tirto.id - Belakangan, film dengan dialog Bahasa Jawa sedang banyak diproduksi. Tiga di antaranya Siti (2014), Ziarah (2016) dan Turah (2016). Ada setidaknya dua kesamaan utama dalam film-film tersebut. Pertama, disukai penonton maupun kritikus. Kedua, digolongkan sebagai drama dengan tema-tema serius.
Siti menceritakan lika-liku perempuan yang tinggal di pesisir pantai selatan Yogyakarta. Ziarah menyuguhkan pengalaman seorang perempuan tua mencari makam suaminya, juga di Yogyakarta. Sementara itu, Turah meneropong perjuangan hidup warga miskin di sebuah kampung di Tegal.
Bayu Skak, seorang vlogger YouTube, kemudian datang pada tahun 2018 dengan menulis naskah, menyutradarai, dan membintangi film berbahasa Jawa berjudul Yowis Ben.
Perbedaan dengan film-film berdialog bahasa Jawa lainnya adalah Bayu memilih genre komedi. Temanya juga ringan saja, yakni perjuangan meraih cinta ala anak sekolah menengah di Kota Malang.
Yowis Ben melampaui ekspektasi Bayu dengan meraup lebih dari 900 ribu penonton. Namun, yang paling menarik perhatian saya adalah bagaimana Bayu menjadikan proyek film sebagai penegas kecintaannya pada kultur Jawa, sebagai orang yang lahir serta besar di lingkungan masyarakat Jawa.
Sayangnya, Bayu terjebak dalam ‘inferiority complex’. Perjuangan Bayu yang Jawa untuk merebut hati Susan (Cut Meyriska) yang tidak Jawa tak jauh berbeda dengan premis sinetron atau FTV. Padahal dua jenis tontonan itu dikenal rajin mengentalkan pandangan negatif orang Jawa (ndeso, lugu, dsb)— streotip yang Bayu sendiri benci.
Film tetap laris karena Bayu cukup sukses mengolah guyon ala Jawa Timuran. Masih dalam format yang sama, Yowis Ben 2 hadir berkat dana yang dikeluarkan oleh Chand Parwez Servia (Starvision) dan Fiaz Servia. Penonton bioskop tanah air bisa mulai menikmatinya per 14 Maret 2019.
Bayu Skak masih memerankan tokoh Bayu, yang pada film pertama meraih dua kesuksesan pokok. Pertama, ia dan tiga kawan baiknya sukses menaiki tangga popularitas dengan membentuk band beraliran punk-rock/pop-punk. Kedua, bisa memacari Susan.
Bayu dan ketiga rekannya tampil di acara kelulusan SMA pada permulaan Yowis Ben II. Acara berlangsung meriah karena Bayu sudah dianggap sebagai bintang—minimal di level sekolah sendiri. Sayangnya, setelahnya acara kelar, Susan memutuskan hubungan secara sepihak dengan alasan mau kuliah di Jerman.
Sesampainya di rumah, Bayu mendapati kabar yang lebih pelik. Sewa kontrakan rumahnya naik dan harus langsung dibayar untuk tiga tahun. Ibunya tak sanggup. Si pemilik kontrakan akhirnya mengancam: jika tidak bisa melunasinya sesuai tenggat waktu, Bayu, ibunya, dan Cak Jon (Arief Didu) harus angkat kaki.
Ragam permasalahan tutur menghampiri teman-teman Bayu. Yayan (Tututs Thomson) harus menafkahi istrinya—hasil proses taaruf tak lama setelah lulus SMA. Nanto (Brandon Salim) galau karena ayahnya ingin menikah lagi dengan biduanita muda. Doni (Joshua Suherman) masih berkutat dengan kejombloan akutnya.
Band memutuskan untuk meniti karier dengan hijrah ke Bandung. Bayu dipaksa keadaan, serta luluh oleh rayuan seorang manajer bule. Mereka terpaksa memecat Cak Jon. Bukan karena harus pergi dari Malang saja, tapi karena Cak Jon selalu membawa masalah di acara manggung.
