tirto.id - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan penempatan dana pemerintah di bank pelat merah dan daerah sudah berkembang berkali-kali lipat menjadi kredit untuk masyarakat. Menurutnya sudah tersalurkan kredit sebesar Rp254,37 triliun, lebih banyak empat kali lipat dibanding dana yang disalurkan dari pos Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) senilai Rp64,5 triliun.
Sri Mulyani bilang kredit ini sudah dimanfaatkan 3,74 juta debitur yang sebagian besar pelaku usaha UMKM. Dengan dana ini ia yakin mereka dapat lebih bertahan di masa pandemi. “Diharapkan mulai bisa menjaga ekonomi untuk terus meningkat dan mulai menggeliat,” ucap Sri Mulyani dalam konferensi pers di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Senin (30/11/2020).
Dana PEN sengaja ditempatkan pemerintah dengan imbal hasil di bawah bunga deposito pada umumnya agar bank tidak ragu menyalurkannya dan masyarakat juga dapat menjangkau biaya bunga. Bank dituntut untuk meningkatkan (leverage) nilainya dan menyalurkan kredit dengan nominal hingga tiga kali lipat lebih banyak dari jumlah dana awal yang diberikan pemerintah.
Penempatan dana pemerintah dimulai pada Juni 2020 dengan Rp30 triliun di Himbara, kemudian Rp11,5 triliun di Bank Pembangunan Daerah (BPD) sebulan kemudian. Per November, penempatan dana terus meningkat hingga mencapai total Rp64,5 triliun.
Setelah penempatan berlangsung, data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan pertumbuhan kredit sempat naik dari 1,49 persen year on year (yoy) Juni menjadi 1,53 persen yoy Juli. Kenaikan juga ditopang pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Sayangnya, pada Agustus pertumbuhan melambat menjadi 1,04 persen yoy dan 0,12 persen yoy per September. Per Oktober, pertumbuhan kredit terus memburuk hingga terkontraksi 0,47 persen.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah mengatakan sebetulnya tak banyak yang bisa diharapkan dari penempatan dana pemerintah ini. Piter bilang paling maksimal kredit murah Rp254,37 triliun hanya sanggup menahan laju perlambatan kredit tapi sulit bakal memacu kenaikan pertumbuhan.
Alasan Piter sederhana: penyaluran kredit memang tidak bisa dipaksa. Ia bilang bank tengah menahan penyaluran kredit lantaran menyadari adanya peningkatan risiko di tengah turunnya daya beli dan kemampuan membayar. Lembaga pemeringkat kredit Pefindo menyatakan debitur yang masuk kategori high dan very high risk meningkat dari 41,2 persen per Desember 2019 menjadi 45,2 persen per Juli 2020.
Belum lagi kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) juga terus naik. Dari 2,53 persen per Desember 2019 menjadi 3,11 persen per Juni 2020 dan 3,14 persen per September 2020.
Jika penyaluran kredit tetap dipaksa, bukan tak mungkin NPL dan gagal bayar bisa naik lebih tinggi lagi. Karena itu, Piter bilang langkah terbaik saat ini adalah menjaga kualitas kredit yang sudah ada seperti restrukturisasi yang dilakukan OJK demi terhindar dari gagal bayar hingga ekonomi pulih.
“Penurunan kredit itu jadi keniscayaan dan normal untuk terjadi,” ucap Piter kepada reporter Tirto, Selasa (1/12/2020).
Ekonom Senior dari Universitas Indonesia Faisal Basri mengatakan upaya menggenjot kredit sebenarnya sudah didukung dengan pemangkasan suku bunga acuan oleh Bank Indonesia sebanyak empat kali selama pandemi hingga menjadi hanya 3,75 persen per November 2020. Bahkan ada delapan kali penurunan suku bunga jika dihitung dari Juli 2019. Itu pun masih disertai lagi stimulus lain seperti penjaminan sampai pelonggaran likuiditas BI. Idealnya, kredit sudah seharusnya bisa meningkat.
Sayangnya, Faisal bilang kredit tidak akan bisa naik signifikan kalau pandemi belum teratasi. Pandemi juga masih akan menghambat skema kredit untuk mendorong ekonomi yang diharapkan pemerintah.
“BI sudah turunkan BI rate (suku bunga acuan) sampai 3,75 persen bulan ini tapi tidak nendang. Karena apa? Karena COVID-19,” ucap Faisal dalam Webinar Proyeksi Ekonomi Indonesia 2021: Jalan Terjal Pemulihan Ekonomi, Kamis (26/11/2020).
Survei BI mengenai Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) per Oktober 2020 menunjukkan angka 79 poin. Angka ini lebih rendah dari sebulan sebelumnya yang mencapai 83,4 poin sekaligus melanjutkan pemburukan keyakinan konsumen yang sudah terjadi sejak Desember 2019 yang mencapai 126,4 poin.
Posisi di bawah 100 berarti keyakinan konsumen masih berada di zona pesimistis dan berpotensi memengaruhi permintaan. Alhasil, sulit berharap dunia usaha mau mengajukan kredit untuk menggenjot bisnis saat permintaan masih lemah.
Menurut Faisal, jorjoran menggelontorkan stimulus maupun kebijakan moneter tak akan berarti apa-apa selama penanganan COVID-19 belum serius. Ia bahkan menyayangkan pemerintah malah melompati tanggung jawab itu dan hanya mengharapkan vaksin COVID-19 yang masih belum jelas kepastiannya.
“Ini membuktikan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah menangani virus relatif rendah. Trial and error (coba-coba) terus,” ucap Faisal.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino