Menuju konten utama

Ada Fasilitas Fiktif dalam Proyek Penataan Kawasan Kumuh Tangsel

Ketidaksesuaian antara DED dan hasil pekerjaan adalah pelanggaran serius terhadap prinsip transparansi dan akuntabilitas

Ada Fasilitas Fiktif dalam Proyek Penataan Kawasan Kumuh Tangsel
Lokasi penataan kawasan kumuh yang berada di Jalan Juma, Kelurahan Serua Kecamatan Ciputat, Kota Tangerang Selatan. (Foto: Jupri Nugroho)

tirto.id - Proyek Penanganan Kawasan Kumuh di Kota Tangerang Selatan (Tangsel) tahun anggaran 2025 senilai total Rp1,8 miliar diduga bermasalah. Dugaan itu muncul setelah ditemukan sejumlah fasilitas yang tercantum dalam dokumen perencanaan Detail Engineering Design (DED) tidak terbangun di lapangan.

Tangsel Update melakukan pemantauan langsung ke Gang Juma, RT 02/04, Kelurahan Serua, Kecamatan Ciputat, yang menjadi bagian dari proyek tersebut. Dalam dokumen DED, proyek ini seharusnya meliputi pembangunan paving blok, gazebo, vertikal garden, dan drainase sesuai ukuran teknis yang ditetapkan. Namun, kondisi di lapangan jauh dari rencana awal.

Pemasangan paving blok dan pembangunan gazebo tidak ditemukan sama sekali. Begitu pula dengan vertikal garden yang seharusnya mempercantik kawasan. Selain itu, drainase yang dibangun di sekitar Gang Juma hanya memiliki lebar 36 sentimeter (cm), padahal dalam DED tercantum 42 cm.

Lampu penerangan jalan (PJU) juga hanya terpasang satu unit, berbeda jauh dari dokumen perencanaan yang mencantumkan lima unit. Bahkan, satu-satunya lampu yang ada ditemukan dalam kondisi berkarat.

Warga sekitar juga menyebutkan tidak ada pembangunan sumur resapan, tempat sampah, maupun Alat Pemadam Api Ringan (APAR) yang seharusnya disediakan dalam proyek tersebut.

Beberapa warga RT 02/04 mengungkapkan bahwa gapura lingkungan yang tercantum dalam proyek sudah ada jauh sebelum proyek penanganan kawasan kumuh dimulai.

“Gapura di sini sudah ada sebelum tahun 2020. Kami tidak tahu kalau ada pembangunan gapura baru dari proyek itu,” ujar salah satu warga.

Temuan tersebut memperkuat dugaan bahwa sebagian pekerjaan bersifat fiktif dan tidak dilaksanakan sebagaimana tercantum dalam dokumen proyek.

Kabid Permukiman Disperkimta, Anung Indra Kumara, bilang DED itu hanya pedoman. Jadi bisa diubah dalam pengerjaan baik penambahan atau pengurangan item pekerjaan.

"Dari sisi teknis, DED itu sebenarnya jadi pedoman kerja. Tapi dalam pelaksanaan bisa saja ada adendum [perubahan], baik penambahan atau pengurangan item pekerjaan. Asal tidak lebih dari batas tertentu, itu masih diperbolehkan," ujar Anung.

Anung juga bilang, bisa saja ada pengurangan volume serta pergeseran pekerjaan, karena kondisi di lapangan tidak memungkinkan untuk melakukan pekerjaan. Namun ia tidak menyebut batas maksimal perubahan.

"Misalnya di DED rencana paving 2.000 meter, tapi di lapangan ternyata hanya 1.500 meter karena kondisi. Maka bisa saja volume disesuaikan, atau digeser ke pekerjaan lain yang masih dalam satu kawasan," jelasnya.

IKA SAKTI: Bau Korupsi dan Lemah Pengawasan

Koordinator Ikatan Alumni Sekolah Anti Korupsi (IKA SAKTI) Tangerang, Doni Nuryana, menilai proyek tersebut sarat dengan indikasi penyimpangan. Ia mendesak agar aparat penegak hukum segera turun tangan memeriksa pelaksanaan proyek yang menggunakan anggaran publik itu.

“Proyek ini menyimpan bau korupsi dan perlu segera diaudit. Ketidaksesuaian antara DED dan hasil pekerjaan adalah pelanggaran serius terhadap prinsip transparansi dan akuntabilitas,” ujar Doni kepada Tangerang Update.

Menurutnya, proyek bernilai hampir Rp2 miliar yang berlokasi hanya beberapa ratus meter dari kantor Wali Kota Tangsel, seharusnya menjadi contoh pelaksanaan pembangunan yang akuntabel. Bukan malah menimbulkan kecurigaan publik.

“Kalau proyek yang dekat pusat pemerintahan saja seperti ini, bagaimana dengan proyek yang jauh dari pantauan? Ini pertanyaan besar soal integritas dan pengawasan,” tegasnya.

Doni juga menyoroti pola lama dalam proyek pemerintah daerah yang kerap menggunakan alasan adendum kontrak untuk menutupi ketidaksesuaian pekerjaan di lapangan.

“Jangan bersembunyi di balik adendum. Seharusnya ada analisis awal yang matang, bukan DED yang cuma jadi pelengkap administrasi,” kritiknya.

Kasus dugaan penyimpangan proyek penanganan kawasan kumuh di Serua ini menjadi cerminan lemahnya pengawasan terhadap proyek pemerintah di tingkat daerah.

IKA SAKTI menegaskan pentingnya audit fisik dan keuangan secara menyeluruh agar potensi penyalahgunaan anggaran dapat diungkap secara terbuka.

“Kalau benar ada pekerjaan yang tidak sesuai DED atau bahkan fiktif, ini bukan lagi masalah administrasi, tapi indikasi korupsi yang harus diusut tuntas,” pungkas Doni.

Berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana diubah dengan Perpres 12 Tahun 2021, adendum kontrak hanya diperbolehkan untuk penyesuaian minor, seperti perubahan volume kecil atau kondisi teknis lapangan, dengan batas maksimal 10 persen dari nilai kontrak awal.

Jika perubahan nilai atau volume pekerjaan melebihi 10 persen, maka secara hukum harus dilakukan melalui kontrak baru, bukan dengan adendum.

Ketentuan ini diatur dalam Pasal 54 ayat (6) Perpres 16/2018, yang menyatakan bahwa “penambahan nilai kontrak akibat perubahan pekerjaan tidak boleh melebihi 10% (sepuluh persen) dari nilai awal kontrak.”

Artinya, setiap perubahan besar di luar ketentuan tersebut berpotensi menyalahi prinsip transparansi dan dapat menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau dasar penyelidikan aparat penegak hukum.

Baca juga artikel terkait TINDAK PIDANA KORUPSI atau tulisan lainnya dari Tangsel_Update

tirto.id - Flash News
Kontributor: Tangsel_Update
Penulis: Tangsel_Update
Editor: Siti Fatimah