Menuju konten utama

Nestapa UMKM jika Makanan Olahan Cepat Saji Dipungut Cukai

Pemerintah perlu memperhatikan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan dari pungutan cukai untuk makanan olahan.

Nestapa UMKM jika Makanan Olahan Cepat Saji Dipungut Cukai
Ilustrasi makanan olahan beku. FOTO/Wikicommon

tirto.id - Heri sedikit terkejut begitu mengetahui adanya usulan pengenaan tarif cukai terhadap makanan olahan, termasuk olahan siap saji. Sebagai pedagang kaki lima yang menjual kentang goreng, kebijakan tersebut menurutnya tidak masuk akal. Apalagi jika yang disasar adalah dirinya yang notabene merupakan pedagang kecil.

“Aneh kalau kemudian usulan tersebut sampai menyasar pedagang kaki lima,” ujar Heri kepada Tirto, saat dimintai tanggapan mengenai usulan pengenaan cukai terhadap makanan siap saji, Rabu (31/7/2024).

Opsi pengenaan cukai terhadap makanan olahan siap saji saat ini tercantum dalam Pasal 194 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

Beleid diteken Presiden Joko Widodo pada Jumat (26/7/2024) lalu itu, menjelaskan bahwa pengenaan cukai terhadap makanan olahan merupakan upaya pemerintah untuk mengendalikan konsumsi gula, garam, dan lemak.

Tidak hanya cukai, pembatasan konsumsi gula, garam, dan lemak juga dilakukan dengan menetapkan batas maksimal kandungan garam, gula, dan lemak dalam makanan olahan.

Sementara, dalam penjelasan Pasal 194, disebutkan bahwa pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan. Sedangkan, yang dimaksud dengan pangan olahan siap saji adalah makanan dan/atau minuman yang sudah diolah dan siap untuk langsung disajikan.

Jika disetujui usulan ini nantinya akan berlaku di semua tempat usaha atau di luar tempat usaha seperti pangan yang disajikan di jasa boga, hotel, restoran, rumah makan, kafetaria, kantin, kaki lima, gerai makanan keliling, dan penjaja makanan keliling atau usaha sejenis.

Niat Bagus Pemerintah tapi Minim Pengkajian

Ketua Umum Asosiasi Industri Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Indonesia (Akumandiri), Hermawati Setyorinny, menilai seharusnya pemerintah bisa lebih bijaksana dalam hal kebijakan pungutan cukai tersebut. Sebab, UMKM sendiri sebenarnya sudah dibebani dengan kewajiban sertifikasi halal dan harus memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB).

“Jadi jangan asal melakukan kebijakan tanpa dikaji dulu,” ujar Hermawati saat dihubungi Tirto, Rabu (31/7/2024).

Menurut dia, ketimbang mengenakan tarif cukai untuk makanan siap saji, lebih baik pemerintah mengatur standarisasi kandungan gula, garam, dan lemak bagi industri makanan dan minuman. Standarisasi ini nantinya bisa diikuti oleh para pedagang-pedagang kecil.

“Jadi menurut saya tidak perlu menarik cukai. Niatnya bagus. Tapi harusnya tetap dikaji secara bijaksana implementasinya bagaimana? Terus prioritasnya apa dulu yang harus dikerjakan,” jelas Hermawati.

PENJUAL TAKJIL BERJAGA JARAK

Pedagang menjual makanan dan minuman di kawasan Karang Menjangan, Surabaya, Jawa Timur, Selasa (28/4/2020). ANTARA FOTO/Didik Suhartono/hp.

Indonesia dalam hal ini sebenarnya bisa mencontoh negara lain, seperti Singapura yang memberlakukan Nutri-Grade. Sejak akhir 2023, gerai makanan dan minuman di Singapura diwajibkan mencantumkan label nutrisi pada menu mereka. Langkah ini bertujuan untuk membantu pelanggan mengambil keputusan yang tepat ketika membeli makanan dan minuman kemasan.

Sebagai contoh untuk minuman kemasan, sistem penilaian berkisar dari A hingga D, dengan D sebagai yang paling tidak sehat.

Produk dengan kandungan gula dan lemak jenuh tertinggi akan mendapat peringkat C atau D dan diharuskan mencantumkan label Nutri-Grade pada kemasannya. Label tersebut diberi kode warna – A (hijau tua), B (hijau muda), C (oranye), dan D (merah). Minuman dengan peringkat D akan dilarang diiklankan.

“Di negara lain makanan itu terbagi dua makanan sehat dan tidak sehat. Sehat itu ada label A B C D. Kadar gulanya bagaimana?,” kata dia.

Berdampak pada Kenaikan Harga

Sekretaris Jenderal Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo), Edy Misero, melihat usulan pengenaan cukai olahan tersebut bisa berdampak kepada kenaikan harga jual makanan olahan dijual di kaki lima dan lainnya. Apalagi jika pungutan cukai tersebut lebih besar dibandingkan dengan margin atau keuntungan diperoleh pedagang.

"Harus dilihat dulu berapa cukainya. Jika cukainya lebih besar daripada pendapatannya ini otomatis akan berdampak terhadap harga jual," ujar Edy saat dihubungi Tirto, Rabu (31/7/2024).

Menurutnya, kebijakan ini akan sangat bergantung berapa besaran cukai yang nanti ditetapkan oleh pemerintah. Jika misalnya hanya 1 persen, sementara margin diperoleh pedagang kisaran 15 persen, maka tidak masalah juga. Karena setidaknya masih ada 14 persen keuntungan diterima pedagang.

