tirto.id - Sore itu, 7 Juli 1974, laga pamungkas Piala Dunia ke-10 akan segera dimulai. Stadion Olympia, yang terletak di kota Munchen, Jerman, sudah dipadati tujuh puluh ribu lebih penonton.
Jerman Barat, tim tuan rumah, melaju ke partai puncak setelah mengalahkan Polandia dengan susah payah, 0-1, empat hari sebelumnya. Belanda, sebaliknya, baru saja mempecundangi juara bertahan Brasil 2-0 dan tengah dielu-elukan para pecinta bola berkat gaya permainan yang atraktif dan revolusioner: total football.
Semua orang tahu, saat itu, kesebelasan mana yang lebih baik di antara keduanya. Seperti ditunjukkan oleh David Winner dalam buku Brilliant Orange; The Neurotic Genius of Dutch Football, hal itu diamini oleh para pemain Jerman Barat sendiri.
“Mereka tim yang lebih baik,” kenang penyerang Uli Hoeness.
Simak kenangan winger Jerman Barat, Bern Holzenbein, yang juga dikutip oleh David Winner. Ia bercerita, ketika kedua tim sedang berada di lorong sebelum masuk lapangan, para pemain Jerman Barat berusaha menyaingi kepercayaan diri yang terpancar dari mata para pemain Belanda, “…untuk menunjukkan kalau kami pun tim besar seperti mereka.” Tapi itu gagal. “Mereka membuat kami merasa kecil,” tambahnya.
Jack Taylor, wasit asal Inggris, meniup peluit tanda dimulainya pertandingan. Belanda yang memulai pertandingan saat kick off segera memainkan umpan-umpan pendek, dari kaki ke kaki. Tenang dan sangat terkendali. Segera para pemain Belanda meningkatkan tempo permainan. Melalui satu akselerasi, Johan Cruyf menerobos pertahanan Jerman yang memaksa Uli Hoeness harus melakukan takel keras di kotak penalti. Taylor langsung menunjuk titik putih. Tak ada satu pun pemain Jerman yang memprotes keputusan itu.
Gelandang tengah Johan Neeskens, sebagai algojo, tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Skor berubah 1-0 untuk Belanda. Waktu baru menunjukkan menit kedua dan tak sekalipun pemain Jerman Barat ada yang berhasil menyentuh bola, kecuali saat kiper Sepp Maier memungut bola dari gawangnya sendiri.
“Kami seperti tak berdaya,” kenang Paul Breitner, pemain bertahan asal klub Bayern Munchen. “Dan tak ada seorang pun dari kami yang berseru, ‘Ayo, bangkit! Bangkit!’ Tidak seorang pun yang mampu mengatakan itu,” tambahnya.
Apa yang dirasakan para pemain Jerman Barat saat di lorong stadion rupanya menjadi kenyataan di lapangan. Kemenangan De Oranje seperti hanya tinggal menunggu waktu.
23 Menit yang Ganjil
Sesuatu yang tak terduga kemudian terjadi. Seperti ditulis oleh David Winner, bukannya memanfaatkan momentum dan mengunci pertandingan dengan mengupayakan gol tambahan, para pemain Belanda malah mulai bermain-main dengan penguasaan bola mereka dan "mengejek" Jerman Barat dengan superioritas umpan selama 23 menit setelah gol pertama.
“Kami ingin mengolok-olok mereka. Kami tidak berpikir tentang itu tapi kami melakukannya, mengoper-oper bola tanpa tujuan,” kata penyerang Belanda asal klub Ajax, Johnny Rep, dikutip oleh situs resmi FIFA. “Kami lupa mencetak gol kedua. Ketika Anda melihat rekaman video laga itu, bisa dilihat para pemain Jerman makin lama makin marah. Itu kesalahan kami. Akan jauh lebih baik kalau yang mencetak gol pertama itu Jerman Barat,” tuturnya.
Petaka buat Belanda datang di menit ke-25 ketika Holzenbein melakukan terobosan dari sisi kanan pertahanan Belanda, memasuki area kotak penalti, lalu terjatuh ketika Wim Jansen berusaha menghentikannya. Tak ada kontak di sana. Holzenbein melakukan diving persis seperti laga antara Polandia kontra Jerman Barat sebelumnya. Tapi Taylor berpendapat lain dan menghadiahi tendangan penalti buat Jerman Barat. Paul Breitner menyamakan kedudukan buat timnya.
