tirto.id - Serbuk detergen yang beredar di pasaran Indonesia sangat beragam. Ada Rinso dari Unilever, Daia dan So Klin produksi Wings, Attack produksi Kao, dan masih banyak lagi. Meski merek yang beredar sudah sangat beragam, akan tetapi di beberapa daerah orang-orang Indonesia lebih sering menyebut detergen penghasil busa untuk mencuci pakaian sebagai: Rinso.
Di Indonesia, bisa dibilang Rinso menjadi nama generik bagi produk detergen untuk mencuci pakaian. Jika seorang ibu menyuruh anaknya “belikan Rinso ya, Nak!” maka detergen yang dimaksud belum tentu bermerek Rinso. Bisa bermerek Attack, So Klin, Daia atau yang lainnya. Rinso pun bernasib seperti Honda—untuk sebut sepeda motor, Sanyo—untuk pompa air listrik atau Aqua—untuk air mineral. Rinso menjadi generik bagi produk detergen di Indonesia.
Di Indonesia, Rinso termasuk merek top. Seperti juga sabun merek Lux dan pasta gigi Pepsodent. Hermawan Kertajaya dkk dalam buku Positioning, Diferensiasi dan Brand (2004), menyebut Rinso sebagai market leader detergen (pemimpin pasar detergen), dalam hal ini Indonesia.
“Dulu, Rinso hanya memiliki satu jenis saja untuk satu kebutuhan. Kini, kalau kita lihat, Rinso memiliki banyak sekali varian produk. Ada Rinso yang dikhususkan untuk menjaga agar warna pakaian tetap cemerlang, Rinso yang dikhususkan untuk proses mencuci dengan cepat, Rinso yang dikhususkan untuk mesin cuci, dan sebagainya,” tulis Hermawan Kertajaya dalam Strategi membidik Pasar Ibu (2005). Rinso hendak menjadi solusi mencuci bagi kaum ibu.
Pihak Unilever dalam situswebnya, melalui mengklaim “Rinso diluncurkan di Indonesia sebagai merek detergen pertama di negara ini.” Ketika pertama kali dirilis di Indonesia, Rinso adalah produk yang umum dipakai di Amerika, Inggris dan Australia sejak 1918.
Rinso, menurut David Harvey dalam West Browich Buses (2014), pertama kali diperkenalkan oleh Robert Spear Hudson. Dia membuka pabrik di Bank Hall, Liverpool, Inggris, pada 1875. Pada masa-masa itulah Rinso diperkenalkan. Perusahaan milik Robert Hudson mengeluarkan buku terbitan berjudul Rinso Works While You Sleep pada 1880. Judul cetakan itu, seperti jargon dan cara kerja Rinso yang diperkenalkan dalam iklan-iklan lawas Rinso: Rinso bekerja ketika kau terlelap. Detergen Rinso bekerja ketika pakaian direndam dalam air yang dilarutkan detergen.
Apa yang dibangun Robert Spear Hudson itu kemudian dijual anaknya, Robert William, kepada Lever Brother—yang belakangan jadi Unilever pada 1908. Produk ini lalu masuk ke Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru dan akhirnya masuk ke Indonesia juga.
Hans W. Wamsteker, dalam 60 Years Unilever in Indonesia 1933-1993 (1993), mencatat serbuk detergen Rinso di Indonesia diluncurkan pada tahun 1970 di bawah komando Unilever. Sejak 1933, menurut buku Perusahaan Indonesia Menghadapi Abad 21 (1997), Unilever punya pabrik di Angke, Jakarta. Rinso pernah ikut diproduksi di sana. Produk lain Unilever di Indonesia, selain Rinso adalah: Sunlight, Lux, Lifebuoy, Blue Band juga Pepsodent.
Dalam pemasarannya, menurut Hans W. Wamsteker, Rinso menggandeng presenter dan penyanyi kondang Kris Biantoro sebagai bintang iklan Rinso. Dalam iklan Rinso (1980), berdurasi sekitar 1 menit dan bisa ditemukan di Youtube, digambarkan Kris dan ibu-ibu membuktikan keampuhan Rinso. Jargon yang diusung Rinso di Indonesia adalah: Berani Kotor Itu Baik.
Iklan yang dibintangi Kris itu cukup sukses. Rinso pun menjadi brand yang kuat melekat di Indonesia. Namun, kisah sukses Rinso berbanding terbalik dengan kisah Kris. Sebagai bintang iklan Rinso, Kris Biantoro punya cerita yang cukup pahit. “Tujuh-belas tahun saya menampilkan barang yang satu ini, tetapi perolehan saya tak seberapa dibanding jumlah Rinso yang terjual di waktu yang sama,” aku Kris Biantoro dalam autobiografinya, Manisnya Ditolak: Sebuah Autobiografi (2004).
Kris membandingkan dirinya dengan si bomseks seksi asal Perancis, Brigitte Bardot, yang jadi bintang iklan produk Unilever lain, yakni sabun mandi Lux. Bardot jadi bintang iklan yang ditayangkan di kawasan Eropa. “Ia (Bardot) dibayar puluhan juta dolar. Saya jadi bintang Rinso untuk Indonesia, sebuah kawasan yang cacah penduduknya tak kalah dengan Eropa, tetapi saya hanya mendapat sekian juta rupiah,” aku Kris.
Kris hanya pasrah dan berharap pihak Unilever di Indonesia tergerak hatinya. Berhubung tak ada perjanjian legal, seperti halnya kontrak iklan lain, Kris akhirnya hanya bisa gigit jari dan mengaku: “Saya mencatat kontrak dengan Unilever (dalam iklan Rinso) merupakan kontrak terburuk dan terpahit dalam sejarah saya membintangi iklan.”
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti