tirto.id - Senin, 23 Juni 1986, Presiden Soeharto tampil gagah. Ia hendak mengukir sejarah dalam industri penerbangan. Melalui Pameran Kedirgantaraan Indonesia (Indonesia Air Show/IAS), Soeharto mencatat sejarah sebagai penyelenggara pameran kedirgantaraan pertama di Indonesia. Menteri Riset dan Teknologi BJ Habibie ditunjuk sebagai penanggung jawabnya.
Letusan pistol dari Soeharto menandai peresmian IAS 1986. Dalam pidatonya, Soeharto mengungkapkan kebanggaannya karena Indonesia bisa menyelenggarakan pameran kedirgantaraan berkelas internasional. Sebuah pameran yang belum tentu bisa diselenggarakan oleh negara-negara lainnya.
Dalam pidatonya, Soeharto juga mengungkapkan tekadnya agar Indonesia bisa menguasai teknologi tinggi secara berencana dan bertahap. Karena itu, pameran sejenis akan diselenggarakan setiap 10 tahun. Harapannya, Indonesia selalu memiliki perspektif yang jelas mengenai tantangan dan kesempatan yang dihadapi.
Sepuluh tahun berlalu, pameran serupa kembali diselenggarakan. Bedanya, IAS 1996 diselenggarakan di Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng. Sementara IAS 1986 diselenggarakan di Bandara Kemayoran, Jakarta. Namun, kebanggaan dan kemeriahannya tetap sama. Pesawat komersial hingga militer dipamerkan. Warga pun dengan antusias melihat dan berfoto di pesawat-pesawat tercanggih pada masanya itu. Yang tak mampu masuk karena biaya masuknya yang lumayan mahal, cukup puas melihat dari balik pagar bandara. Antusiasme tak bisa dibendung.
Sepuluh tahun kemudian, tepatnya pada 2006, pameran kedirgantaraan nihil diselenggarakan. Sampai 10 tahun berikutnya pada 2016, pameran serupa tetap tak hadir di Indonesia. Banyak warga merindukan Indonesia bisa punya pameran kedirgantaraan internasional, seperti 20 tahun silam.
Indonesia kini disalip oleh Singapura. Negara kecil yang dulunya tak mampu apa-apa, kini bisa menyelenggarakan pameran sejenis yang lebih canggih dan hebat. Setiap dua tahun sekali, Singapura menyelenggarakan pameran kedirgantaraan internasional, Singapore Airshow. Pameran ini tak sekadar menjadi etalase beragam jenis dan ukuran pesawat, ataupun akrobatik udara yang menimbulkan decak kagum. Lebih dari itu, ada transaksi besar yang bisa diraup oleh pameran dari negara kecil ini. Miliaran dolar transaksi bisnis tercapai dalam pameran ini.
Singapore Airshow telah menjadi sarana penyambung tali bisnis para produsen dan konsumen industri penerbangan dunia. Singapura mampu membuktikan bahwa negara yang tak punya sejarah industri kedirgantaraan yang kuat justru mampu menjadi daya tarik perhelatan pameran kedirgantaan kelas dunia dan mampu menangguk keuntungan dari itu.
Singapura tidak sendiri. Sejumlah negara juga sudah mumpuni menjadi penyelenggara pameran kedirgantaraan berkelas internasional. Semenjak airshow pertama di dunia bernama Internationale Luftschiffahrt-Ausstellung yang digelar di Frankfurt Jerman sejak 1909, banyak negara kini punya kegiatan serupa. Agenda pameran kedirgantaraan hampir setiap tahun digelar di berbagai penjuru dunia. Yang paling dekat adalah Farnborough International Airshow yang akan digelar pada 11-17 Juli 2016. Berdasarkan data International Council of Air Shows terdapat 259 hajatan airshow yang berlangsung tahun ini.
Belajar dari Singapura
Singapura sebenarnya bisa disebut sebagai “anak kemarin sore” untuk urusan penyelenggaraan pameran kedirgantaraan akbar berkelas dunia. Mereka sempat punya agenda Changi International Airshow yang baru lahir delapan tahun lalu. Negara mungil ini cukup serius mempersiapkan pameran perdana mereka yang jadi hajatan Singaporean agencies Civil Aviation Authority of Singapore dan Defence Science and Technology Agency.
Dua tahun sebelum hajatan berlangsung, mereka menyiapkan venue seluas 40.000 meter persegi senilai 60 juta dolar Singapura untuk mengganti Changi International Exhibition and Convention Centre yang sudah usang. Lokasi ini pernah menjadi tempat kegiatan Asian Aerospace Exhibitions dari 1988-2006.
Media todayonline.com, menulis berdasarkan studi Kadence International, kontribusi Singapore Airshow bagi perekonomian negara pulau tersebut cukup besar. Dua tahun lalu, saat Singapore Airshow 2014 berlangsung, dampak ekonomi langsung mencapai 319 juta dolar Singapura atau sekitar Rp3,13 triliun. Nilai itu berarti tumbuh 25 persen dari perhelatan sebelumnya. Para peserta pameran meningkat dari 969 peserta menjadi 1.018 peserta dari 125 negara dan dihadiri 146.000 pengunjung.
Dari kontribusi langsung itu, belanja para tamu asing penyumbang terbesar. Belanja para orang asing memberikan sumbangan perputaran uang 284,9 juta dolar Singapura atau sekitar Rp2,8 triliun, yang berarti naik 30 persen. Angka ini setara hampir 90 persen dari perputaran uang selama airshow berlangsung.
Para pengunjung airshow menghabiskan uang untuk kegiatan wisata dan pengeluaran penginapan. Selain itu, penyelenggara juga dapat pemasukan dari sewa ruang pameran. Kontribusi juga datang dari kegiatan belanja pribadi para pengunjung untuk makanan, minuman, jalan-jalan, belanja, dan pengeluaran transportasi.
"Singapore Airshow telah bergerak cepat dalam memantapkan diri sebagai pameran kedirgantaraan dan pertahanan terbesar dan paling penting di Asia,” kata Assistant Managing Director of the Singapore Economic Development Board (EDB) Lim Kok Kiang dikutip dari todayonline.com.
Singapore Airshow juga menorehkan capaian yang cukup fantastis. Pada 2014, kesepakatan bisnis mencapai 32 miliar dolar AS (Rp425 triliun) atau naik 3 persen dibandingkan 2012. Untuk 2016, capaiannya memang sangat buruk hanya 12,3 miliar dolar AS karena faktor lesunya ekonomi global.
Selain Singapura, ada Uni Emirat Arab yang mencatatkan rekor yang luar biasa. Pada Dubai Airshow 2013, tercatat pemesanan pesawat hingga 206 miliar dolar AS, diklaim sebagai yang terbesar dalam sejarah airshow di mana pun.
Indonesia Harus Bisa
Sayangnya, pameran semacam ini belum hadir di Indonesia. Dua puluh tahun sejak pameran terakhir, muncul gagasan untuk menyelenggarakan pameran kedirgantaraan internasional di Indonesia lagi. Targetnya, pameran akan terselenggara pada 2018. Di tahun yang sama Singapura sebagai pemain rutin dan sudah punya nama di belahan dunia juga menggelar kegiatan serupa.
Mimpi Indonesia punya pameran dirgantara berskala besar sudah ada sejak beberapa tahun lalu. Ide itu sempat dilontarkan oleh mantan menteri BUMN Dahlan Iskan yang kagum dengan perhelatan akbar Singapore Airshow 2012. Indonesia sudah saatnya punya pameran penerbangan berskala internasional lagi seperti AS di era Menristek BJ Habibie.
"Sepertinya kita perlu bikin airshow lagi seperti di zaman Habibie dulu," kata Dahlan Iskan saat menghadiri Singapura Airshow 2012 , seperti dikutip dari Antara.
Semangat itu muncul lagi tahun ini, setelah melihat kesuksesan Singapore Airshow digelar 16-21 Februari 2016 di Changi Exhibition Centre. TNI Angkatan Udara menjajaki penyelenggaraan Indonesia Airshow dua tahun mendatang. Kepala Staf Angkatan Udara Marsekal Agus Supriatna bahkan telah menghubungi operator penyelenggara pameran udara di Dubai dan Singapura. Namun, inisiatif TNI AU ini tak mulus begitu saja, karena bagaimana pun agenda ini menjadi hajatan pemerintah seperti yang terjadi pada IAS 1986 dan 1996.
“Nanti, kita masih koordinasi dulu dengan pemerintah. Soalnya enggak bisa kalau kita (TNI AU) saja. Airshow ini juga bagian dari kegiatan pemerintah. Kalau pemerintah sudah mengatakan oke, maka dilaksanakan. Semua kementerian terkait (air show) pasti akan dilibatkan,” kata Agus kepada tirto.id. Jumat (10/6/2016).
Persiapan Indonesia masih jauh dari harapan. Padahal bila keputusan itu dilakukan sekarang maka waktu dua tahun bisa jadi persiapan yang cukup untuk menggelar ajang sebesar IAS pada 2018. Sementara itu, Singapura sudah memastikan diri akan menggelar acara serupa pada 6-11 Februari 2018.
Target 2018 menjadi penyemangat untuk memamerkan pesawat terbang yang 100 persen rancang bangunnya dari putra putri Indonesia bernama N219 buatan PT DI. Selain itu, pesawat Regio Prop R80 yang digagas PT Regio Aviasi Industri (RAI) di bawah kendali putra BJ Habibie, Ilham Habibie juga berpeluang bisa terbang perdana pada tahun yang sama.
Memamerkan karya anak bangsa akan mengulang kisah 20 tahun. Pada 1986 saat IAS pertama berlangsung, sejumlah pesawat buatan PT Dirgantara Indonesia (Dulu IPTN) dipajang. Ada pesawat NC 212, CN 235, helikopter NAS 332 Super Puma, NBO 105, dan BK117.
Memajang karya anak bangsa memang sesuatu yang membanggakan, apalagi di sebuah pameran kelas internasional. Tapi lebih dari itu, IAS seharusnya tidak sekadar untuk ajang pameran. Indonesia harus mampu mendorong IAS agar bisa menjadi sebuah transaksi bisnis yang bisa mendorong perekonomian negara. Untuk ini, Indonesia harus berbesar hati belajar dari kesuksesan Singapura.
Penulis: Suhendra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti