tirto.id - Difteri terjadi di beberapa wilayah Indonesia dan ditetapkan sebagai KLB. Namun, menurut Direktur Surveilans dan Karantina Kemenkes RI, Elizabeth Jane Soepardi, jumlahnya berbeda dengan jumlah di dalam peta. Hingga kini, total kasus difteri Januari-November 2017 dari 20 provinsi, ada 590 laporan kasus difteri.
“Peta yang beredar itu hoax, masak kejadian dari Januari sampai November dijumlahkan lalu digambarkan di peta. Jadi seolah di November kasusnya banyak, padahal bergantian,” jelasnya kepada Tirto.
Pernyataan ini juga diperkuat oleh dr. Aman Bhakti Pulungan, SpA (K) selaku Ketua Umum IDAI. Ia menyatakan bahwa informasi tepat dan terpercaya hanya dikeluarkan resmi oleh IDAI di situsweb mereka. Sementara, website IDAI hanya memunculkan informasi mengenai cara penanggulangan dan gejala-gejala difteri. Bukan peta persebaran difteri dengan kop surat dari IDAI seperti yang beredar.
“Benar ada difteri, tapi informasinya bukan yang menyebar di media sosial, ya. Yang resmi di website IDAI,” katanya.
Angka kejadian difteri naik terus beberapa tahun belakangan ini. Pada 2015, Profil Kesehatan Indonesia 2015 mencatat jumlah kasus sebanyak 252 kasus, korban meninggal sebanyak 5 kasus. Kasus tertinggi terjadi di Sumatera Barat sebanyak 110 kasus, dan Jawa Timur sebanyak 67 kasus.
Pada 2016, menurut data Profil Kesehatan Indonesia tahun 2016, ada 415 kasus dengan jumlah kasus meninggal sebanyak 24 kasus sehingga (Case Fatality Rate/CFR sebesar 5,8 persen). Kasus terbanyak terjadi di Jawa Timur dengan 209 kasus dan Jawa Barat sebanyak 133 kasus.
"Dari seluruh kasus difteri, sebesar 51 persen di antaranya tidak mendapatkan vaksinasi," demikian catatan dalam Profil Kesehatan.
Kejadian difteri ini tak hanya menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia, tapi juga negara-negara lain, khususnya negara berkembang. Di Brasil, meski menunjukkan tren kenaikan, kasus difteri tidak sebanyak di Indonesia. Pada 2013, jumlah kasusnya hanya 4, lalu meningkat menjadi 5 di tahun 2014, dan menjadi 12 di tahun 2015.
Sementara di India, jumlah kasus difteri mencapai angka ribuan dan fluktuatif. Pada 2011, kasusnya pernah mencapai 4.233 kasus, menurun menjadi 2.525 pada 2012. Pada 2013, jumlah korban kembali naik menjadi 3.133 kasus dan terus meningkat menjadi 6.094 di tahun 2014. Angkanya kembali menurun jadi 2.365 di tahun 2015 dan menjadi 3.380 di tahun 2015.
Baca juga:Imunisasi Bukan Hanya untuk Daerah Tertinggal
Difteri telah berhasil diperangi Indonesia pada 1990 saat program imunisasi digalakkan. Saat itu, Kemenkes memutuskan kemunculan difteri akan ditetapkan sebagai kejadian luar biasa, meski korban hanya satu orang. Hal ini dimaksudkan agar dana penanggulangan dari pemerintah daerah setempat keluar.
Namun, penyakit akibat infeksi bakteri yang umum menyerang selaput lendir pada hidung dan tenggorokan ini kembali hadir di Jawa Timur pada 2009.
Menurut dokter Jane, kemungkinan penyakit ini datang lagi karena imunisasi DPT ulang setiap 10 tahun sekali tidak dilakukan oleh masyarakat, sehingga ketahanan tubuh terhadap bakteri pun menurun. Di samping itu, terdapat kelompok yang menolak imunisasi.
Baca juga:Bagaimana Gerakan Anti Vaksin Mendunia?
“Teorinya memang betul ada kekebalan alamiah, tapi saat ini sudah tidak cukup untuk melindungi. Jadi, bayi harus imunisasi dasar DPT, nanti di sekolah diulang lagi, jangan ditolak,” himbaunya kepada masyarakat.
Baca juga:Vaksin atau Imunisasi
Penanggulangan Difteri
Difteri tak hanya menyerang selaput lendir di hidung dan tenggorokan, terkadang ia juga memengaruhi kulit. Penyakit ini sangat menular dan termasuk infeksi serius yang berpotensi mengancam jiwa. Gejala awal difteri dapat dideteksi dengan indikasi demam, nafsu makan menurun, lesu, nyeri saat menelan dan nyeri tenggorokan.
Lalu, ada lendir di hidung berwarna kuning kehijauan terkadang disertai darah, lalu ditandai selaput putih keabu-abuan di tenggorokan atau hidung. Leher pun mengalami pembengkakan atau disebut sebagai bull neck.
Penyakit ini muncul diduga karena tingkat imunisasi rendah, baik imunisasi dasar maupun imunisasi ulang per 10 tahun sekali. Tren kasus difteri juga cenderung meningkat, puncaknya terjadi pada 2012 sebanyak 1.192 kasus. Jawa Timur selalu menjadi daerah dengan kasus terbanyak, yakni 74 persen dari seluruh kasus pada 2014, dan 63 persen pada 2015.
Pada 2015, ada sekitar 37 persen kasus difteri terjadi akibat penderita belum imunisasi DPT3.
Dilihat dari trennya, cakupan imunisasi dasar lengkap pada bayi Indonesia memang terus menurun. Pada 2012, partisipasinya mencapai 93,3 persen, tapi turun menjadi 86,8 persen pada 2013. Lalu, 89,9 persen di tahun 2013, menjadi 86,9 persen di tahun 2014 dan 86,5 persen di tahun 2015.
Baca juga:Perang Argumen Pro Vaksin dan Anti Vaksin
Padahal, untuk mencegah penyakit difteri, perlu imunisasi DPT/DT/Td anak lengkap. Bayi berusia kurang dari 1 tahun harus mendapatkan 3 kali imunisasi difteri (DPT). Lalu, saat anak berusia 1 sampai 5 tahun harus mendapatkan imunisasi ulangan sebanyak 2 kali.
Pada siswa sekolah dasar (SD) kelas 1, kelas 2, dan kelas 3 atau kelas 5 juga harus mendapatkan imunisasi difteri melalui program Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS). Terakhir, imunisasi ulang dilakukan setiap 10 tahun, termasuk orang dewasa.
Pada korban yang telah terjangkit difteri, maka ia harus dirawat di ruang isolasi selama kurang lebih 7-10 hari. Fasilitas kesehatan yang menerima pasien difteri juga diharuskan memiliki ruang isolasi sendiri, minimal kamar terpisah.
Selama itu, kunjungan pada pasien harus diminimalkan guna menghindari penularan. Sebulan kemudian, pasien akan divaksin ulang agar kekebalan tubuh buatannya terjaga. Sementara itu, guna memutus penularan, lingkungan sekitar pasien juga akan diberi suntikan imunisasi.
“[Adanya] gerakan anti-vaksin pada bayi karena mengira bisa kebal sendiri memakai herbal, ASI, dll itu [kesalahan]. Karena sudah terbukti 60 persen kasus [difteri terjadi] karena tidak diimunisasi,” pungkas dr. Jane.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani