tirto.id - Secara sporadis di sejumlah wilayah kabupaten/kota, para pengemudi truk mengadakan unjuk rasa dan mogok kerja menolak kebijakan dan aturan soal truk over dimension and over loading (ODOL). Rencananya kebijakan soal zero ODOL sendiri akan mulai berlaku pada tahun 2026.
Aksi mogok kerja dan turun ke jalan itu terjadi pada Kamis (19/6/2025) di sejumlah daerah. Berdasar catatan Tirto, para sopir truk yang melakukan aksi dari Surabaya Kudus, Boyolali, Klaten, Solo, Yogya, Bandung, dan beberapa daerah lainnya.
Salah satu aksi demo besar dilakukan oleh Gerakan Sopir Truk Jawa Tengah. Di depan Terminal Induk Jati, Jalan Lingkar Selatan, Kudus, sekitar 800 orang sopir turun ke jalan. Mereka memasang spanduk di kendaraannya masing-masing. Salah satu yang menarik perhatian bertuliskan, "Tolong Revisi UU ODOL, welcome to Indonesia sopir truk ODOL dipenjara, sopir bukan kriminal, bukan menentang ODOL, melainkan ini tentang keluarga di rumah".
Selain ratusan sopir truk mengikuti aksi, di Jalan Lingkar Selatan depan Terminal Induk Jati Kudus juga terparkir truk berbagai ukuran, termasuk di dalam terminal.
Sementara di Temanggung penolakan terkait aturan truk ODOL juga terjadi. Paguyuban Angkutan Umum Truk Temanggung melakukan sweeping bus-bus malam yang membawa cabai. Aksi tersebut dilakukan pada Kamis (19/6/2025) sore hingga Jumat dini hari.
Setiap bus yang membawa cabai langsung dihentikan dan barang diturunkan. Selain itu, ratusan sopir truk ini juga melakukan aksi blokade jalan nasional. Mereka sengaja memarkir truknya di tengah jalan hingga menimbulkan kemacetan panjang.

Sementara itu di Jawa Barat, ratusan sopir truk di Kabupaten Subang melakukan aksi unjuk rasa dengan menutup atau atau blokade jalan utama penghubung Subang-Bandung, tepatnya di simpang Museum Subang, Wisma Karya, Kamis (19/6/2025) sore. Aksi tersebut berlangsung selama empat jam, membuat jalur vital tersebut lumpuh total akibat deretan truk yang sengaja diparkir di badan jalan.
Teriakan mereka juga serupa dengan massa aksi di Jawa Tengah, menolak adanya upaya pemerintah memperketat aturan zero ODOL.
Para sopir menilai aturan itu memberatkan mereka yang bekerja di sektor logistik dan angkutan barang, terutama di daerah. Operasi zero ODOL dinilai makin memberatkan, apalagi kondisi perlindungan dan kesejahteraan sopir yang belum terjamin.
Truk ODOL Meningkatkan Risiko Kecelakaan Lalu Lintas
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perhubungan, beranggapan kebijakan pelarangan truk ODOL demi kepentingan bersama. Menteri Perhubungan (Menhub), Dudy Purwagandhi, mengatakan hal ini untuk menjaga keselamatan di jalan, melindungi infrastruktur, dan menciptakan tata niaga logistik yang sehat.
Truk ODOL terbukti mempercepat kerusakan jalan dan meningkatkan risiko kecelakaan lalu lintas. Hal ini mengancam keselamatan pengguna jalan, termasuk sopir-sopir truk itu sendiri.
Berdasarkan data rangkuman Korlantas Polri, pada 2024, terdapat 27.337 kejadian kecelakaan lalu lintas yang melibatkan angkutan barang. Angka tersebut merupakan 10,4 persen dari total jumlah kecelakaan lalu lintas yaitu sebanyak 262.328 kejadian.

Akibatnya, terdapat 183.995 korban luka ringan, 16.601 korban luka berat, serta 26.839 korban meninggal dunia. Sementara itu, berdasar data Jasa Raharja, kendaraan ODOL menjadi penyebab kecelakaan nomor dua. Pada 2024, tercatat 6.390 korban meninggal dunia yang diberikan santunan.
Kemudian dari Januari hingga Mei 2025, tercatat 2.203 korban meninggal dunia dari 7.485 kejadian kecelakaan. hasil pemeriksaan Unit Pelaksana Penimbangan Kendaraan Bermotor (UPPKB) selama Januari-April 2025, dari 752.000 kendaraan yang diperiksa, ditemukan pelanggaran daya angkut pada 129.887 kendaraan.
Sejauh ini aturan terkait truk ODOL tercantum dalam Undang-Undang No. 29 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ) dan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 18 Tahun 2021 tentang pengawasan muatan angkutan barang dan penyelenggaraan penimbang kendaraan bermotor di jalan.
"Keselamatan di jalan raya adalah prioritas utama kami dalam setiap kebijakan transportasi. Truk kelebihan muat dan kelebihan dimensi ini bukan hanya mempercepat kerusakan infrastruktur jalan dan jembatan, tetapi juga meningkatkan risiko kecelakaan yang dapat merenggut nyawa," urai Dudy.

