Menuju konten utama

Agar Kasus Keracunan Makanan Bergizi Gratis Tak Terulang Lagi

Keracunan makanan dalam pelaksanaan MBG memunculkan kekhawatiran akan keamanan pangan yang disalurkan melalui program ini.

Agar Kasus Keracunan Makanan Bergizi Gratis Tak Terulang Lagi
Pekerja menunjukan menu paket makanan bergizi gratis (MBG) di dapur Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Lamongan, Jawa Timur, Rabu (22/1/2025). ANTARA FOTO/Rizal Hanafi/Spt.

tirto.id - Peristiwa gejala keracunan yang menimpa siswa usai menyantap hidangan Makan Bergizi Gratis (MBG) dari pemerintah kembali berulang. Terbaru, puluhan siswa Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 1 Cianjur mengeluhkan pusing, mual, dan muntah usai menyantap MBG pada Senin (21/4/2025).

Salah satu siswa yang mengalami gejala keracunan mengaku sempat mencium bau tidak sedap dari daging ayam suwir yang menjadi salah satu menu dalam paket MBG yang dihidangkan. Selang beberapa jam usai menyantap makanan tersebut ia langsung merasakan pusing, mual dan muntah.

Dalam waktu yang sama, kasus gejala keracunan juga menimpa belasan siswa dari SMP PGRI 1 Cianjur. Tidak hanya puluhan siswa, sekitar 98 warga Kecamatan Mande, mengalami keracunan masal setelah menyantap hidangan yang disuguhkan dalam acara hajatan salah seorang warga.

Rentetan kejadian ini memantik Dinas Kesehatan Cianjur untuk menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan makanan yang terjadi di wilayah tersebut.

"Sehingga, total warga yang mengalami keracunan selama dua hari terakhir sekitar 176 orang dengan rincian 23 siswa SMP PGRI 1, 55 siswa MAN I Cianjur dan 98 warga Kecamatan Mande," ujar Kepala Dinkes Cianjur Yusman Faisal, Selasa (22/4/2025) dikutip dari Antara.

Hingga Kamis (24/4/2025), penyebab keracunan yang menimpa puluhan siswa dari dua sekolah di Cianjur tersebut masih diselidiki. Sampel MBG yang dimasak hari Senin (21/04/2025) telah dikirimkan ke Lab Kesda Provinsi Jawa Barat dan hasilnya akan keluar dalam rentang waktu sepuluh hari ke depan.

Menanggapi hal ini, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) menyampaikan empati dan kepeduliannya akibat insiden yang menimpa puluhan siswa dari MAN 1 dan SMP PGRI 1 Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, yang diduga mengalami gejala keracunan setelah menyantap makanan pada program MBG.

Dadan belum dapat memastikan apakah keracunan terjadi akibat menu makanan yang dibagikan dari program pemerintah tersebut. Kendati demikian, pihaknya masih menunggu hasil lab yang tengah dilakukan timnya untuk mengetahui penyebab keracunan tersebut.

“Kami sedang menunggu hasil Lab Kesda Provinsi dari sampel yang sudah dikirimkan. Kami akan update infonya pada kesempatan pertama setelah hasil lab. keluar,” tegasnya melalui keterangan resmi yang diterima Tirto, Selasa (22/4/2025).

Bukan Kali Pertama

Peristiwa puluhan siswa keracunan di Cianjur yang diduga akibat MBG bukan kasus pertama. Pada April 2025 ini saja, ada dua kasus dugaan keracunan lain yang menimpa sejumlah pelajar usai mengonsumsi MBG.

Pada pertengahan April ini kasus serupa terjadi di Batang, Jawa Tengah. Seperti yang dilaporkan Antara, berdasar data per 16 April 2025 disebutkan ada 60 siswa yang diduga mengalami gejala keracunan dengan ditandai mual, muntah, dan perut sakit diduga usai mengonsumsi MBG.

