tirto.id - Pandemi COVID-19 menyebabkan hampir seluruh negara di dunia dilanda kelesuan ekonomi. Kondisi ini tidak seperti krisis-krisis ekonomi sebelumnya, yang biasanya hanya menerpa beberapa kawasan.
Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, Amerika Serikat, Kanada dan banyak negara-negara maju lainnya kini harus menghadapi resesi terburuk sejak beberapa dekade terakhir. Indonesia, yang ekonominya pernah selamat dari badai resesi akibat krisis finansial global 2008, membalikkan semua optimisme yang dibangun untuk tahun 2020.
Saat membacakan Nota Keuangan RAPBN 2020 pada 16 Agustus 2019, Presiden Joko Widodo dengan percaya diri mematok angka pertumbuhan ekonomi 5,3% atau sedikit lebih baik dibandingkan dengan capaian 2019.
Target itu dianggap terlalu ambisius di tengah perang dagang antara Amerika Serikat dan China yang masih memanas dan mengganggu perdagangan internasional. Namun, pemerintahan Jokowi tetap optimistis pertumbuhan ekonomi bertahan di angka 5 persen. Investasi dan ekspor akan diupayakan untuk membantu mendorong pertumbuhan ekonomi. Keyakinan itu tetap dijaga, bahkan saat pandemi COVID-19 mulai merebak di China pada pengujung 2019.
Saat virus Corona menyebar di China, Pemerintah Indonesia masih tenang-tenang saja, bahkan berharap bisa menggaet turis-turis asing yang untuk sementara menghindari China. Belum ada revisi atas target-target APBN 2020, karena semua indikator ekonomi masih dalam koridor.
Pada 2 Maret 2020, pemerintah akhirnya mengkonfirmasi kasus Corona pertama di Indonesia. Penelusuran berikutnya menunjukkan penyebaran virus yang cepat. Pada 10 April, Jakarta menjadi wilayah pertama yang menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Wilayah-wilayah lain kemudian mengikuti. Sejak itu semua berubah dengan cepat.
PSBB membuat aktivitas perekonomian terhenti. Mobilitas manusia dibatasi, sektor usaha harus menutup sebagian aktivitasnya, bahkan ada yang harus tutup total. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi yang pada kuartal I masih tumbuh 2,97%, pada kuartal II terkontraksi hingga 5,32%. Kuartal II merupakan puncak dari semua kelesuan ekonomi karena hampir seluruh sektor usaha ditutup untuk mencegah peredaran virus.
Memasuki kuartal III, saat PSBB mulai dilonggarkan, kegiatan ekonomi mulai menggeliat. Kontraksi ekonomi mulai berkurang menjadi 3,49%. Dengan catatan dua kuartal berturut-turut kontraksi, maka ekonomi Indonesia secara teknis masuk dalam resesi.
Pada kuartal IV, ekonomi diperkirakan masih akan mengalami kontraksi 1,6% hingga 0,6%, menurut perhitungan pemerintah. Itu artinya, Indonesia diperkirakan menutup tahun 2020 pada angka pertumbuhan ekonomi minus.
Selama 2020, pemerintah tercatat tiga kali mengubah proyeksi pertumbuhan ekonomi. Pada Maret-April, pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi di kisaran -0,4%-2,3%. Pada Mei-Juni, perkiraan lebih pesimistis di angka minus 0,4% hingga 1%. Setelah melihat berbagai perkembangan, pada September-Oktober, proyeksi pertumbuhan kembali direvisi menjadi kontraksi 1,7%-0,6%.
Indikator-Indikator yang Memburuk
Pertumbuhan ekonomi memburuk karena daya beli masyarakat tergerus signifikan akibat pandemi. Padahal, konsumsi rumah tangga selama ini menjadi tumpuan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pada 2019, konsumsi rumah tangga memberikan kontribusi hingga 57% pada pertumbuhan ekonomi. Kini, pandemi membuat jutaan pekerja harus kehilangan pekerjaan atau mengalami penurunan pendapatan.
Daya beli masyarakat turun terutama karena berkurangnya penghasilan, di samping karena terbatasnya aktivitas. Di tengah semua ketidakpastian, masyarakat terutama golongan menengah ke atas mengerem pembelian barang-barang yang dianggap tidak pokok.
Penghasilan masyarakat menurun karena pandemi menyebabkan sebagian besar sektor usaha mengurangi aktivitasnya atau tutup total. Angka pengangguran pun meningkat. Data BPS menunjukkan, pandemi berpengaruh pada 29,12 juta orang angkatan kerja. Pekerja setengah penganggur dan pekerja paruh waktu naik masing-masing 3,77% dan 3,42%.
Angka pengangguran bertambah hingga 2,67 juta orang. Terdiri dari 2,36 juta angkatan kerja baru yang tak terserap pasar tenaga kerja dan 310 ribu dari penurunan lapangan kerja. Dengan demikian, angka pengangguran secara total mencapai 9,77 juta orang.
Sementara salah satu indikator dari lemahnya daya beli terlihat dari sisi penjualan riil tercatat masih mengalami kontraksi hingga kuartal ketiga.
Indeks Penjualan Riil (IPR) September tercatat mengalami kontraksi 8,7%, lebih baik dibandingkan kontraksi pada Agustus di angka 9,2%. Perbaikan penjualan eceran terjadi pada kelompok makanan, minuman, dan tembakau yang mampu tumbuh positif dalam dua bulan terakhir. Ada pula perbaikan pada subkelompok Sadang dan Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.
Penjualan otomotif yang juga menjadi salah satu indikator, mengalami kemerosotan tajam. Data Gaikindo menunjukkan, penjualan mobil dari Januari hingga Oktober hanya 453.525 unit, atau anjlok hingga 46,7%. Sementara penjualan sepeda motor dari Januari hingga September hanya 2.876.514 unit atau turun hingga 41,5%.
Indeks Keyakinan Konsumen (IKK), yang merupakan indikator konsumen pesimistis atau optimistis terhadap perekonomian masih berada di level pesimis. Pada Oktober, IKK turun lagi menjadi 79, lebih rendah dibandingkan September 83,4. IKK sejak April berada di level pesimis. IKK terburuk terjadi pada Mei, pada angka 77,8, setelah itu merangkak naik sebelum akhirnya turun lagi pada Oktober.
Dari sisi aktivitas manufaktur, hingga Oktober belum menunjukkan perbaikan berarti. Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia pada Oktober hanya 47,8 poin. Meski sudah membaik dibandingkan PMI September di level 47,2 poin, akan tetapi masih rendah dari indeks manufaktur PMI global di angka 53.
Indeks PMI belum bisa kembali ke titik 50 poin, yang merupakan satu indikator perusahaan manufaktur kembali berekspansi karena mengalami peningkatan penjualan yang berakibat pada peningkatan produksi. Selama pandemi, PMI pernah mencapai level terburuk dengan skor hanya 27,5. Perbaikan sektor manufaktur akan menentukan pemulihan ekonomi.
Sejalan dengan aktivitas perekonomian yang belum pulih, penyaluran kredit merosot tajam. Pada Oktober, kredit bahkan mengalami kontraksi 0,47% secara year on year. Penyebab utama kontraksi kredit adalah kontraksi pada kredit modal kerja (KMK). Per Oktober, KMK mengalami kontraksi 2,44%. Sementara kredit lain mulai membaik seperti kredit investasi yang tumbuh 4,03%, kredit konsumsi 0,75%.
Sementara Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan mengalami kenaikan, yang mencerminkan sikap kehati-hatian di dalam konsumsi masyarakat. Total DPK perbankan mengalami kenaikan 12,88%, dengan simpanan Giro paling tinggi pertumbuhannya hingga 24,54%.
Meski demikian, rasio kredit bermasalah atau NPL perbankan terjaga dengan NPL Gross 3,15% dan NPL Net 1,07%. CAR terjaga di 23,39%.
Upaya Menyelamatkan Ekonomi
Dengan konsumsi masih lemah, investasi masih kontraksi, dan ekspor-impor yang lesu, maka praktis perekonomian kini bertumpu pada belanja pemerintah.
Untuk mengatasi dampak pandemi, pemerintah memang membelanjakan dananya secara besar-besaran. APBN 2020 direvisi hingga dua kali, menyesuaikan perkembangan COVID-19 di tanah air. Revisi pertama berdasarkan perpres 54/2020, revisi kedua berdasarkan Perpres 72/2020.
Berdasarkan revisi terakhir yakni Perpres 72/2020, pendapatan negara ditetapkan sebesar Rp1.699,9 triliun, dengan belanja negara sebesar Rp2.739,2 triliun. Dengan demikian, defisit sebesar Rp1.039,2 triliun atau 6,34% PDB, yang akan ditutup dari pembiayaan negara.
Sebelumnya, sesuai Perpres 54/2020, pendapatan negara ditetapkan sebesar Rp1.760,9 triliun, dengan belanja negara Rp2.613,8 triliun, sehingga defisit sebesar Rp852,9 triliun.
Pendapatan negara berkurang karena sejumlah insentif perpajakan yang diberikan yakni: PPh 21 ditanggung pemerintah, pembebasan PPh 22 dan PPN Impor (alat kesehatan), serta percepatan restitusi PPN. Sementara belanja negara ditambah untuk menampung tambahan belanja sekitar Rp125 triliun yang telah dialokasikan dalam Perpres 54/2020 yakni untuk subsidi UMKM dan IJP UMKM, perpanjangan bansos tunai dan diskon listrik, tambahan DID dalam rangka PEN, dan belanja penanganan COVID lainnya.
Pemerintah juga menganggarkan PEN hingga Rp695,2 triliun. Namun, penyerapannya belum maksimal. Per 25 November, realisasinya baru mencapai Rp431,54 triliun (62,1%). Misalnya untuk kesehatan Rp97,90 triliun baru terealisasi Rp40,32 triliun, perlindungan sosial Rp233,69 triliun terealisasi Rp207,80 triliun, sektoral K/L Pemda Rp65,97 triliun terealisasi Rp65,97 triliun, dukungan UMKM Rp115,82 triliun terealisasi Rp98,76 triliun, insentif usaha Rp120,6 triliun baru terealisasi Rp46,40 triliun, dan pembiayaan korporasi Rp61,2 triliun baru terealisasi Rp 2 triliun.
Memasuki kuartal III, semua komponen pertumbuhan ekonomi mulai membaik dengan dorongan stimulus fiskal untuk penanganan COVID-19 dan pemulihan ekonomi nasional.
Konsumsi rumah tangga yang sempat kontraksi 5,5%, sedikit membaik dengan kontraksi sebesar 4%, yang didorong oleh belanja perlindungan sosial. Sementara kelompok menengah atas masih menunda konsumsi, yang menyebabkan masih terjadi kontraksi.
Konsumsi pemerintah tumbuh pesat dari kontraksi 6,9% pada Q2 menjadi tumbuh 9,8% pada Q3. Investasi juga sedikit membaik dari kontraksi 8,6% menjadi 6,5%. Ekspor juga membaik dari kontraksi 11,7% menjadi kontraksi 10,8%. Namun, impor masih memburuk dengan kontraksi yang lebih besar dari 17% menjadi 21,9%.
“Jika dibanding banyak negara G-20 dan ASEAN, penurunan pertumbuhan ekonomi dan kenaikan defisit Indonesia terhitung moderat,” jelas Menkeu Sri Mulyani dalam paparannya, Selasa (1/12/2020).
Indonesia Tak Sendiri
Indonesia tidak sendiri dalam menghadapi dampak pandemi ini. Hampir seluruh negara di dunia kini sedang melawan dampak pandemi. Sama halnya dengan Indonesia, negara-negara di seluruh dunia juga harus menyisihkan dana yang cukup besar untuk mengatasinya, baik dari sisi fiskal ataupun moneter. IMF mencatat, aksi fiskal menelan dana hingga 12 triliun dolar AS, sementara aksi moneter menelan dana hingga 7,5 triliun dolar AS.
Pandemi juga diperkirakan melemahkan pertumbuhan ekonomi. Pada Oktober, IMF memperkirakan PDB dunia akan mengalami kontraksi 4,4% pada 2020. Perkiraan itu lebih baik dibandingkan proyeksi IMF pada Juli 2020, yang memperkirakan pertumbuhan ekonomi global akan mengalami kontraksi hingga 4,9%. Revisi dilakukan setelah melihat PDB pada kuartal kedua yang ternyata lebih baik dari perkiraan, dan proses pemulihan pada kuartal ketiga berjalan sesuai dengan proyeksi.
Pada 2021, IMF memperkirakan akan ada pemulihan dengan pertumbuhan diperkirakan sebesar 5,2%.
Bank Dunia menyebut resesi global pada 2020 ini merupakan yang terburuk sejak Perang Dunia kedua. Saat itu, ekonomi global mengalami kontraksi hingga 15,4%. Tahun 2020, ekonomi dunia diprediksi mengalami kontraksi hingga 6,2%. Ini artinya jauh lebih buruk ketimbang saat krisis finansial global, saat ekonomi terkontraksi "hanya" 2,9%.
Pandemi sangat berpengaruh pada pasar tenaga kerja dunia. ILO memperkirakan pendapatan buruh secara global turun hingga 11 persen atau setara 3,5 triliun dolar AS pada kuartal I-2020. Akibatnya, sekitar 150 juta orang bisa masuk ke kemiskinan ekstrem pada 2021, menurut perkiraan Bank Dunia.
Kondisi pasar tenaga kerja memang sangat terpengaruh. Survei Bank Dunia terhadap UMKM di negara-negara berkembang, menunjukkan besarnya dampak pandemi. Survei dilakukan pada Mei-Agustus 2020 di 51 negara, dengan 100.000 responden dari kalangan pebisnis. Hasilnya menunjukkan, sebanyak 84 persen responden mengalami penurunan penjualan jika dibandingkan 2019. Penurunan penjualannya secara rata-rata sebesar 49 persen. Usaha mikro dan kecil (jumlah pekerja kurang dari 20) mengalami penurunan penjualan lebih dari 50%, sementara perusahaan lebih besar (lebih dari 100 pekerja) penjualannya turun kurang dari 40%.
Bisnis-bisnis yang terkait pariwisata terkena dampak paling parah. Kurang dari 20% perusahaan yang melakukan PHK. Sebagian besar, sekitar 64%, melakukan penyesuaian upah dengan mengurangi jam kerja, gaji, atau memberikan cuti berbayar ataupun tanpa berbayar.
Pandemi COVID-19 belum diketahui kapan akan berakhir. Perkembangan ekonomi selanjutnya, sangat tergantung pada penemuan vaksin. Sejauh ini, perkembangan penelitian vaksin menunjukkan hasil yang positif, mulai dari produksi Pfizer, Modena, AstraZeneca, Sinovac, dll. Pada Minggu, 6 Desember 2020, pemerintah sudah mengumumkan kedatangan 1,2 juta dosis vaksin Sinovac. Namun, selama hasil positif vaksin itu belum terdistribusikan, maka ekonomi masih akan tetap berada dalam ketidakpastian.
======
Artikel ini merupakan penutup dari serial artikel bertajuk "75 Tahun RI: dari Krisis ke Krisis" yang sudah tayang sejak Rabu, 30 September 2020. Serial ini memuat babak demi babak krisis ekonomi yang pernah dialami Indonesia. Nantikan serial ekonomi & bisnis lainnya di Tirto.id.
- Ekonomi RI Era 1950: Terbelit Utang, Tertekan Defisit Anggaran
- Ekonomi 1960-an: Hiperinflasi & Stagnasi di Tengah Gejolak Politik
- Ekonomi Awal Orba: Ganti Rezim, Ganti Haluan Ekonomi
- Indonesia 1970an: Kaya Minyak tapi Nyaris Pailit karena Pertamina
- Cara Orde Baru Menghadapi Resesi Global Awal 1980an
- Ekonomi Orde Baru 1980-an: Tancap Gas Liberalisasi
- Ekonomi Indonesia 1989-1996: Berjaya tapi Labil dan Penuh KKN
- Krisis Moneter 1997/1998 adalah Periode Terkelam Ekonomi Indonesia
- Bagaimana Sulitnya Indonesia Keluar dari Krisis Moneter 1997/1998
- Krisis Finansial 2008, Bagaimana Indonesia Mengatasinya?
Editor: Windu Jusuf