Memanfaatkan momentum yang baru saja diraihnya, tim Jerman Barat tak memberi kesempatan pada para pemain Belanda untuk bangun dari keterkejutannya. Mereka terus melancarkan serangan demi serangan sampai akhirnya dua menit menjelang turun minum, Gerd Müller — penyerang haus gol asal Bayern Munchen yang berjuluk Der Bomber – berhasil mencetak gol berkat kegesitan tubuhnya. Dan gol itu seperti menyegel takdir kesebelasan Belanda.
“Pada akhirnya, tidak ada yang bisa kami lakukan mengenai gol Müller yang membuat kedudukan menjadi 1-2 itu,” tulis Johan Cruyf dalam otobiografinya, My Turn; The Autobiography (2016). “Tadinya kami merasa yakin bisa memenangkan laga itu, namun apapun usaha kami untuk mengejar ketertinggalan, kami tak bisa memasukkan bola ke gawang lagi.”
Jerman Barat Memang Tim Hebat
Apa yang membuat para pemain Belanda mulai mengejek dan mengolok-olok kesebelasan Jerman Barat setelah mereka unggul di awal babak pertama? Atau lebih jauhnya apa yang menjadi penyebab kekalahan timnas Belanda di final?
Banyak yang berpandangan kekalahan itu berkelindan dengan beban sejarah pendudukan Nazi yang diderita Belanda saat Perang Dunia II dan itu membuat para pemain Belanda tidak bisa bermain normal ketika berhadapan dengan Jerman.
“Aku tidak menyukai orang Jerman,” ungkap Wim van Hanegem, satu-satunya pemain Belanda yang tidak menghadiri perjamuan resmi, dikutip oleh Jim White dalam A Matter of Life and Death: A History of Football in 100 Quotations.
“Setiap kali bermain melawan pemain Jerman aku selalu terganggu karena kejadian perang. Sebagian besar keluargaku meninggal akibat perang ini; ayahku, saudara perempuanku, dua saudara laki-laki-ku. Dan setiap laga melawan pemain dari Jerman selalu membuatku marah. Tak masalah kami hanya menang 1-0, yang penting kami bisa mengolok-olok mereka,” tuturnya.
Johan Cruyf, sebaliknya, menilai kekalahan timnya lebih sebagai “contoh klasik” kepercayaan diri yang terlalu tinggi. “Setelah kemenangan 2-0 lawan juara dunia kami semua jadi rileks dan berpuas diri hingga pertandingan selanjutnya tampak tidak penting lagi,” katanya dalam buku My Turn: The Autobiography.
Namun, penjelasan yang lebih sederhana mungkin karena kesebelasan Jerman Barat tidak kalah berkualitasnya dengan Belanda.
“Sebagai salah satu negara yang paling banyak meraih trofi Piala Dunia selain Brasil dan Itali, Jerman,” tulis Scott Murray di The Guardian, “jarang mendapat kredit akan prestasinya itu.”
Padahal banyak yang bisa dijadikan bukti. Salah satunya, selama tiga tahun berturut-turut di level klub, sepakbola Jerman, dalam hal ini Bayern Munchen, merajai Piala Eropa (kelak berganti menjadi Liga Champion) di tahun 1974, 1975, 1976 yang para pemainnya menjadi penyumbang terbanyak bagi skuad Jerman Barat.
“Pandangan bahwa sepakbola Jerman tak enak ditonton sudah klise,” tutur Jan Mulder, mantan penyerang besar Anderlecht dan Ajax tahun 60 dan 70-an, dikutip oleh David Winner. “Jerman merupakan tim yang besar. Saya selalu menyukai permainan umpan-umpan pendek mereka. Dan Beckenbauer—seandainya dia bermain untuk timnas Belanda, dia akan menjadi pemain Belanda yang hebat,” tambahnya.
Bersama timnas Hungaria 1954 di era Ferenc Puskás, timnas Belanda 1974 sering dianggap sebagai kesebelasan terbaik sepanjang sejarah Piala Dunia. Namun, terlepas apakah itu suatu kebetulan atau bukan, sejarah menunjukkan mimpi keduanya untuk mengecap Piala Dunia ternyata sirna di partai puncak oleh kesebelasan yang sama, yaitu Jerman Barat.
Penulis: Bulky Rangga Permana
Editor: Zen RS