"Penyebab masih dipelajari karena kami telah mengirim spesimen ke BP Labkesmas Semarang. Alhamdulillah, anak sudah sehat kembali dan bisa melakukan aktivitas pembelajaran di sekolah," ujar Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kabupaten Batang, Didiet Wisnuhardanto, Kamis (17/4/2025).

Menanggapi kasus ini, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Batang, Jawa Tengah, memperketat pengawasan menu Makan Bergizi Gratis (MBG) yang akan didistribusikan pada siswa Sekolah Dasar (SD) sebagai upaya mencegah kasus keracunan.

Kepala Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Batang, Bambang Suryantoro Sudibyo, mengatakan guru akan mencicipi menu MBG itu sebelum didistribusikan kepada para siswa sebagai upaya meminimalisasi hal yang tidak diinginkan.

"Ya, kasus keracunan pada siswa pada Senin (14/4/2025) baru pertama kali terjadi. Oleh karena itu sebelum menu MBG didistribusikan pada siswa, pengelola akan memberikan sampel untuk dicicipi dulu oleh guru," katanya dikutip dari Antara.

Tak cukup sampai disitu, kejadian serupa juga menimpa siswa di SDN 33 Kasipute, Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, yang mengalami muntah-muntah diduga usai menyantap MBG.

Seperti yang dilaporkan CNN, Dinas Kesehatan Bombana mengungkap hal tersebut terjadi karena kualitas ayam dalam menu MBG itu tak bagus. Pihak dinas pun sudah mengambil sampel makanan tersebut untuk diperiksa.

Kasus keracunan bahkan tercatat telah terjadi sejak Januari lalu. Puluhan siswa di SDN Dukuh 03 Sukoharjo, Jawa Tengah, keracunan usai menyantap menu program makan bergizi gratis (MBG), sekitar pukul 09.30 WIB, Kamis (16/1/2025).

Kepala SDN Dukuh 03, Lilik Kurniasih, mengatakan beberapa siswa dari total 200 orang, merasa mual dan pusing usai menyantap menu MBG. Siswa yang merasa gejala tersebut terdiri dari kelas 1-6.

"Ada yang merasa mual, pusing, dan ada satu anak yang muntah," kata Lilik seperti dikutip dari Antara, Kamis (16/1/2025).

Keracunan yang dialami puluhan siswa SDN Dukuh 03 Sukoharjo diduga akibat pengolahan makanan yang tidak sesuai standar. Di hari kejadian, siswa menerima menu makanan berupa nasi, cah wortel tahu, ayam goreng tepung, buah, dan susu. Namun, usai bersantap ria, ada sekitar 40 siswa yang merasa pusing dan sakit perut. Sebelumnya, beberapa siswa sudah mengeluhkan bahwa menu yang disajikan berbau tak sedap.

Pada bulan yang sama, kasus keracunan akibat MBG juga terjadi di Nunukan, Kalimantan Utara. Puluhan murid dan guru di SDN 03 Nunukan Selatan dan siswa di SMAN 2 Nunukan Selatan mengalami gejala mual dan mencret akibat menu ayam kecap, yang dibagikan pada hari Senin (13/1/2025) lalu.

"Kalau dihitung per anak, kami tidak sedetail itu kemarin. Tapi lebih dari 30 siswa-siswi yang mencret saat itu. Menu yang sama, dan hari yang sama juga dengan kasus di SDN 03 Nunukan Selatan kemarin," ujar Bagian Kesiswaan SMAN 2 Nunukan Selatan, Burhan, Minggu (19/1/2025), dilansir dari Kompas.

Kasus dugaan keracunan siswa yang diduga akibat mengonsumsi MBG juga pernah terjadi di Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT). Seturut pemberitaan media lokal Waingapu, sedikitnya 29 siswa dan siswi Sekolah Dasar Katolik (SDK) Andaluri, Kelurahan Matawai, Kecamatan Kota Waingapu mengeluhkan mual, muntah, pusing, dan sakit perut setelah menyantap MBG.

Meskipun belum ada hasil laboratorium yang final, rentetan insiden yang terjadi di sejumlah wilayah itu ini menunjukkan adanya potensi masalah dalam pelaksanaan program MBG, terutama terkait dengan kualitas dan kebersihan makanan yang disediakan.