Di sisi lain, Menhub Dudy berjanji akan mendengarkan tuntutan dan permintaan sopir truk terkait ODOL. Dia menganggap tuntutan para sopir adalah bagian dari dinamika yang didengar pemerintah sebagai bentuk tanggung jawab untuk menciptakan kebijakan.
"Penting bagi kami untuk mendengarkan langsung suara para pengemudi, sebagai garda terdepan sektor transportasi barang nasional," kata Dudy, Minggu (22/6/2025).
Aksi Mogok Sopir Truk Berimbas pada Keterlambatan Pasokan Pangan
Imbas dari aksi para sopir truk di berbagai daerah beberapa hari lalu juga langsung terasa. Direktur Ketersediaan Pangan Badan Pangan Nasional (Bapanas) , Indra Wijayanto, mengungkapkan bahwa aksi supir para sopir truk menyebabkan sejumlah harga kebutuhan pokok menjulang. Hal ini karena ada keterlambatan pasokan pangan.
"Mengenai demo ODOL, ini sudah cukup mengganggu, karena beberapa asosiasi telur maupun cabai, telah berkirim surat kepada kami mengenai keterlambatan, sehingga ini mengganggu pasokan khususnya di Jakarta," kata Indra dalam Rapat Inflasi Daerah bersama Kementerian Dalam Negeri dipantau secara daring di Jakarta, dikutip Antara, Senin (23/6/2025).
Indra menegaskan bahwa sinergi kebijakan lintas sektor agar penanganan ODOL tetap menjaga kelancaran. Pemerintah daerah diharapkan untuk menemukan solusi terbaik dalam menjaga ketersediaan dan stabilitas pasokan pangan di wilayah Jawa.
Pemerintah Sebaiknya Fokus Tangani Masalah Mendasar Para Sopir Truk
Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat (DPP) Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (APTRINDO), Agus Pratiknyo, mengatakan demonstrasi menolak aturan truk ODOL terjadi secara sporadis di banyak daerah karena adanya perasaan senasib sependeritaan oleh para supir. Agus membantah bila ada upaya pengerahan para supir untuk menolak aturan ODOL.
"Kalau kita lihat para sopir truk yang melakukan aksi adalah supir dari perusahaan truk yang tidak berbadan hukum. Sehingga mereka sangat bergantung pada barang bawaan yang selama ini over dimensi," kata Agus saat dihubungi Tirto, Senin (23/6/2025).
Di satu sisi, dia mengakui bahwa truk ODOL adalah biang kecelakaan dari sejumlah peristiwa di Indonesia. Namun, Agus berharap ada kejelasan soal legalitas kendaraan over dimensi serta perlu ada skema transisi yang adil. Sebab, saat ini yang muncul justru penegakan hukum yang semakin masif.

Agus juga menyoroti pengawasan truk ODOL yang masih menggunakan cara penimbangan manual. Menurutnya, kiwari, teknologi harus menjadi alat utama untuk mengawasi kebijakan larangan truk ODOL.
"Di era digital hari ini, cara seperti itu bukan hanya tidak efektif, tapi membuka celah penyimpangan. Seharusnya, sistem pengawasan sudah berbasis data digital, manifes barang, GPS tracking, dan integrasi dengan sistem KIR dan jalan tol," kata Agus.
Dia menambahkan kalau kondisinya saat ini banyak pengusaha juga ingin patuh terhadap aturan ODOL, tapi sistem dan regulasinya tidak memberi ruang.
Dirinya juga meminta kepada pembuat kebijakan, dalam hal ini Kemenhub dan Korlantas Polri, untuk lebih mengontrol sosialisasi soal ODOL, terutama di media sosial. Menurut dia, sosialisasi yang agresif memantik emosi para sopir saat menyimak konten tersebut. Dia mendesak agar pemerintah melakukan pendekatan persuasif dan menerima masukan terkait aturan maupun larangan ODOL.
"Yang lebih membingungkan, sekarang Korlantas Polri justru tampil paling depan dalam urusan ODOL, seolah mengambil alih peran utama dari Kemenhub. Bukannya berkoordinasi untuk memperbaiki sistem, malah terkesan akan berlomba memperbanyak penindakan dan publikasi," kata dia.
Pengamat Transportasi dari Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata, Djoko Setijowarno, mengatakan aturan ODOL sebaiknya berpihak pada rakyat kecil, dalam hal ini adalah para sopir. Menurutnya, dalam kasus ODOL, pengusaha pemilik barang atau kendaraan justru tak tersentuh hukum.
"Penegakan hukum itu boleh, tapi di akhir. Jadi, kita benahi dulu dari hulu ke hilir. Revisi undang-undang ini perlu, tapi itu menyebabkan sebagian sopir menjadi korban. Sebagian sopir ya, nggak seluruhnya," jelas Djoko, kepada Tirto, Sabtu (21/6/2025).
Selain itu Djoko juga menyoroti upah yang terlalu rendah bagi supir. Menurutnya, alasan itu juga yang mendorong para sopir berani membawa muatan berlebih.
"Dengan seperti itu kan sopir jadi bisa mikir macam-macam. Bawa (muatan) dari Jawa Tengah ke Jakarta, dalam pikirannya saya pulang harus bawa (muatan banyak), biar saya dapat untung banyak," kata Djoko.
Berdasar kajian Badan Kebijakan Transportasi Kementerian Perhubungan (Kemenhub), rata-rata upah sopir di Indonesia hanya sekitar Rp1,4 juta per bulan. Nilai ini sangat jauh dibandingkan rata-rata gaji sopir di Thailand, misalnya yang bisa mendapat Rp25 juta per bulan.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































