap berbanding lurus dengan tingkat pendidikan seseorang—dan dengan demikian, kedudukan sosialnya.

Dalam keadaan apakah bahasa yang dibekukan menjadi 10.000an kata bisa dianggap lebih unggul ketimbang bahasa yang jauh lebih kaya dan luwes? Kolonialisme dan kediktatoran, sebab keduanya tergila-gila kepada standar, dan standar ialah musuh alami variasi dan penyimpangan, yang justru merupakan ciri terkuat hidup.

Bahasa Indonesia hari ini jelas telah jauh lebih maju ketimbang Melayu van Ophuijsen. Ia tak hanya banyak dibentuk oleh Melayu pasar dan bahasa daerah-daerah lain di Indonesia, tetapi juga bahasa-bahasa asing. Namun, politik tinggi-rendah di dalamnya tetap bertahan, dengan muatan baru yang lebih berat ketimbang “penanda tingkat pendidikan”, yaitu penanda kualitas moral.

Kapan terakhir kali media di Indonesia menggunakan, misalnya, kata "kontol"?

Saat memberitakan murid sekolah dasar yang selip lidah di hadapan Presiden Joko Widodo, Tempo.co memilih penyampaian yang berbelit-belit dan sama sekali tidak mbois demi menghindari kata tersebut: “Pelan tapi pasti, Ari menyebutkan lele, paus, dan teri. 'Satu lagi dapat sepeda,' ucap presiden. Tapi Ari terselip lidah, ketika menyebut ikan tongkol sehingga hadirin tertawa lepas.”

Pada laporan Jawapos.com dan Bintang.com, huruf 't' dan 'o' setelah suku kata 'kon' dan sebelum huruf 'l' digantikan dengan dua tanda *. Itu perbuatan yang mengherankan. Mereka kerap lempang saja menyiksa akal sehat pembaca dengan kutipan verbatim kalimat-kalimat kusut narasumber, tetapi gentar menyebutkan nama satu organ tubuh.

Infografik lagu sby

Menjenguk Kembali Bahasa Susilo

Sekarang, mari menjenguk Pak Susilo buat kali terakhir. Segenap kutipannya dalam tulisan ini ditampilkan agar kita, saya dan Anda, dapat memeriksa kemahirannya menggunakan bahasa Indonesia.

Keterampilan berbahasa seseorang semestinya tak diukur berdasarkan “kesantunan” atau “keindahan” kata-kata yang ia pilih (sebab makna kata tidak ajek), melainkan ketepatan penggunaan kata-kata tersebut. Juga bukan apakah ia lebih senang bicara secara langsung atau memutar, melainkan daya gugah dan konsistensi logika internal kalimat-kalimatnya (SBY memang getol berurusan dengan kata-kata, setidaknya ia pengarang lagi. Baca analisisnya: Belajar Membuat Lagu dari SBY).

Berdasarkan dua ukuran itu, kita dapat menarik kesimpulan sementara. Tetapi pengukuran kemahiran berbahasa ini belum akan rampung. Ia bakal berlanjut sampai lebaran kuda, maka berikut saya tampilkan selingan berupa kuis. Selain Susilo, kata "ia" dalam kuis di bawah ini bisa diganti dengan nama siapa saja: bisa diri sendiri, pasangan Anda, atau mubalig dan host favorit.

1. Apakah permainan bunyi dan irama dalam kalimat-kalimatnya sedap bagi kuping?

2. Apakah citraan yang ia bangun terasa nyata?

3. Apakah ia menyertakan rincian yang relevan atau menenggelamkan pemirsanya dalam bah informasi sepele, atau malah menunjukkan sifat berangasan dengan cara merangkum apa saja dalam kata-kata sifat yang gampang seperti “dahsyat”, “menggemparkan”, dan “luar biasa”?

4. Apakah ia keranjingan menggunakan kata-kata hapalan seperti “pasalnya”, atau “entah kenapa” padahal sebenarnya ia paham sebab-sebab kejadian yang ia ceritakan?

5. Apakah ia suka menumpuk “semata-mata” dan “hanya” dan “saja” dan “belaka”?

6. Apakah ia meminta pembantunya membikinkan “kopi pahit tanpa gula” dalam “cangkir kosong tanpa isi”?

Baca juga artikel terkait SUSILO BAMBANG YUDHOYONO atau tulisan lainnya dari Dea Anugrah

tirto.id - Humaniora
Reporter: Dea Anugrah
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Zen RS