tirto.id - Masyarakat di berbagai daerah Indonesia masih melaksanakan tradisi unik sebelum menjalankan puasa di bulan suci Ramadan. Tradisi-tradisi jelang Ramadan diwariskan secara turun menurun dan memiliki filosofi tertentu.
Umumnya, tradisi-tradisi tersebut dilakukan sebagai bentuk rasa syukur hingga upaya penyucian diri menjelang ibadah di bulan Ramadan.
Beberapa jenis tradisi yang masih dilakukan oleh masyarakat Indonesia saat ini diantaranya tradisi meugang, nyorog, padusan, balimau kasai, dugderan, dan munggahan.
1. Tradisi Meugang dari Aceh
Meugag adalah tradisi jelang Ramadan yang dilaksanakan oleh umat Islam di Aceh sejak masuknya Islam di abad ke-14. Melansir laman resmi Pemerintah Kota (Pemkot) Banda Aceh, tradisi ini merupakan tradisi makan daging sapi bersama-sama.
Masyarakat Aceh memang lebih sering makan makanan laut dibanding daging sapi mengingat letak wilayah Aceh yang dekat dengan laut. Namun, menjelang bulan Ramadan, masyarakat berbondong-bondong menyembelih atau membeli daging sapi ke pasar untuk dimakan bersama kerabat dan keluarga.
Di pedesaan yang masih kuat adatnya, menantu laki-laki yang tinggal di rumah mertua berkewajiban membawa pulang daging sapi saat meugang untuk dimasak.
Daging yang diperoleh diolah menjadi masakan khas Aceh, seperti daging asam keueung, sie reuboh, hingga sop daging. Selain daging sapi, masyarakat Aceh juga terbiasa menambahkan menu masakan lainnya saat meugang, seperti kambing, ayam, maupun bebek.
2. Tradisi Nyorog dari Jabodetabek
Masyarakat Betawi khusunya yang tinggal di Jabodetabek melaksanakan tradisi nyorog menjelang bulan puasa. Menurut Dinas Kebudayaan Jakarta, tradisi ini berupa berbagi bingkisan makanan ke sanak saudara dan keluarga yang tinggalnya berjauhan.
Tradisi nyorog telah dilakukan sejak zaman dahulu dan dianggap sebagai pengikat tali silaturahmi. Tradisi ini muncul karena orang Betawi sering kali memiliki tempat tinggal yang jauh dari sanak saudara.
Tradisi ini juga menjadi bentuk penghormatan dari anak muda kepada orang yang lebih tua. Hal ini karena orang yang usianya lebih muda, seperti pengantin baru biasanya mengirimkan bingkisan kepada orang tuanya masing-masing.
Masakan yang umumnya diberi dalam tradisi nyorog berupa kue, bandeng, daging kerbau, atau bahan-bahan mentah seperti beras, gula, kopi, susu, dan sebagainya. Selain itu, tidak sedikit masyarakat yang mengirimkan makanan khas Betawi, seperti sayur gabus pucung yang dibungkus di dalam rantang.
3. Tradisi Padusan dari Jawa Tengah dan Yogyakarta
Tradisi padusan merupakan tradisi jelang bulan Ramadan yang dilaksanakan oleh masyarakat Jawa di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Melansir Indonesia.go.id tradisi padusan adalah kegiatan menyucikan diri untuk membersihkan jiwa dan raga sebelum puasa Ramadan.
Kata padusan sendiri diambil dari bahasa Jawa adus yang artinya "mandi." Tradisi padusan dilakukan dengan cara pergi ke mata air lalu mandi, keramas, atau berendam ramai-ramai.
Terdapat sejumlah sumber mata air yang biasanya dijadikan tempat padusan, yaitu Umbul Ponggok dan Umbul Manten Klaten, Umbul Pajangan dan Sendang Ngepas Lor Sleman, Umbul Ngabean Boyolali, dan masih banyak lagi.
Tradisi padusan yang seharusnya sakral saat ini berubah menjadi komoditi pariwisata. Tidak sedikit wisatawan yang datang dari dalam maupun luar negeri untuk ikut beramai-ramai melihat atau bahkan berpartisipasi dalam tradisi ini.
Padusan dilakukan sebagai media untuk merenung dan introspeksi diri dari berbagai kesalahan yang dibuat pada masa lalu. Oleh karena itu, sebagian orang menganggap bahwa ritual ini sebaiknya dilakukan seorang diri.
4. Tradisi Balimau Kasai dari Riau
Menjelang bulan suci Ramadan, Orang Kampar yang tinggal di Provinsi Riau menjalankan tradisi balimau kasai.
Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tradisi ini berupa mandi menggunakan air yang dicamur jeruk atau dalam bahasa Kampar limau. Jenis limau yang digunakan beragam, mulai dari jeruk purut, jeruk nipis, hingga jeruk kapas.
Air campuran limau ini kemudian dituangkan ke orang-orang sebagai ungkapan rasa syukur, kegembiraan, sekaligus simbol penyucian diri sebelum memasuki bulan puasa. Selain itu, kasai (wewangian) yang dihasilkan dari tradisi ini dipercaya mampu mengusir rasa dengki dalam kepala.
Selain mandi dengan air limau, tradisi balimau kasai juga mengadakan pemotongan kerbau serta pemberian santunan kepada anak yatim dan keluarga tidak mampu.
5. Tradisi Dugderan dari Semarang, Jawa Tengah
Dugderan merupakan tradisi yang biasa dilaksanakan orang Semarang sebelum memasuki bulan puasa. Melansir Rumah Belajar, kata "dugderan" berasal dari kata "dug" dan "der" yang berupa suara bedug masjid yang ditabuh berkali-kali.
Sesuai dengan namnya, tradisi ini dimulai dengan cara pemukulan bedug di masjid-masjid diiringi dengan pembacaan doa. Setelah itu, dimulailah pawai dan pesta rakyat dimana seluruh masyarakat dari berbagai usia dan jenis kelamin bisa berpartisipasi.
Tradisi dugderan sudah dilaksanakan sejak 1881 di era pemerintahan Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat. Tradisi dugderan awet dijalankan hingga kini dan menjadi tradisi khas jelang Ramadhan. Jika masyarakat Semarang telah melakukan dugderan, maka tidak lama lagi bulan puasa akan tiba.
6. Tradisi Munggahan dari Jawa Barat
Munggahan adalah tradisi masyarakat Sunda di Jawa Barat yang dilakukan pada akhir bulan Syakban. Mengutip laman resmi Kementerian ESDM, tradisi munggahan merupaka tradisi bermaaf-maafan sebelum melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadan.
Munggahan dilakukan dengan cara berkumpul bersama keluarga dan kerabat. Kegiatan ini dapat dimulai dengan berziarah ke makan orang tua atau orang saleh.
Kemudian, masyarakat Sunda juga melakukan sedekah, bernama sedekah munggah untuk orang-orang yang membutuhkan. Kegiatan berlanjut ke acara berkumpul, bermaaf-maafan, dan makan bersama dengan keluarga maupun kerabat.
Tradisi ini dilaksanakan sebagai bentuk rasa syukur dan kebahagiaan umat muslim untuk menyambut bulan suci Ramadan. Selain itu, dengan bermaaf-maafan dapat memperbaiki hubungan sesama manusia sebelum menjalankan ibadah puasa.