Terkait kualitas makanan MBG, belum lama ini misalnya Siswa SMP Negeri 1 Semarang mengeluhkan paket MBG yang didapatnya terdapat larva mirip belatung atau maggot. Pengalaman tak mengenakkan itu terekam dalam video yang diunggah akun TikTok @sanantazz. Namun, unggahan itu kini sudah tidak bisa diakses.

Dalam video, tampak ada dua larva dalam wadah makanan. Larva itu pun terlihat masih bergerak.

"Ilham panganane maggot, loro tok, Pak. Metu seko salak, Pak. Salake mambu, Pak (Ilham makanannya maggot, hanya dua, Pak. Keluar dari salak. Salaknya busuk, Pak)," ujar siswa dalam rekaman video tersebut.

Kepala SMPN 1 Semarang, Siminto, membenarkan bahwa orang yang ada dalam video tersebut merupakan siswanya. Temuan belatung dalam paket MBG itu terjadi pada Rabu (16/4/2025).

"Memang ini yang kemarin itu ada satu yang ndilaah (kebetulan) di omprengnya, di wadahnya, ada uget-uget. Itu ternyata dari buah yang disajikan," kata Siminto saat ditemui di kantornya, Kamis (17/4/2025).

Agar Kasus Keracunan Tak Terulang Lagi

Ketua Pengurus Daerah Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Jakarta sekaligus Dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Narila Mutia Nasir, menyebut MBG adalah program pemerintah yang memiliki tujuan positif, salah satunya sebagai upaya untuk memperbaiki gizi anak-anak harapan bangsa.

Ia memahami target jangkauan program ini yang begitu besar berbanding lurus dengan sejumlah tantangan yang dihadapi dari pelaksanaan program ini. Oleh karena itu, dalam pelaksanaannya program ini dibutuhkan perencanaan yang kuat dan pengawasan yang ketat.

“Berulangnya insiden keracunan dalam MBG ini menunjukan suatu kelemahan dalam konteks implementasi food safety atau keamanan pangan. Ada sistem yang tidak berjalan baik sehingga pengelolaan pangan itu di tingkat lokal (beberapa wilayah),” ujarnya saat dihubungi Tirto, Kamis (24/4/2025)

Mutia menambahkan, proses menyiapkan makanan untuk ribuan orang dalam satu waktu dengan cakupan wilayah yang berbeda-beda secara geografis memang melahirkan sebuah resiko yang besar yaitu jarak waktu antara masakan selesai dimasak dan dikonsumsi siswa.

Untuk daerah perkotaan atau dengan kondisi geografis dengan akses yang baik hal ini mungkin bukanlah sebuah tantangan besar. Namun, bagi pelaksana di daerah yang memiliki keterbatasan akses dan kesulitan medan geografis ini tentu menjadi tantangan tersendiri.

“Makanan itu diharapkan 2 jam sudah dikonsumsi kecuali kalau dia kemudian disimpan dalam suhu yang memang panas ya, di atas 70 derajat,” ujarnya menambahkan.

Menurut Mutia, dalam kasus keracunan yang terjadi salah satu hal yang harus diperhatikan adalah apakah pengolahan pangan sudah menjalankan standar prosedur yang seharusnya diikuti pengelola produksi pangan.

Misalnya Hazard Analysis and Critical Control Points (HACCP) yang sudah menjadi standar internasional. HACCP adalah sistem manajemen risiko yang mengatur keamanan pangan di setiap fase, mulai dari proses produksi hingga distribusi makanan.

Sebagai akademisi dan juga praktisi di bidang kesehatan masyarakat, Mutia melihat ada tiga titik kritis (critical point) dari pelaksanaan program MBG ini yang harus diperhatikan.

“Yang pertama harus diperhatikan adalah proses memasak, apakah kemudian suhunya memang sudah lebih dari 75 derajat Celcius, arena untuk protein hewani misalnya kan harus segitu ya, menurut standar yang FAO, standar WHO gitu atau BPPOM sendiri,” ujarnya.

Critical point yang kedua adalah dari sisi penyimpanan ketika makanan sudah jadi. Dengan kondisi iklim Indonesia yang tropis makanan bisa menjadi lebih cepat basi jika proses penyimpanannya tidak baik. Poin terakhir adalah proses distribusi ke sekolah atau siswa. Penyelenggara harus memperhatikan proses distribusi yang meliputi jarak, waktu hingga memastikan makanan tersebut tidak terkena kontaminasi sampai diterima siswa.

“Jadi ini ada tiga titik kritis yang harus diawasi dengan baik dalam konteks penyelenggaraan itu. Dan saya rasa itu sudah diketahui ya, hanya saja nanti kita lihat kira-kira apa sih penyebabnya kemudian ini (keracunan makanan) bisa tetap terjadi ya,” ungkapnya.

Dari aspek food safety, ia menambahkan ada sejumlah faktor yang harus diperhatikan oleh pemerintah terhadap penyedia unit makanan MBG ke depannya agar permasalahan seperti keracunan ini tidak terjadi lagi.

Pertama, adalah rantai pasokan. Pemerintah harus memastikan bahwa bahan mentah yang digunakan dalam kondisi baik mulai dari sisi penyimpanan hingga proses pengolahan. Dalam konteks kasus keracunan yang terjadi di Cianjur, ia menduga dua faktor utama yang menjadi penyebab hal itu terjadi adalah dari faktor rantai pasok bahan makanan dan standar pengolahan makanannya yang belum baik.

“Jadi contohnya nih di Cianjur itu si anaknya bilang ada bau nggak sedap gitu ya dari makanannya. Nah ini kan sebenarnya contoh bahwa mungkin saja dia sudah tercemar saat bahkan sebelum diolah. Atau mungkin bisa juga bahan makanannya yang sudah tidak bagus misalnya kualitasnya,” ujarnya.

Selain itu, dalam kasus keracunan ini ia menyoroti kemungkinan adanya keterbatasan pengawasan dan SOP yang belum maksimal di sejumlah wilayah. Menurutnya, SOP soal fungsi pengawasan dan kontrol ini pasti sudah ada. Namun, dalam pelaksananannya mungkin lalai untuk diterapkan.

“Nah ini ada nggak inspeksi? rutin nggak dilakukannya? Terus tegas nggak? yang namanya untuk kontrol itu kan butuh pengawasan, butuh orang, butuh waktu, butuh konsistensi, butuh komitmen. Dan jangan lupa standar HACCP tadi, ini harus tegas nih kalau HACCP ini disyaratkan secara tegas, harusnya kendalinya punya tegas,” ujarnya.

Mutia menambahkan ada sejumlah langkah preventif yang bisa dilakukan pemerintah dalam kasus ini. Pertama, pastikan ada sertifikasi keamanan pangan bagi penyedia-penyedia layanan MBG.

“Jadi dengan adanya sertifikasi itu kita bisa mengontrol dan memastikan bahwa itu sesuai kualitasnya, sesuai standarnya. Bukan hanya fasilitasnya, tapi juga tenaganya, bagaimana kemudian yang terlibat di dalam pelaksanaan MBG,” ujarnya.

Kedua, buat sistem digital untuk monitoring pelaporan real time. Nantinya sistem ini diharapkan bisa dipantau oleh semua pihak termasuk penyedia, pihak sekolah, dinas kesehatan dan BGN untuk untuk memastikan kualitas dan ketepatan waktu makanan yang diterima siswa.

“Ketiga audit harus bagus, inspeksi mendadak harus rutin dilakukan untuk memastikan bahwa kritikan control point yang saya sampaikan sudah aman. Keempat kasih lah pelatihan berkala untuk penyedia MBG ini agar semua komponen mengerti artinya food safety,” tutup Mutia.

