tirto.id - “Itu kan isu pengadilan. Itu isunya di pengadilan lho, ya? Dan yang bicara itu, kan, pengacara. Pengacaranya Pak Ahok dan Pak Ahok. Lha kok barangnya digiring ke saya?”
Dengan terkekeh Presiden Joko Widodo menanggapi (2/2) isu penyadapan antara Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dengan KH. Ma’ruf Amin pada persidangan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) (31/1). Dengan tanpa beban Jokowi menanggapi pernyataan SBY, baik yang disampaikan di konferensi pers maupun melalui akun Twitter.
“Kalau yang menyadap institusi negara, 'bola' di tangan Bapak Presiden Jokowi,” kata SBY dengan serius saat konferensi pers (1/2).
Tanggapan Jokowi tidak dilakukan langsung seketika begitu SBY menendang bola. Sebelum Jokowi merespons, Pramono Anung, Menteri Sekretaris Kabinet, sudah lebih dulu menyambut "bola" dari SBY. Respons dari Pramono Anung justru kembali mengoper balik bola ke SBY. Pramono berkata: "Tentunya kalau memang beliau (SBY) menginginkan untuk bertemu dengan presiden dan ada permintaan, nanti akan kami komunikasi kepada Presiden Jokowi."
Jika dibandingkan dengan SBY, Jokowi ini terkesan tidak reaktif. Padahal bola-bola dari SBY mengarah persis kepada Jokowi. “Umpan-umpan” SBY ini bisa dibilang cukup akurat, karena jelas-jelas secara eksplisit mengatakan "bola ada di tangan Bapak Presiden Jokowi". Namun Jokowi membiarkan bola bergulir begitu saja. Dan malah meresponsnya dengan: main bola futsal.
Jika Jokowi hanya mampu bertahan kurang lebih selama tujuh menit dalam pertandingan futsal antara Tim Kepresidenan dengan Tim Wartawan pada 7 Februari 2017, atau enam hari selang SBY melakukan jumpa pers, maka saling tendang bola di media masa maupun di media sosial Sang Presiden punya stamina yang lebih bagus. Bahkan tidak hanya stamina, langkah-langkahnya cenderung tricky, paham kapan saat harus men-delay bola dan kapan saat harus memberi direct pass.
Kita bisa ambil contoh saat SBY mengumpan bola soal proyek infrastruktur pemerintahan Jokowi pada 16 Maret 2016 lalu di Pati. Saat itu SBY mengkritik Jokowi yang dianggap terlalu jor-joran membangun proyek-proyek infrastruktur saat kondisi ekonomi sedang lesu. Ini jenis umpan bola yang tidak gampang ditangkis.
Alih-alih langsung mengumpan balik, Jokowi malah membiarkan bola kiriman SBY ini bergulir sampai dua hari lamanya. Tidak ada respons apa pun dari Istana. Kondisi pelan-pelan mereda. Semuanya seperti baik-baik saja, sampai tiba-tiba: “Sedih melihat aset negara di proyek Hambalang mangkrak.”
Bola dari SBY ini dikembalikan dengan presisi oleh komentar Jokowi yang melakukan kunjungan ke Hambalang, proyek yang telah menjerat kader-kader Partai Demokrat (dari Andi Mallarangeng, Muhammad Nazaruddin, hingga Angelina Sondakh). Kunjungan yang dilakukan pada 18 Maret 2016 ini tak hanya mengejutkan, namun juga bisa dianggap tepat dari sisi momentum: saat SBY sedang mengadakan “SBY Tour de Java”.
Tidak selalu SBY yang mengawali umpan bola ke Jokowi, kadang pihak Jokowi yang berinisiatif memulai mengirim bola lebih dulu. Hanya saja bukan melalui “kaki” Jokowi secara pribadi, tapi melalui insititusi kepresidenan. Alih-alih meniru langkah sang mantan presiden dengan muncul secara pribadi, baik melalui konferensi pers maupun kicauan di Twitter, Jokowi sering “bicara” melalui instrumen politik.
Seperti saat Kementerian Sekretariat Negara mengaku tidak pegang dokumen asli terkait kasus pembunuhan aktivis HAM, Munir, dan menjelaskan bahwa ada dokumen-dokumen asli yang dipegang SBY. Pernyataan yang terjadi awal Oktober 2016 lalu ini sontak segera membuat SBY mengeluarkan sebelas kicauan di akun SBY pada 23 Oktober 2016 sebagai klarifikasi.
Kicauan yang kemudian dilanjutkan dengan penjelasan secara detail di akun Facebook “Susilo Bambang Yudhoyono” tiga hari kemudian. Keterangan sangat panjang yang terangkum dalam 4.412 kata. Di sana SBY menjelaskan: “….bahwa sangatlah tidak benar, sekali lagi sangatlah tidak benar, jika Laporan TPF Munir itu sengaja dihilangkan. Tidak ada kepentingan dan urgensi apapun untuk menghilangkan naskah laporan itu.”
Baca analisis reaksi-reaksi SBY di Twitter dalam sepekan terakhir: SBY sebagai Selebtweet.Tentu jangan lupa SBY merespons soal TPF Munir itu secara langsung dengan menggelar konferensi pers di Cikeas, kediaman pribadi SBY, pada 26 Oktober 2017.
Belum lagi dalam merespons momen unjuk rasa besar-besaran atas dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok pada 4 November 2016. Dua hari sebelum aksi dilakukan, pada 2 November 2016, SBY lagi-lagi menggelar konferensi pers di Cikeas. Selain membantah dirinya sebagai dalang aksi seperti yang dirumorkan, SBY juga menyentil dengan kalimat: “Barangkali karena merasa yang diprotes itu dan tuntutannya itu tidak didengar. Nah, kalau sama sekali tidak didengar, diabaikan, sampai lebaran kuda masih akan ada unjuk rasa.”
Dari sinilah kemudian istilah “lebaran kuda” mengemuka dan jadi bahan baku netizen dalam berinteraksi sosial. Istilah "lebaran kuda" itu mengingatkan publik pada momen kunjungan Jokowi ke kediaman Prabowo di Hambalang pada 31 Oktober 2016. Dalam perjumpaan itu, Jokowi dan Prabowo sempat melakukan aktivitas berkuda bersama-sama.
Sejak polemik dokumen TPF Munir, SBY semakin rajin mengirimpan umpan-umpan langsung ke arah Jokowi. Selain dua konferensi pers susulan pada 4 November 2016 dan 1 Februari 2017, SBY juga mengirimkan umpan melalui cuitan di akun Twitter. Dari serial cuitan SBY di Twitter sepekan terakhir, ada satu yang akhirnya direspons oleh Jokowi. Cuitan itu adalah: "Saya bertanya kpd Bapak Presiden & Kapolri, apakah saya tidak memiliki hak utk tinggal di negeri sendiri, dgn hak asasi yg saya miliki? *SBY*"
Benarkah SBY tidak sabaran dan tak maksimal menggunakan instrumen politik untuk menyikapi situasi belakangan? Baca: Tangisan SBY sebagai Warga Biasa.Bola yang dilontarkan SBY pada 6 Februari 2017 itu dijawab Jokowi tiga hari kemudian. Saat berada di Ambon, pada 9 Februari 2017 kemarin, Jokowi menjawab: "Kalau semua soal ditanyakan kepada Presiden dan Kapolri, terus saya sendiri bertanya kepada siapa?"
Seru, kadang lucu, melihat bola-bola ditendang oleh SBY kepada Jokowi atau dari Jokowi kepada SBY. Rakyat diberi suguhan permainan bola yang, dalam situasi politik yang terpolarisasi karena Pilgub DKI Jakarta 2017, mengkondisikan para penonton untuk berpihak pada siapa, menjadi fanatikus yang mana, dan akhirnya berseteru satu sama lain. Namun jangan lupa rakyat tidak menonton permainan ini dengan gratis: mereka membeli tiket (baca: bayar pajak) dan harus pula gontok-gontokan antar sesama.
Entahlah siapa yang akhirnya akan menjadi pemenang. Yang pasti, kehidupan rakyat akan terus berjalan, dan rakyat membayar pajak tidak hanya untuk membiayai permainan para elit dan menjadi ultras para politikus.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Zen RS