Menuju konten utama

Jokowi Buka Opsi Kenakan Cukai pada Makanan Olahan Siap Saji

Pengenaan cukai terhadap makanan olahan merupakan upaya pemerintah untuk mengendalikan konsumsi gula, garam, dan lemak.

Jokowi Buka Opsi Kenakan Cukai pada Makanan Olahan Siap Saji
Presiden Joko Widodo (kanan) bersama Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Pratikno (kiri) menjawab pertanyaan watawan saat perdana berkantor di kompleks Kantor Presiden, Ibu Kota Nusantara (IKN), Senin (29/7/2024). Pada hari perdana berkantor di IKN, Presiden memimpin rapat dengan jajaran Otorita IKN didampingi Mensesneg dan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, serta akan menerima Jajaran Forkompinda Kaltim. ANTARA FOTO/Mentari Dwi Gayati/app/aww.

tirto.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuka opsi pengenaan tarif cukai pada makanan olahan, termasuk makanan olahan siap saji. Opsi ini tercantum dalam Pasal 194 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

“Pemerintah Pusat dapat menetapkan pengenaan cukai terhadap pangan olahan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” bunyi aturan turunan UU Kesehatan dikutip Tirto, Selasa (30/7/2024).

Dalam beleid yang baru diteken Presiden Jokowi pada Jumat (26/7/2024) lalu itu dijelaskan, pengenaan cukai terhadap makanan olahan merupakan upaya pemerintah untuk mengendalikan konsumsi gula, garam, dan lemak.

Tidak hanya cukai, pembatasan konsumsi gula, garam, dan lemak juga dilakukan dengan menetapkan batas maksimal kandungan garam, gula, dan lemak dalam makanan olahan.

Sementara itu, dalam penjelasan Pasal 194, disebutkan bahwa pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu, dengan atau tanpa bahan tambahan.

Sedangkan yang dimaksud dengan pangan olahan siap saji adalah makanan dan/atau minuman yang sudah diolah dan siap untuk langsung disajikan.

“Di tempat usaha atau di luar tempat usaha seperti pangan yang disajikan di jasa boga, hotel, restoran, rumah makan, kafetaria, kantin, kaki lima, gerai makanan keliling, dan penjaja makanan keliling atau usaha sejenis,” begitu bunyi dokumen tersebut.

Menanggapi hal ini, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan, Nirwala Dwi Heryanto, mengungkapkan narasi soal pengenaan cukai terhadap makanan olahan ini baru merupakan usulan dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Bahkan, DJBC belum melakukan kajian secara khusus tentang pengenaan tarif cukai terhadap makanan olahan.

“Itu usulan aja dari Kemenkes. Jadi kayak rokok segala macam, itu kan jelas contohnya, rokok itu nggak baik untuk kesehatan, itu boleh [dikenakan cukai]. Dulu usulannya gitu, terus dikenakan,” jelas Nirwala, saat dihubungi awak media, Selasa (30/7/2024).

Sementara untuk memasukkan makanan olahan menjadi Barang Kena Cukai (BKC), pemerintah harus mengajukan dan berdiskusi dulu dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Bahkan, meskipun pangan olahan masuk ke dalam kriteria BKC, jika DPR tidak merestui, maka tidak bisa dikenakan cukai pada barang tersebut.

Sebagai informasi, ada empat kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu barang agar bisa dikenakan tarif cukai. Pertama, barang yang konsumsinya harus dikendalikan, peredarannya harus diawasi, penggunaan atau konsumsinya menimbulkan eksternalitas negatif baik kesehatan maupun lingkungan, dan kriteria perlunya pungutan negara untuk kesimbangan.

“Ngomongnya harus berurutan, pertama bicara masalah kriteria yang sifatnya alternatif, salah satu, itupun bisa masuk. Tapi karena itu pungutan kepada masyarakat kan harus diobrolin dengan DPR jadi ada syarat walaupun masuk ke dalam kriteria BKC tapi kalau tidak disetujui DPR, yo nggak jalan dong. Bentuk persetujuannya apa? Dimasukkan dalam UU APBN. Kuncinya di situ,” tegas Nirwala.

Baca juga artikel terkait MAKANAN OLAHAN atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - Flash news
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Irfan Teguh Pribadi