tirto.id - Menginjak akhir 2017, masyarakat heboh dengan kemunculan difteri. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan sampai dengan November 2017, terdapat 95 kabupaten/kota dari 20 provinsi provinsi di seluruh Indonesia yang melaporkan terserang difteri. Sejauh ini, total ada sekitar 590 kasus yang masuk catatan Kementerian Kesehatan.
Angka kasus difteri memang naik terus dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2016, menurut data Profil Kesehatan Indonesia, terdapat 415 kasus dengan jumlah kasus meninggal sebanyak 24. Tahun sebelumnya, tercatat ada 252 kasus dengan 5 di antaranya merupakan kasus meninggal.
Ketiadaan vaksin dan menurunnya tingkat imunisasi disebut-sebut sebagai faktor utama tingginya kasus difteri, demikian menurut Profil Kesehatan Indonesia yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan pada 2017 lalu. Pada 2012, partisipasi dalam imunisasi mencapai 93,3 persen, lalu turun menjadi 89,9 persen pada 2013. Kemudian, turun lagi menjadi 86,9 persen di tahun 2014 dan 86,5 persen di tahun 2015.
Direktur Surveilans dan Karantina Kemenkes, Elizabeth Jane Soepardi menjelaskan, baik imunisasi dan vaksinasi merupakan elemen penting dalam menjaga ketahanan tubuh. Apabila dua hal tersebut tidak dipenuhi dengan baik, maka, ketahanan tubuh terhadap bakteri bakal menurun dan mengakibatkan penyakit seperti difteri masuk menyerang.
“Terbukti, 60 persen kasus difteri terjadi karena tidak diimunisasi,” ujar dr. Jane kepada Tirto.
Difteri merupakan penyakit yang menyerang selaput lendir di hidung dan tenggorokan. Penyakit ini termasuk infeksi serius, menular, serta berpotensi mengancam jiwa. Gejala awal difteri dapat dideteksi dengan munculnya demam, nafsu makan menurun, lesu, nyeri saat menelan, dan nyeri tenggorokan.
Setelah itu, hidung mengeluarkan lendir yang berwarna kuning kehijauan (kadang disertai darah), muncul selaput putih keabu-abuan pada tenggorokan atau hidung, dan terjadi pembengkakan di leher—biasa disebut bull neck.
Bekam Sebagai Solusi?
Guna menyembuhkan difteri, pemerintah mengimbau agar masyarakat melakukan vaksin dan imunisasi. Dua hal tersebut merupakan langkah bijak yang dianggap sesuai dengan anjuran medis. Namun, imbauan pemerintah tak serta merta dituruti begitu saja oleh sejumlah elemen masyarakat.
Dewi Hestyawati, aktivis 'kesehatan holistik', adalah salah satu yang menolak.
Dewi beranggapan, setiap penyakit (termasuk difteri) merupakan konsekuensi yang timbul dari pilihan hidup manusia di dunia. Untuk menyembuhkannya, tak butuh vaksin. Dewi menganjurkan apa yang disebutnya sebagai 'imunisasi Islam'.
“Allah Swt menciptakan sistem yang sedemikian rupa di dunia. Tapi manusia banyak yang memilih jalan haram. Maka dari itu, penyakit datang. Namun, semua bisa disembuhkan dengan 'imunisasi Islami' asalkan kita berperilaku halalan toyyiban—tidak memakan babi, tidak merokok, dan tidak korupsi,” jelas Dewi kepada Tirto melalui sambungan telepon.
Lantas, apa yang dimaksud Dewi dengan 'imunisasi Islami'?
“Lakukan bekam,” jawabnya menganjurkan teknik pengobatan alternatif yang dilakukan dengan menyedot darah kotor dari dalam tubuh.
Menurut Dewi, bekam bisa menyembuhkan penyakit apa saja. Metode pengobatan ini sesuai dengan ajaran Islam yang berlaku untuk semua golongan, baik muslim maupun non-muslim. Dalam pelaksanaannya, Dewi mengaku sukses menyembuhkan bermacam penyakit dengan metode bekam.
“Mas bisa datang ke klinik saya dan melihat bagaimana terapi ini berjalan. Banyak pasien saya yang menyarankan agar merekam praktik bekam lalu menyebarluaskan supaya masyarakat paham betapa bermanfaatnya metode ini,” katanya.
Ia menambahkan, “Tapi, saya tidak ingin cara-cara seperti itu. Cukup sederhana saja. Bagi saya, bekam hanyalah hobi dan pemenuhan akan dakwah tentang hal yang baik. Saya tidak ingin menjadikan bekam sebagai bisnis yang besar.”
Sikap keras Dewi menjunjung tinggi metode bekam bukannya tanpa alasan. Selain faktor “anjuran agama,” ia juga berpendapat bahwa vaksin dan imunisasi tidak sesuai Islam. Ada banyak hal yang tidak bisa diimplikasikan lewat vaksin, begitu pikirnya.
“Kalau mas ingin tahu di mana letak haramnya vaksin, coba datang ke Bio Farma (perusahaan penyedia vaksin). Lihat bagaimana di sana mereka membuat vaksin. Dari situ mas akan bisa menilai,” ungkap Dewi.
“Sebetulnya saya membatasi pembahasan tentang vaksin. Tapi, sederhananya begini saja, dengan adanya vaksin, sekarang banyak korban yang muncul. Saya percaya, menggunakan vaksin itu berarti akan terjadi dua hal. Pertama, kalau tidak kuat, maka bakal mati. Kedua, jika kuat dan masih hidup, tapi nampak sehat dan cacat.”
Kendati begitu, Dewi menyatakan tak ingin memaksakan penggunaan bekam kepada masyarakat. Baginya, penggunaan bekam adalah bentuk keyakinan dan kepercayaan yang tidak bisa dipaksakan.
“Kedokteran mempunyai tren masing-masing. Di India, beda. Di Cina, juga beda. Dan, di barat tambah beda. Biarkan mereka berjalan sendiri-sendiri. Ini sesuatu bentuk keyakinan yang tidak bisa dipaksakan. Biar masyarakat sendiri yang memilih,” kata Dewi.
Apa Itu Bekam dan Bagaimana Dunia Medis Menerimanya?
Bekam atau cupping (hijama dalam bahasa Arab) merupakan pengobatan alternatif kuno yang berasal dari Cina. Science Based Medicine menyebutkan teknik bekam dilakukan dengan menempatkan gelas (dingin atau panas) di atas area tubuh yang sakit lalu menyedot darahnya.
Metode bekam ditujukan untuk mengobati demam tinggi, kehilangan kesadaran, nyeri punggung bawah, nyeri otot, nyeri sendi, sakit kepala, hingga kejang-kejang. Keberadaan bekam dibagi menjadi dua yaitu bekam basah (wet cupping) dan bekam kering (dry cupping). Bekam basah merujuk pada metode bekam yang mengeluarkan darah. Sedangkan bekam kering merujuk pada teknik bekam yang tidak mengeluarkan darah.
Popularitas bekam sempat melejit pada 2016 ketika Michael Phelps, atlet renang peraih 28 emas Olimpiade, menggunakannya dalam ajang Olimpiade Rio. Awalnya, publik curiga ketika melihat lingkaran-lingkaran biru di punggung Phelps. Tak lama kemudian, Phelps menyatakan dalam akun Instagram-nya bahwa ia sedang menjalani terapi bekam.
Dilansir The New York Times, metode bekam jadi populer di kalangan atlet renang karena dianggap dapat mengurangi rasa sakit serta membantu mempercepat penyembuhan otot yang terlalu banyak bekerja. Menurut mereka, bekam mampu mencegah cedera dan mempercepat pemulihan.
“Pemulihan ini meninggalkan noda pada kulit (Phelps) yang membuatnya mirip anjing Dalmatian atau seolah-olah memajang tato lengan yang sangat jelek,” ucap Keenan Robinson, pelatih pribadi Phelps. “Ini hanya bentuk pemulihan lainnya. Tidak ada yang istimewa dari itu.”
