tirto.id - Beberapa waktu lalu warganet dikejutkan oleh pemberitaan pelarangan penggunaan cadar di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga (UIN), Yogyakarta. Seperti yang diberitakan Tirto, Yudian Wahyudi, Rektor UIN, mengatakan bahwa mahasiswa bercadar ini patut diduga menganut Islam “yang berlawanan dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, dan Islam moderat di Indonesia”.
Sebagian warganet berpendapat aturan tersebut diskriminatif. Sementara itu, pendapat lainnya menganggap larangan bercadar adalah wajar belaka, sesuai ketentuan berpakaian pada umumnya di kampus-kampus.
Sebagaimana dilansir Antara, Jimly Asshiddiqie, Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), mengatakan mahasiswa wajib mengikuti ketentuan berpakaian di perguruan tinggi. Jimly menegaskan bahwa HAM dan keyakinan agama mesti diletakkan pada tempatnya.
"Ini harus dipisahkan antara HAM dan kewajiban prosedural sebagai mahasiswa makanya kita serahkan ke perguruan tinggi masing-masing," tutur Jimly. Ia juga mencontohkan bahwa seseorang punya hak untuk berbicara politik, tetapi tidak setelah ia bergabung, misalnya, dalam TNI.
Di luar UIN, berbagai institusi pendidikan tinggi di Indonesia kerap mencampuri cara berpenampilan mahasiswa. Dua tahun lalu, Universitas Negeri Semarang (Unnes) mewajibkan mahasiswa sejak angkatan 2016 memakai seragam sebagai "penguat karakter."
Sementara itu, laman Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara (Untar) dengan detail menjelaskan pakaian macam apa yang harus dikenakan para mahasiswanya. Tertulis dalam aturan tersebut, mahasiswa boleh mengenakan atasan kemeja berlengan pendek atau lengan panjang, kaos berlengan pendek atau pandang, baju berkerah berlengan pendek atau panjang dengan bawahan celana panjang. Adapun mahasiswi Untar dapat menggunakan kemeja berlengan, blouse berlengan, kaos berlengan, baju berkerah berlengan, dengan bawahannya celana panjang atau rok minimal sebatas lutut.
Dari Orba hingga Hippie
Imbauan atau bahkan regulasi ketat seputar cara berpakaian atau berpenampilan pelajar bukan fenomena baru di Indonesia. Puluhan tahun lalu anak muda laki-laki dilarang berambut panjang alias gondrong, sebagaimana dituturkan oleh Dilarang Gondrong Praktik Kekuasaan Orde Baru Terhadap Anak Muda 1970an yang terbit tahun 2010. Buku karangan Aria Wiratma Yudhistira ini mengisahkan bagaimana Orde Baru melarang pelajar, mahasiswa, sampai pesepakbola untuk memanjangkan rambut. Pemerintahan Soeharto mendisiplinkan anak muda saat itu lewat razia dan pemberlakuan denda. Petugas instansi publik pun enggan melayani kaum laki-laki berambut panjang.
Kesopanan dan kerapihan, menurut Aria Wiratma Yudhistira, ditafsirkan berdasarkan pemahaman penguasa. Kampus sebagai arena akademis dan ruang berpikir bebas semestinya tidak mengeluarkan aturan yang mengurusi penampilan civitas akademica.
“Mungkin kalau bicara soal norma dari institusi kita bisa memahami apa yang dilakukan lembaga itu. Tapi kalau dipikir lebih luas, pembatasan-pembatasan itu agak menghalangi atau membatasi,” ucapnya ketika dihubungi Tirto.
Kecenderungan kampus mengurusi penampilan mahasiswanya juga pernah terjadi di negeri Paman Sam pada 1970.
Dalam “Flaunting the Freak Flag: Karr v. Schimdt and the Great Hair Debate in American High Schools, 1965-1975” (2004), Gael Graham menceritakan kisah Chesley Karr, murid SMA Coronado di El Paso, Texas yang harus berurusan dengan pihak sekolah gara-gara keputusannya memanjangkan rambut. Ia sengaja membiarkan rambutnya tumbuh sebagai bentuk dukungan pada “gerakan hippie" dan "perdamaian”.
Ketika masuk sekolah, guru olahraganya tidak mengizinkan Karr mengikuti pelajaran. Dewan sekolah bahkan menyuruh bocah 16 tahun tersebut memangkas rambutnya. Karena keberatan, Karr membawa persoalan ini ke pengadilan.
Kebebasan berekspresi jadi dasar bagi Karr menggugat pihak sekolah. Sebaliknya, kesopanan menjadi salah satu alasan pihak sekolah untuk menyalahkan Karr selama persidangan berlangsung. Schmidt, kepala sekolah SMA Coronado, berpendapat bahwa aturan berpakaian dibutuhkan untuk "menjaga kesopanan siswa dalam kelas."
Saat itu, Amerika masih perang dengan Vietnam. Ribuan pemuda AS dikirim ke seberang samudra dan banyak di antaranya mati di Vietnam. Dalam konteks itu, gondrong adalah bentuk perlawanan terhadap segala hal yang dipandang lekat dengan otoritas dan konservatisme moral. Banyak di antara pemuda saat itu bahkan merusak tubuhnya sendiri dengan narkoba agar tak direkrut untuk berperang.
Selain soal rambut, sekolah-sekolah di AS saat itu juga mengatur cara berpakaian siswa. Menurut Graham, aturan ini bertujuan untuk mengurangi perbedaan kelas sosial antarmurid. Selain itu, regulasi tersebut diharapkan dapat mencegah siswa kelas menengah bergaya melebihi kemampuan.
Antara Aturan dan Imbauan
Kesopanan juga menjadi alasan bagi beberapa universitas di Indonesia untuk mengeluarkan ketentuan cara berpakaian di lingkungan kampus. Universitas Negeri Yogyakarta adalah salah satunya. Rektor UNY Sutrisna Wibawa mengakui bahwa para petinggi universitas mengeluarkan aturan tertulis yang isinya mengatur cara berpakaian mahasiswa.
"Ketentuan berpakaian di UNY tidak dibuat secara khusus, yang penting bebas, rapi, dan dalam batas kewajaran. Baik di level universitas maupun fakultas aturan berlaku serupa," jelas Sutrisna ketika dihubungi Tirto.
Menurut Sutrisna, kewajaran yang dimaksud adalah batas-batas kesopanan dan kepantasan menurut "budaya Timur". Ia mengatakan bahwa kaos oblong dan sandal jepit tak bisa ditolerir dalam aktivitas perkuliahan. Selain itu, mahasiswi wajib mengenakan pakaian yang menutup aurat. “Kita juga menghargai pakaian yang berdasarkan norma agama. UNY 'kan perguruan tinggi negeri jadi harus mengakomodasi keragaman,” ujarnya.
Menurutnya, berpakaian sesuai aturan kesopanan perlu dilakukan sebab aspek kepribadian juga sopan santun turut dibangun di kampus selain intelektualitas. “Jadi kampus membangun kognitif, afektif, dan psikomotornya. Kampus itu juga membangun peradaban,” terang Sutrisna tanpa menjelaskan peradaban macam apa yang dimaksud.
Kendati terdengar klise, keterangan Sutrisna tentang "budaya Timur" ini menarik. Pada tahun 1960an-1970an, para pemuda hippie—yang gandrung akan hal-hal yang berbau Timur, khususnya India—kerap dituduh kalangan konservatif Amerika sebagai biang keladi "keruntuhan budaya Barat" yang menurut mereka adiluhung, religius, dan santun. Jadi, entah mana yang duluan, baik yang merasa 'Timur' maupun 'Barat' saling menyalahkan satu sama lain atas nama 'kesopanan' dan 'peradaban'.
Sejumlah banner yang menginstruksikan cara berpakaian mahasiswa dapat ditemukan di Fakultas Bahasa dan Seni Budaya UNY. “Kita diimbau untuk pakai celana panjang dan pakai hem atau kaos berkerah. Di fakultas saya FBS ada beberapa banner tentang aturan itu,” ujar Kuki kepada Tirto. Bagi Kuki, aturan itu tak masuk akal, sebab mahasiswa tak bisa dinilai hanya dari pakaiannya. “Tidak ada korelasi antara gaya berpakaian dengan, misalnya kesopanan dan kejujuran seseorang,” katanya.
Menurutnya, mahasiswa tidak bisa diseragamkan dengan cara berpakaian tertentu karena tiap orang mempunyai kenyamanan masing-masing. “Jika (cara berpakaian) itu menimbulkan pikiran negatif, salahkan yang punya pikiran. Bukan gaya pakaiannya,” ujarnya.
Humas Universitas Indonesia (UI) Rifelly Dewi mengatakan bahwa kampusnya tidak mengeluarkan aturan melainkan imbauan—yang telah disampaikan sejak kuliah perdana. “Cara berpakaian ada dalam etika mahasiswa bahwa (mereka) menggunakan pakaian yang baik dan sopan. Karena kita kan punya norma-norma, ya, norma-norma ketimuran. Misalnya, kita menggunakan rok mini. Itu 'kan tidak sopan,” aku Rifelly kepada Tirto.
Menurut Rifelly, selalu ada norma yang berlaku, sebebas apapun aktivitas akademik. “Makanya bentuknya imbauan. Kan enggak enak ada teman di kelas pakai sandal jepit seperti mau ke toilet. Atau presentasi pakai sandal. Di universitas 'kan proses pendidikan jadi saya rasa mahasiswa harusnya paham dengan norma-norma seperti itu,” ujarnya.
Hal senada diutarakan Frista Nanda, mahasiswa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI. Selama empat tahun Frista Nanda kuliah di UI, ia mengatakan tidak ada aturan yang secara spesifik mengatur penampilan mahasiswa. “Aku 'kan (kuliah) di FIB dan enggak ada aturan yang spesifik. Imbauan yang ada dari dosen sendiri. Misalnya, dosen bilang pakaian harus sopan dan sandal enggak boleh. Dari mulut ke mulut saja,” ujarnya ketika dihubungi Tirto.
Namun menurut Frista, aturan tersebut pernah ada dan disosialisasikan dalam bentuk banner di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UI. Dalam banner itu, orang yang mengenakan kaos dan memakai rok di atas lutut dianggap salah sedangkan yang memakai pakaian berkerah dipandang benar. Karena mengundang pro dan kontra, pihak dekanat akhirnya mencabut banner tersebut.
“Definisi sopan memang berbeda-beda tiap orang. Tapi paling tidak aku enggak masalah kalau imbauan tentang cara berpakaian sopan berdasarkan standar universal. Misal tidak pakai tank top atau daleman seperti di pantai,” katanya.
Dekan Fisipol UGM Erwan Agus Purwanto menjelaskan bahwa pihaknya tidak membuat aturan yang ketat soal standar berpenampilan di kampus. “Kami ingin memberikan kebebasan agar mahasiswa terbiasa berpikir bebas dan membuat keputusan mandiri. Kalau mau menghadap dosen pembimbing, mana yang menurutnya pas agar tidak membuat repot ketika berinteraksi dengan dosennya. Kalau bersosialisasi dengan temannya harus berpakaian seperti ini. Jadi mereka terbiasa membuat penilaian mandiri yang cocok seperti apa,” katanya pada Tirto.
Menurut Erwan, regulasi berpakaian mungkin berhubungan dengan proyeksi pekerjaan setelah lulus. “Tapi kalau di Fisipol lulusan profesinya bermacam-macam, dan kami mendorong agar mahasiswa dilihat sebagai orang yang sudah dewasa dan tahu cara memposisikan diri. Prinsipnya, mahasiswa Fisipol harus kreatif dan inovatif, dan tidak hanya berkutat urusan pakaian saja,” jelasnya.
Lintang Cahya, mahasiswa Fisipol UGM, mengatakan kepada Tirto bahwa ketentuan berpenampilan di UGM adalah sebatas rapi, memakai sepatu, dan mengenakan kaos berkerah. “Di Fisipol sendiri gaya pakaiannya cakupannya luas banget. Ada kelompok yang biasa pakai kaos dan jeans robek-robek, ada yang sehari-hari pakai cadar,” ujarnya. Menurut Lintang, pakaian berhubungan dengan proses belajar dan kualitas pendidikan. Makanya, mahasiswa bebas memakai baju apa saja selama sopan dan tidak mengganggu atau menyinggung orang lain.
“Institusi pendidikan, apalagi universitas, seharusnya enggak terlalu mengurusi hal-hal kecil seperti pakaian mahasiswa, selama masih sesuai nilai-nilai sosial,” pungkasnya.
Penulis: Nindias Nur Khalika
Editor: Windu Jusuf