tirto.id - Direktur Utama PT Bio Farma Juliman menyatakan perusahaanya berencana memproduksi serum antidifteri. Selama ini pemerintah harus melakukan impor untuk memenuhi kebutuhan antidifteri serum (ADS) di dalam negeri.
Menurut Juliman, proses produksi serum antidifteri di BUMN produsen vaksin dan antisera itu akan berjalan pada akhir 2018 atau awal 2019.
"Kami impor (serum antidifteri), tetapi kami sedang mengembangkan sendiri," kata Juliman di sela diskusi tentang penyakit difteri di Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta, pada Jumat (12/1/2018) seperti dikutip Antara.
Juliman menambahkan produksi serum antidifteri di dalam negeri bisa menurunkan harga obat untuk para pasien penyakit difteri tersebut. Ia mengklaim harganya bisa Rp500 ribu atau seperlima sampai seperempat dari nilai serum impor yang sekarang sekitar Rp2 juta.
Sementara selama ini, Kementerian Kesehatan telah mengimpor 4.000 serum Antidifteri untuk memenuhi kebutuhan pengobatan pasien difteri di Indonesia.
Selain harga lebih murah, menurut dia, Indonesia akan mandiri dan tidak bergantung pada negara lain yang belum tentu bisa menyediakan sesuai jumlah kebutuhan dalam negeri. Apalagi, negara yang membutuhkan serum itu untuk kejadian luar biasa (KLB) difteri tidak hanya Indonesia.
"KLB difteri ini tidak hanya Indonesia, tetapi di India juga ada, Yaman juga ada, Bangladesh ada, Rohingya kena. Semua butuh barang yang sama," tutur Juliman.
Sementara itu, Menteri Kesehatan Nila Moeloek memastikan ketersediaan vaksin maupun antidifteri serum (ADS) sudah cukup untuk kebutuhan imunisasi ulang dan penanganan pasien penyakit ini di 2018.
"Untuk ADS (serum antidifteri), kita dibantu Bio Farma 700 vial, dan juga sudah dapat bantuan dari WHO, dan kita beli dari India. Jumlahnya cukup banyak untuk pencegahan di 2018," kata Nila.
Bio Farma Tambah Produksi Vaksin Jadi 19,5 Juta Vial di 2018
Selain berencana memproduksi serum antidifteri, menurut Juliman, Bio Farma juga akan menambah produksi vaksin pada 2018 sebanyak 4,5 juta vial. Penambahan produksi vaksin itu untuk memenuhi kebutuhan imunisasi ulang (ORI) terkait kejadian luar biasa (KLB) difteri.
Dengan demikian, menurut Juliman, produksi vaksin Bio Farma tahun ini akan meningkat menjadi 19,5 juta vial dari yang biasanya hanya memproduksi 15 juta vial dalam setahun.
"Karena kebutuhan meningkat, kami menambah hari kerja, dari lima menjadi tujuh hari kerja, khusus untuk menyiapkan kebutuhan vaksin dari Kemenkes untuk di dalam negeri," kata Juliman.
Kapasitas produksi vaksin Bio Farma sebenarnya hanya 15 juta vial setahun dengan lima hari kerja dan fasilitas yang tersedia. Karena itu, untuk mencapai produksi vaksin 19,5 juta vial atau penambahan hari kerja dan fasilitas itu dilakukan.
Juliman menambahkan kapasitas produksi 15 juta vial itu juga tidak seluruhnya untuk vaksin difteri. Tapi, juga ada vaksin lain seperti tetanus dan hepatitis B. Produksi jenis vaksin lain akan dikurangi untuk mengerek angka pembuatan vaksin difteri.
Dia menjelaskan pembuatan vaksin difteri tidak memakai bahan dari hewan yang diharamkan agama.
Proses produksi vaksin itu dilakukan dengan menanam dan membiakkan bakteri difteri agar menghasilkan toksin. Setelah toksin dimatikan, unsur itu akan diformulasi dengan bahan lain untuk menjadi vaksin. Setelah lulus uji dari Biofarma dan BPOM, baru vaksin dijual.
Penulis: Addi M Idhom
Editor: Addi M Idhom