Tapi di luar itu, kata Edy, usulan pengenaan cukai terhadap makanan siap saji bisa jadi menjadi salah satu upaya pemerintah untuk mencari tambahan pendapatan. Terlebih ruang fiskal ke depan masih membutuhkan tambahan di tengah banyak program pemerintah selanjutnya.

Peneliti Institute For Demagraphic and Poverty Studies (IDEAS), Muhammad Anwar, mengamini bahwa penerapan cukai ini diperkirakan akan menambah beban biaya operasional bagi UMKM. Bahan baku yang dikenai cukai kemungkinan besar akan mengalami kenaikan harga.

"Dengan demikian, pelaku usaha akan menghadapi dilema, apakah harus menaikkan harga jual produk mereka atau menerima penurunan margin keuntungan," kata Anwar kepada Tirto, Rabu (31/7/2024).

Kedua, kata Anwar, pilihan ini juga memiliki risiko. Jika harga jual naik, daya saing produk di pasar bisa menurun karena konsumen mungkin beralih ke produk yang lebih murah atau bahkan mengurangi konsumsi.

Selain itu, tantangan lain yang dihadapi oleh UMKM menurutnya adalah kemampuan untuk berinovasi dan menyesuaikan produk mereka sesuai dengan regulasi baru. Pedagang kecil sering kali tidak memiliki sumber daya yang memadai untuk melakukan penelitian dan pengembangan produk yang lebih sehat namun tetap disukai oleh konsumen.

"Tanpa dukungan yang memadai, mereka mungkin kesulitan untuk beradaptasi," kata dia.

Dampak sosial ekonomi dari penerapan cukai ini, lanjut Anwar, juga perlu diperhatikan. Karena pedagang kaki lima yang menjadi tulang punggung keluarga bisa merasakan dampak ekonomi yang signifikan. Penurunan pendapatan dapat berimbas langsung pada kesejahteraan keluarga mereka.

"Lebih buruk lagi, jika kebijakan cukai ini membuat usaha mereka tidak lagi menguntungkan, beberapa pelaku UMKM mungkin terpaksa menutup usahanya, yang dapat meningkatkan angka pengangguran," ujar Anwar.

Namun, lanjut Anwar, ada beberapa hal setidaknya bisa dilakukan pemerintah untuk mengurangi dampak negatif tersebut. Pertama, pemerintah dapat memberikan pendampingan dan pelatihan kepada UMKM dan pedagang kaki lima untuk membantu mereka berinovasi dalam menciptakan produk yang lebih sehat namun tetap terjangkau.

Kedua, bantuan keuangan atau akses kepada kredit yang lebih mudah juga dapat membantu mereka menyesuaikan diri dengan perubahan biaya operasional. Ketiga, pemberian subsidi atau insentif untuk bahan baku yang sehat dapat meringankan beban produksi bagi UMKM.

Keempat, yang paling penting juga adalah insentif pajak bagi UMKM yang mematuhi regulasi kesehatan baru juga bisa menjadi solusi. Fleksibilitas dalam penerapan kebijakan cukai ini, seperti penerapan bertahap, dapat memberikan waktu bagi UMKM dan pedagang kaki lima untuk menyesuaikan diri.

"Dengan langkah-langkah mitigasi yang tepat, diharapkan pengenaan cukai pada makanan olahan siap saji tidak akan terlalu memberatkan UMKM dan pedagang kaki lima," terangnya.

Ilustrasi Nugget Ayam

Ilustrasi Nugget Ayam. FOTO/IStockphoto

Sementara itu, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan, Nirwala Dwi Heryanto, menyebut narasi soal pengenaan cukai terhadap makanan olahan ini baru merupakan usulan dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

Sementara DJBC belum melakukan kajian secara khusus tentang pengenaan tarif cukai terhadap makanan olahan.

“Itu usulan aja dari Kemenkes. Jadi kayak rokok segala macam, itu kan jelas contohnya, rokok itu enggak baik untuk kesehatan, itu boleh (dikenakan cukai). Dulu usulannya gitu terus dikenakan,” jelas Nirwala, saat dihubungi awak media, Selasa (30/7/2024).

Sementara untuk memasukkan makanan olahan menjadi Barang Kena Cukai (BKC), pemerintah harus mengajukan dan berdiskusi dulu dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Bahkan, meskipun pangan olahan masuk ke dalam kriteria BKC, jika DPR tidak merestui, maka tidak bisa dikenakan cukai pada barang tersebut.

Sebagai informasi, ada empat kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu barang agar bisa dikenakan tarif cukai. Pertama, barang yang konsumsinya harus dikendalikan, peredarannya harus diawasi, penggunaan atau konsumsinya menimbulkan eksternalitas negatif baik kesehatan maupun lingkungan, dan kriteria perlunya pungutan negara untuk keseimbangan.

“Ngomongnya harus berurutan, pertama bicara masalah kriteria yang sifatnya alternatif, salah satu, itupun bisa masuk. Tapi karena itu pungutan kepada masyarakat kan harus diobrolin dengan DPR jadi ada syarat walaupun masuk ke dalam kriteria BKC tapi kalau tidak disetujui DPR, yo nggak jalan dong. Bentuk persetujuannya apa? Dimasukkan dalam UU APBN. Kuncinya di situ,” tegas Nirwala.

Baca juga artikel terkait MAKANAN OLAHAN atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - News
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Bayu Septianto