Setiap sineas yang berniat menggarap proyek sekuel selalu dihadapkan para tantangan atas kebaruan apa yang ingin dibawa. Bayu Skak, seperti ditulis Kompas.com, menjawabnya dengan mendaku unsur drama Yowis Ben 2 lebih kuat. "Nah, yang kedua ini kami dituntut untuk komedinya kena, dramanya kena, so far dramanya kena banget," katanya.
Namun, terdapat sejumlah permasalahan mendasar dalam bagaimana Bayu mengolah drama di film ini. Pertama, masalah-masalah yang ditujukan untuk mendorong “drama” itu sendiri muncul terlalu instan, sehingga mengesankan si penulis skenario sekedar mengambil jalan pintas.
Misalnya bagaimana Susan memutuskan Bayu dengan teramat enteng. Seakan penulis skenario lupa bahwa perjuangan Bayu untuk merebut hati Susan adalah narasi utama yang menggerakkan cerita di film pertama.
Atau bagaimana si pemilik kontrakan secara baik-baik meminta uang kos kepada ibu Bayu—pelanggan setianya—tetapi tiba-tiba marah sambil mengancam akan mengusir jika ibu Bayu tak melunasi sesuai tenggat waktu.
Problem kedua adalah soal penyajian. Jika ingin memancing respons emosional, sebagaimana hakikat “drama” itu sendiri, mengapa persoalan-persoalan yang dihadapi para tokoh masih didomplengi elemen humor yang kental?
Krisis keluarga Nanto, misalnya. Alih-alih menguatkan kawannya, Bayu, Doni, dan Yayan menonton penampilan panggung calon ibu baru Nanto dengan respons tak simpatik. Mereka terpesona dengan goyangan calon ibu Nanto, sementara Doni berkomentar nakal “kalau begini aku tiap hari main ke rumahmu.”
Saat sedang berjuang di Bandung, band ditipu berkali-kali oleh manajernya sendiri. Pertama, manajer menjanjikan apartemen, tapi yang disediakannya kontrakan sempit. Kedua, band dapat kesempatan tampil di televisi, tapi ternyata mereka jadi pengiring penyanyi dangdut Siti Badriyah sambil berkostum buah-buahan.
Masalah-masalah itu sesungguhnya bisa dieksplorasi lebih dalam untuk menghasilkan serangkaian drama yang layak. Namun, narasi film berkali-kali dibanting setir ke bagian komedi atau sub-cerita yang sifatnya pemanis saja.
Alih-alih menitikberatkan pada idealisme bermain band versus kapitalisasi musik, film justru mengobral perjuangan cinta kedua Bayu dalam merebut hati Asih (Anya Geraldine). Asih adalah mojang berparas cantik sekaligus pemilik usaha martabak asli Bandung. Bayu, lagi-lagi secara instan, menjalin kemesraan dengan Asih melalui alasan superklise: pinjam buku.
Tanpa spoiler pun Anda mampu menebak ending-nya yang serba-bahagia. Semakin membosankan lagi karena film menyelesaikan berbagai problem dengan solusi-solusi yang serba-instan.
Yowis Ben 2 masih terkena “penyakit” film komedi kekinian, yakni menambal lemahnya skenario dengan menghadirkan tokoh-tokoh populer sebagai cameo. Siti Badriyah dan duo YouTuber yang berperan sebagai rapper abal-abal, Jovi dan Dovi, mungkin masih agak mendukung cerita. Namun, Ridwan Kamil dan Gibran Rakabuming Raka? Apa urgensinya?
Sebagai komedi, Yowis Ben 2 cukup berhasil mengolah guyon khas Jawa Timuran. Persis seperti di film pertama. Barangkali karena Bayu sudah kenyang membuat konten humor di kanal YouTube.
Sebagai drama, film ini sayangnya belum mampu menghasilkan respons emosional yang layak—terutama karena alurnya.
Editor: Maulida Sri Handayani