tirto.id - Salah satu manusia terlucu dalam sejarah manusia, Mark Twain, suatu ketika pernah berkata, "Baju adalah yang membuat kita menjadi manusia, orang telanjang hanya punya sedikit atau bahkan nihil pengaruh dalam masyarakat."
Sejak diperkirakan pertama kali dibuat pada 500.000 tahun lalu, pakaian mengalami transformasi panjang. Baik dari segi bahan, gaya, maupun fungsi. Melongok pakaian dari bahan bisa jadi adalah salah satu cara menyimak kemajuan dan transformasi di bidang teknologi pakaian. Pada awal kemunculannya, pakaian dibuat dari daun, rumput, juga kulit binatang. Di era kiwari, teknologi yang makin maju memungkinkan umat manusia membuat baju dengan berbagai fungsi tambahan. Mulai menyerap keringat, hingga anti kusut.
Baju era modern terbuat dari benang yang disusun dari serat. Ada dua kelompok serat dalam industri pakaian: alami dan sintetis. Saat ini lebih dari 60 persen konsumsi serat global terdiri dari serat sintetis yang disusun dari partikel minyak bumi, seperti poliester dan spandex. Sementara serat alami dari kapas hanya digunakan sebanyak 25 persen, wol sekitar 1 persen, dan serat alami lainnya (rami, linen, dll) sebanyak 5 persen. Sisanya sekitar 6,6 persen merupakan serat selulosa berbasis kayu, misalnya rayon.
Teknik pembuatan pakaian modern ini punya dua sisi mata uang. Dari segi teknologi, pembuatan pakaian makin mudah dan murah, serta banyak yang lebih nyaman dengan fungsi-fungsi tambahan. Namun bahan pakaian ini juga sebaiknya membuat kita waspada.
Baik serat alami maupun buatan sama-sama punya kekurangan. Serat sintetis bisa menghalangi keringat secara alami. Akibatnya racun yang seharusnya dikeluarkan lewat keringat jadi terhalang. Sedangkan tumbuhan penghasil serat ternyata lazim menggunakan pestisida. Bahan kimia tersebut dapat terserap lewat kulit saat pakaian dikenakan. Berlanjut pada proses pewarnaan dan pengelantangan, selain pewarna, ada juga zat penguat warna (mordant), zat anti kerut, anti tungau, anti air, dan anti panas ditambahkan pada proses ini.
Selain itu, dalam derajat tertentu, banyak bahan pakaian maupun pewarna yang mengandung senyawa berbahaya. Bahan pewarna azo, misalnya. Ia bisa melepaskan bahan kimia bernama amina aromatik ketika dipakai. Zat ini bersifat toksik, alergan, dan menyebabkan kanker. Penelitian di tahun 2014 yang dilakukan Brüschweiler BJ dkk menemukan bahwa 17 persen sampel pakaian mengandung amina aromatik dalam proses pewarnaan.
Sekarang coba tilik lemari Anda, pernahkah membeli pakaian dengan kelebihan anti kerut, anti jamur, anti air/keringat dan anti-anti lainnya?
Ternyata mereka punya kandungan tambahan berupa PFC dan EPA. Kedua zat ini diyakini dapat mengganggu sistem hormon, mengurangi fungsi kekebalan tubuh, dan bersifat karsinogenik. Untuk menghasilkan pakaian yang mengandung anti tungau, tahan noda, dan api juga ditambahkan zat bernama PBDE.
PBDE sangat beracun karena dapat berakumulasi dalam jaringan setiap organisme. Gangguan tiroid paling umum terjadi karena PBDE (Bromide) meluruhkan iodine dan membuat tubuh kekurangan zat tersebut. Dampak kesehatannya mungkin tak akan Anda rasakan ketika mengenakan pakaian. Namun akumulasi ragam zat kimia pakaian akan diserap tubuh dan memengaruhi kinerja hati dalam menetralisir racun.
Pakaianmu Bisa Merusak Lingkungan
Ancaman di balik pakaian Anda tak berhenti di situ. Selain berbahaya bagi kesehatan, pakaian seperti poliester dan akrilik juga menumpahkan ribuan serat plastik setiap kali dicuci. Mereka turut menyumbang polusi plastik ke laut dan merusak ekosistem di dalamnya.
Rata-rata dalam setiap 6 kg beban cucian di Inggris, air cuciannya mengandung 140 ribu serat dari campuran katun poliester, hampir setengah juta serat poliester, dan lebih dari 700 ribu serat dari akrilik. Akibatnya, fragmen dan serat-serat tersebut ditemukan di permukaan dan dalam rantai makanan ekosistem laut.
Pada tahun 2010 dari Badan Perlindungan Lingkungan Amerika melaporkan dari 13,1 juta ton produk tekstil yang dibuang, hanya 15 persen bisa daur ulang. Limbah tekstil mengisi 126 meter kubik ruang setiap tahunnya, meningkatkan jumlah gas metana dan mencemari air bersih sebanyak 17-20 persen. Di Cina, lebih dari 20 persen air tanah dan 40 persen air permukaan terkontaminasi dari manufaktur tekstil.
Masih menurut laporan yang sama, setiap tahun diperkirakan 10-15 persen zat warna dilepaskan ke lingkungan. Jumlah tersebut setara dengan 280 ribu ton limbah beracun dan berbahaya. Yang lebih memprihatinkan sebanyak 43 persen kapas untuk tekstil juga berasal dari organisme hasil rekayasa genetika. Untuk tumbuh, mereka membutuhkan bahan kimia lebih banyak dan lebih kuat sehingga makin mengurangi kualitas tanah.
Lalu apa langkah yang bisa dilakukan untuk mengurangi dampak berbahaya pakaian? Pertama, cari tahu asal usul pakaian, misal, pakaian yang dicelup di Kanada memiliki undang-undang perlindungan lingkungan yang melarang zat berbahaya digunakan dalam industri tekstil. Undang-undang serupa juga banyak diterapkan di beberapa negara Eropa, Amerika Serikat, dan beberapa negara berkembang. Sebaliknya, hindari pakaian yang dicelup di Cina karena punya kandungan zat kimia tinggi.
Kedua, cari pakaian dengan label OEKO-TEX® STANDARD 100. Pakaian dengan label tersebut telah lolos sertifikasi tidak beracun laboratorium. Sistem sertifikasinya sendiri disusun oleh Swiss pada tahun 1992. Ketiga, pilih pakaian dengan warna asli serat dan belum dicelup.
Keempat, ini yang menarik: belilah pakaian bekas. Zat berbahaya dalam pakaian bekas sudah jauh berkurang selama digunakan pemilik sebelumnya. Selain hemat, cara ini merupakan salah satu solusi ekologi untuk mengurangi volume limbah tekstil.
Cara terakhir, mulailah hindari pakaian yang menjamin perawatan mudah dan tahan beragam kerusakan dan beralih ke pakaian dari serat alami seperti rami, katun organik, sutra dan wol. Pastikan bahwa seratnya organik dan tidak mengandung pestisida.
Jika kesulitan menerapkan pilihan terakhir, Anda bisa melirik label yang berdiri di bawah naungan Consumers Against Toxic Apparel (CATA). Mereka merupakan gabungan dari perusahaan kecil yang memproduksi pakaian aman, organik, dan alami. CATA terbentuk guna mempermudah konsumen mencari dan membeli pakaian organik yang trendi dan penuh warna.
Produk yang mereka hasilkan tak sekadar terbuat dari serat alami saja. Namun tumbuhan penghasil seratnya juga tak menggunakan pestisida, herbisida, dan pupuk sintetis. Untuk mendapatkan label organik, serat-serat ini harus melalui sertifikasi ketat dari pihak ketiga. Serat dari tumbuhan liar – yang tidak diawasi pertumbuhannya – tidak bisa diklasifikasikan organik karena kekhawatiran tercemar zat kimia di sekitarnya.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Nuran Wibisono