Namun, pemakaian bekam sebagai metode pengobatan alternatif bukannya sepi kritikan. Steven Novella, neurologis dan pengajar Yale University School of Medicine menyatakan bahwa sejak awal bekam sudah identik dengan terapi berbasis takhayul. Bekam merupakan bagian dari budaya pra-ilmiah yang tidak memiliki petunjuk tentang mekanisme fisiologis kesehatan dan penyakit. Novella menambahkan, bekam hanya mengikuti narasi populer hari ini dan didorong oleh “kekuatan pasar,” bukan sains.
Tariq Al-Madani, dalam artikelnya berjudul “Hepatitis C Virus Infections Reported Over 11 Years of Surveillance in Saudi Arabia” yang dipublikasikan The Royal Society of Tropical Medicine and Hygiene pada 2008 menjelaskan, bekam (hijama) adalah salah satu penyebab terjadinya Hepatitis C Virus (HCV) pada medio 1989-1990. Tariq Al Madani adalah guru besar pada Fakultas Kedokteran King Abdul Azis University dan mantan menteri kesehatan Saudi.
Menurut penelitian Al-Madani, penyebab utama infeksi HCV di seluruh dunia adalah transfusi darah yang tidak disaring serta penggunaan kembali jarum suntik yang tidak cukup disterilkan. Akibatnya, jelas Tariq, berbagi jarum yang sudah terkontaminasi telah menjadi cara paling umum untuk menularkan infeksi HCV. Tariq menambahkan, HCV juga dapat ditularkan lewat hubungan seksual, tindik telinga dan tubuh, khitan, tato, serta bekam (hijama). Penularan lewat tindik sampai bekam bisa terjadi apabila peralatan yang digunakan tidak steril dan tidak memadai.
Karena belum ada vaksin untuk mencegah infeksi HCV, strategi yang dilakukan guna mencegah infeksi HCV menyebar di Arab Saudi adalah dengan pendidikan kesehatan, pemeriksaan donor darah dan organ secara rutin, hemodialisis (pembersihan darah dari zat sampah melalui proses penyaringan di luar tubuh) pada pasien yang memerlukan transfusi darah berulang, pengguna narkoba, serta pasien dengan penyakit menular seksual lainnya.
Tak hanya itu saja, pengendalian dan pencegahan infeksi HCV dilakukan dengan sterilisasi peralatan bedah dan gigi, menerapkan standar medis yang higienis, serta melakukan kontrol ketat pada potong rambut hingga praktik terapi tradisional macam bekam (hijama).
Hal senada turut diungkapkan Ekram W. Abd El-Wahab, Ashraf Mikhael, Fathallah Sidkey, dan Hanan Z. Shatat dalam hasil penelitian bertajuk “Factors Associated with Hepatitis C Infection among Chronic HCV Egyptian Patients” yang diterbitkan Iran Journal of Public Health pada November 2014.
Menurut penelitian tersebut, bekam (hijama) menjadi penyebab masyarakat terjangkit HCV di Mesir, bersanding dengan transfusi darah, sunat tanpa pengobatan, pemasangan tato dan tindik, sampai penggunaan alat cukur bersama-sama. Mereka menambahkan, dari 396 pasien yang mengidap HCV dan sedang menjalani perawatan lanjutan di Rumah Sakit El-Qabbary, Alexandria, lebih dari setengahnya (57,3%) pernah berobat bekam (hijama).
Dr. Ahmad Yanuar SpS, ahli bedah medula spinalis dan staf pengajar neurofisiologi klinik Fakultas Kedokteran Indonesia mengimbau kepada masyarakat agar tak mencerna informasi secara langsung, tanpa adanya verifikasi maupun penelusuran lebih lanjut.
“Alangkah baiknya masyarakat tidak langsung percaya informasi yang beredar begitu saja. Ilmu medis tidak sesederhana itu. Masyarakat mesti bisa memperhatikan apakah ungkapan itu (bahwa bekam jadi obat segala penyakit) sudah didasarkan pada penelitian medis yang komprehensif atau belum. Intinya masyarakat jangan langsung percaya,” ungkap Ahmad saat dihubungi Tirto.
Ia menegaskan sampai sekarang belum ada penelitian yang membuktikan bahwa bekam bisa mengobati segala jenis penyakit.
“Belum ada research yang menyatakan kebenaran akan hal itu,” tegasnya.
Penulis: M Faisal Reza Irfan
Editor: Windu Jusuf