Implementasi Standar Keamanan Pangan Belum Optimal

Terpisah, Founder dan CEO CISDI, Diah S Saminarsih, menyebut terjadinya kasus keracunan makanan dalam pelaksanaan MBG memunculkan kekhawatiran akan keamanan pangan yang disalurkan melalui program ini.

Analisis CISDI mengidentifikasi bahwa salah satu penyebab utama terjadinya keracunan adalah belum optimalnya implementasi standar keamanan pangan seperti HACCP dalam pelaksanaan program MBG.

“Penerapan standar keamanan pangan yang belum optimal, ditambah dengan kekurangan pengaturan keamanan pangan dalam petunjuk teknis, menjadi catatan penting yang harus segera ditangani oleh Badan Gizi Nasional (BGN) untuk memastikan kualitas pangan yang lebih baik,” ucap Diah melalui keterangan resmi yang diterima Tirto, Kamis (17/4/2025).

Terkait hal ini, CISDI menilai belum terlambat bagi pemerintah untuk memperbaiki berbagai masalah yang telah teridentifikasi, antara lain melalui pembenahan tata kelola program, termasuk penyempurnaan tugas pokok dan fungsi serta koordinasi antar kementerian dan lembaga terkait.

“Pemerintah juga perlu menyempurnakan landasan regulasi MBG, serta memperkuat standarisasi keamanan pangan dan gizi dalam menu MBG,” lanjutnya

Menanggapi kasus yang sama, Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PKS, Netty Prasetiyani, mendesak BGN agar segera melakukan investigasi terhadap standar keamanan pangan, mulai dari penyediaan, pengolahan, hingga distribusi makanan pada program MBG.

“Kualitas dan keamanan makanan untuk anak-anak harus menjadi prioritas utama. Pengawasan terhadap keseluruhan standar operasional harus dilakukan dengan cermat agar bantuan pemerintah tidak berubah menjadi musibah,” ujarnya Rabu (23/4/2025).

Netty meminta BGN melakukan evaluasi menyeluruh terhadap program MBG, termasuk memperbaiki mekanisme pengawasan lapangan, menstandarkan penyediaan makanan yang aman dan bergizi, serta menjamin transparansi dan akuntabilitas dalam pencairan dana.

“MBG harus dipahami sebagai program membangun generasi unggul di masa depan yang membutuhkan dedikasi, kesungguhan dan dukungan tulus dari semua pihak. Dan BGN sebagai leading sector-nya harus memastikan hal itu terwujud,” tambah legislator dari PKS tersebut.

Kepala BGN, Dadan Hindayana, mengatakan lembaganya bakal melakukan proses penyempurnaan sistem berskala nasional sebagai langkah preventif dalam menangani permasalahan Makan Bergizi Gratis (MBG).

Langkah ini sekaligus merupakan respons atas kasus dugaan keracunan yang menimpa puluhan siswa di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, usai menyantap menu MBG di sekolah.

“Sebagai langkah preventif, BGN telah dan akan meningkatkan pengawasan standar penyimpanan makanan di dapur MBG; Melakukan proses penyempurnaan sistem berskala nasional,” ujar Dadan dikutip dari keterangan resmi pada Selasa (22/4/2025).

Terkait kasus keracunan itu, Dadan mengatakan bahwa BGN tengah melakukan pemeriksaan hasil lab terkait dugaan penyebab keracunan. Dia belum dapat dipastikan apakah keracunan terjadi akibat menu makanan yang dibagikan dari program pemerintah atau dari sumber lain.

Lebih lanjut, Dadan mengatakan pihaknya juga melakukan langkah preventif lainnya dalam menangani permasalahan MBG. Dia menyebut tengah melakukan penguatan sistem yang tak hanya dilakukan di dapur-dapur MBG, tapi juga lewat kanal digital secara transparan.

“Mendorong transparansi jadwal menu harian melalui kanal digital; Meningkatkan kapasitas pelatihan keamanan pangan bagi seluruh penyedia MBG,” katanya.

Baca juga artikel terkait MAKANAN BERGIZI atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar

tirto.id - News Plus
Reporter: Alfitra Akbar
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Anggun P Situmorang