Menuju konten utama

Adegan Seks di Film-Film: Penting atau Sekadar Sensasi?

Alih-alih memperkuat narasi, tidak sedikit adegan seks dalam film justru jadi pengalih perhatian yang tak relevan dengan jalan cerita.

Adegan Seks di Film-Film: Penting atau Sekadar Sensasi?
Header Diajeng Adegan Seks dalam Film. tirto.id/Quita

tirto.id - Joe Goldberg adalah seorang laki-laki menawan.

Sebagai penjaga toko buku, bukan hal mengherankan jika ia akhirnya jatuh cinta kepada seorang penulis. Namun, justru saat ia mulai terpikat dengan perempuan, sisi lain dari pribadi Joe terkuak.

Sosok Joe ternyata impulsif dan obsesif— dua sifat yang membuatnya menjadi seorang pembunuh.

Di atas adalah premis utama serial You (2018-25) dari Netflix— sebuah tontonan dengan cerita penuh romansa, ketegangan, dan misteri.

Sepintas membaca alur cerita You, mudah untuk menebak bahwa penonton akan disuguhi adegan seks maupun intim antara Joe dengan perempuan yang membuatnya jatuh cinta.

Menariknya, aktor Penn Badgley sebagai Joe pernah mengungkapkan permintaan khusus sebelum musim keempat You diproduksi: pembatasan adegan-adegan seks.

"Aku meminta kepada Sera Gamble, kreator dari serial ini, 'Apakah memungkinkan kalau aku tidak perlu beradegan intim lagi?' Ini sebetulnya adalah keputusan yang dibuat sebelum peran [sebagai Joe] kuambil," kata Penn dalam siniar Podcrushed pada 2023 lalu.

Apa alasan utama Penn?

Selain untuk menghormati pernikahannya dengan Domino Kirke, Penn juga menyoroti tren adegan seks di industri Hollywood.

"Kekerasan seksual sudah merajalela sejak lama [begitu juga dengan] ketidaksetaraan antar gender. Ada banyak alasan mengapa kita harus peduli dengan seksualitas, serta perlu mengeksplorasinya dengan lebih penuh makna lagi. Sayangnya, adegan seks [dalam film] tidak mampu mewadahi hal itu," kata ayah dari empat anak ini dalam wawancara dengan The Guardianbaru-baru ini.

Apa yang disoroti Penn dalam tren adegan seks di industri Hollywood juga patut digarisbawahi.

Penn memandang bahwa industri telah menyederhanakan adegan seksual sebagai kegiatan yang terburu-buru, seolah tak ada komunikasi dan momen menjalin koneksi sebelum keintiman terjadi.

Namun, Penn Badgley sebagai seorang aktor ternyata harus menelan komitmennya sendiri.

Pada You musim kelima, Penn setuju untuk melakukan adegan intim.

Meski masih memberikan sejumlah batasan, ia merasa adegan seks di musim kelima tersebut perlu ditampilkan untuk menegaskan karakter Joe sebagai “romantic icon” yang pandai menggoda perempuan.

"[Karena sudah diputuskan] jadi kami memastikan adegan ini vital dan penting [untuk jalan cerita]," Penn menegaskan dalam wawncara dengan Peoplepada bulan April silam.

Pendapat Penn menarik jika ditarik dalam diskursus mengenai seberapa penting adegan seks di dalam film.

Dalam sejarah adegan seks di film-film, memasukkan adegan intim rawan menjadikan perempuan sebagai objek. Alih-alih sebagai upaya liberasi atau pembebasan, adegan seks berpotensi mengeksploitasi perempuan.

Perempuan sebagai obyek bisa dilihat dalam pengalaman Hedy Lamarr ketika pertama kali berakting di Ecstacy (1933).

LA Times mencatat, berdasarkan pengakuan Hedy, ia setuju melakukan adegan berenang telanjang hanya jika sutradara merekamnya dari bukit yang jaraknya lumayan jauh.

Yang terjadi, si sutradara justru menggunakan lensa teleskopik untuk merekam Hedy.

Muslihat kedua terjadi saat Hedy harus berakting seperti sedang mengalami orgasme. Ekspresi yang direkam dari jarak dekat itu muncul gara-gara kakinya sengaja ditusuk oleh jarum.

Serial popular Game of Thrones juga terjebak menampilkan adegan seks tak perlu.

Karakter Sansa Stark yang diperankan aktirs Sophie Turner, catat Collider, digambarkan mengalami pemerkosaan di musim kelima. Padahal, di versi novel garapan George R.R Martin ini, adegan semacam itu sama sekali tidak ada.

Artinya, terdapat potensi beberapa adegan seks tidak menambah nilai atau dampak signifikan dalam plot cerita sebuah film. Ia hadir hanya untuk memberikan nilai komersil saja— untuk alasan ini, adegan seks perlu dikritik.

Selain itu, artis dan aktor juga rentan mengalami pelecehan selama syuting adegan seks berlangsung. Hal ini pernah terjadi pada Léa Seydoux dan Adèle Exarchopoulos di film Blue Is the Warmest Color (2013).

Kedua aktris merasa dipermalukan oleh tuntutan dari sutradara Abdellatif Kechiche untuk syuting adegan seks yang berlangsung selama berjam-jam.

Dengan adanya potensi penyalahgunaan adegan seks, apakah jenis akting ini harus dihapus sama sekali dalam film?

Menurut kelompok yang mendukung adegan seks dalam film, perlu ditegaskan kebutuhan batasan-batasan jelas mengenai penambahan adegan tersebut.

Adegan seks seharusnya ditempatkan sebagai penguat dari pengembangan cerita maupun karakter. Dengan begitu, dinamika antartokoh dapat terjalin dengan baik.

"[Adegan] seks memperlihatkan momen rentan para karakter, pada momen itulah penonton dapat mengintip perasaan dan intensi sejati para tokoh di dalamnya," begitu pendapat Morgan Sieradski di Michigan Daily.

Jika unsur-unsur di atas tidak terpenuhi, artinya adegan seks tidak dimunculkan dalam karya. Toh, saat ini publik umum semakin aware dan kritis terhadap isi konten film.

Kampanye #MeToo dan konten edukasi seputar seksualitas membuat masyarakat menaruh ekspektasi terhadap adegan seks yang clear, berdampak, bermakna, sembari memastikan tidak ada hak aktor-aktris yang dilanggar.

Seiring meningkatnya kesadaraan akan potensi kekerasan seksual, kebutuhan adegan seks dalam film harus dipertimbangkan secara matang dan hati-hati.

Dalam rangka mengurangi kejadian-kejadian tidak diinginkan, produsen bisa menyewa intimacy coordinator.

Intimacy coordinator, profesi yang mulai populer sejak 2018, bertanggung jawab untuk membuat koreografi adegan intim, serta bertugas menjadi penjembatan antara aktor dan produsen.

"Intimacy coordinator bekerja bersama seluruh tim untuk menerapkan budaya consent selama produksi film. Sekaligus juga memastikan para aktor nyaman dengan berbagai kemungkinan adegan seks yang akan dieksplorasi," demikian dijelaskan oleh American Association of Community Theatre.

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Erika Rizqi

tirto.id - Lyfe
Kontributor: Erika Rizqi
Penulis: Erika Rizqi
Editor: Sekar Kinasih