tirto.id - Dilan dan Milea kembali masuk layar lebar. Tentu saja. Siapa yang tidak mau membuat sekual dari film yang meraup 6,3 juta penonton dan diaulat sebagai yang paling laris pada tahun 2018?
Dilan 1990 mengalahkan film-film horor seperti Suzzana Bernapas dalam Kubur (3,3 juta), Danur 2 (2,5 juta), atau Asih (1,71 juta). Dilan 1990 juga mempecundangi nostalgia klasik seperti Si Doel the Movie (1,75 juta), adaptasi serial Wiro Sableng (1,5 juta), atau biografi politik A Man Called Ahok (1,4 juta).
Dilan 1991 diadaptasi dari novel sekuel karya Pidi Baiq, Dilan, Dia adalah Dilanku Tahun 1991. Rumah produksi Falcon Pictures dan Max Pictures masih mempercayakan kursi sutradara kepada Fajar Bustomi. Iqbal Ramadhan dan Vanesha Prescilla juga masih bertugas memerankan Dilan dan Milea.
Permulaan film memperlihatkan kedua sejoli yang jatuh cinta setelah resmi menyandang status pacaran. Kota Kembang diguyur hujan lebat. Milea tidak peduli. Bajunya basah kuyup saat dibonceng Dilan di sepanjang perjalanan pulang sekolah. Ia memeluk kekasihnya erat-erat, seakan dunia milik berdua.
Tatapan Dilan tajam ke depan, bak seorang panglima yang sedang ditugaskan untuk menjaga sang putri. Namun, Dilan juga rajin menghibur pacarnya lewat serangkaian rayuan gombal.
Dilan (D): Aku bisa bikin ujan brenti.
Milea (M): Oh ya?
D: Iya. (melongok ke arah langit) Ujaan.. brentiii!
M: (masih hujan) Mana?
D: Hm, ujannya gak punya kuping nih. Hehe~
M: (senyum-senyum)
Dilan terlihat belum puas. Dan gombalan di atas memang mengandung sekuel.
D: Aku juga bisa brentiin motor ini.
M: Yee, itu kan tinggal direm. Bayi juga tahu.
D: Aku bayi gede dong. Hehe~
M: (tertawa).
Sudah? Rupanya belum.
D: Cita-citamu apa?
M: Jadi pilot. Kalo kamu?
D: Menikahimu (menengok ke belakang, sampai pipi keduanya agak beradu)
Mi: (tersipu malu)
“Cringe”? Saya pun merasa demikian. Persoalannya, saya mesti berhadapan dengan jurus-jurus garing ini di sepanjang film. Alih-alih menerbitkan respons “aww…”, banyak di antaranya yang justru memancing reaksi “apaan sih” (sambil menepuk jidat).
Saya hampir lupa bahwa kalimat rayuan sejenis itulah yang menjadikan novel Dilan: Dia Adalah Dilanku Tahun 1990 laris manis di pasaran, saat pertama kali terbit pada 2014. Nasib serupa dialami novel kedua dan otomatis membuat Pidi Baiq makin dikenal di jagat sastra nasional.
Dilan tiba-tiba hadir sebagai prototipe remaja laki-laki yang ideal menurut stereotip klasik itu: bertampang rupawan, berpenampilan “bad boy”, tapi juga pacar yang menyenangkan. Dilan bukan “common boy”. Ia pribadi yang unik, cerdas, sehingga mudah melelehkan hati incarannya melalui permainan kata.
Tentu saja terdapat perbedaan respons saat membaca gombalan-gombalan itu di novel dan saat Iqbal mengucapkannya dalam film. Bagi saya, secara umum, gombalan di film kedua terasa tidak seistimewa yang pertama.
Apakah karena Dilan adalah karakter yang menjadi kejutan di film pertama sehingga dalam sekuel ia mulai terlihat biasa? Mungkin. Dilan 1990 masih membawa semesta yang sama. Oleh sebab itu, penulis skenario mencoba menyuguhkan konflik baru, misalnya melalui kehadiran Yugo (Jerome Kurnia).
Yugo adalah sepupu jauh Milea yang lama tinggal di Belgia. Kepulangannya ke Bandung membuat Milea gelisah, sebab Yugo menampakkan rasa suka serta usaha-usaha untuk menggaet dirinya.
Di sisi lain, Milea makin tidak suka dengan keikutsertaan Dilan di geng motor. Kata bunda Dilan, karena sudah berstatus pacaran, Milea mesti mulai tegas terhadap Dilan terutama untuk hal-hal yang membahayakan diri Dilan.
Milea hanyalah seorang remaja di masa pubertas. Mentalnya masih rapuh, bahkan saat berhadapan dengan kendala kecil. Namun, ia dibebani tanggung jawab mengurus Dilan dan mesti berurusan dengan kelakuan buruk Yugo.
Pangkal kesialan Milea adalah jatuh cinta dengan teramat dalam dengan pemuda seorang slengekan seperti Dilan. Gombalannya memang menghibur. Pergaulannya memang cair dan luas. Namun, itu semua mesti dibayar dengan harga yang mahal: panglima geng motor Bandung, hobi yang mengancam nyawa.
Dilan bisa tiba-tiba dikeroyok sampai bonyok oleh lawan-lawannya. Milea jengkel dan menegaskan kembali permintaannya agar Dilan tidak lagi ikut geng motor. Dilan tak menurut. Ia tak mau dikekang, padahal keikutsertaan dalam konflik antar-geng sampai menyeretnya ke balik jeruji besi.
Dari cerita ayah Milea yang seorang pensiuanan tentara, ayah Dilan juga aktif di militer. Lebih tepatnya anggota Kostrad yang ditugaskan ke Timor Timur. Ini fakta sejarah yang membuat film menarik. Namun, ayahnya juga kewalahan menghadapi Dilan. Ia tidak mau membebaskannya dari penjara agar Dilan jera.
Situasi ini membuat Milea semakin stres. Mula-mula ia hanya menampilkan air muka gelisah. Lama-kelamaan ia muak. Di satu adegan, ia mengancam putus jika Dilan tidak menghentikan hobinya. Namun, Dilan terus membandel, sementara Milea pulang dengan linangan air mata.
Berbeda dengan film pertama, Dilan 1991 adalah panggung tangisan Vanesha Prescilla. Ia remaja yang belum bisa konsisten dengan sikapnya sendiri. Berkali-kali ia segera menyesal setelah mengancam putus.
Anda tentu ingat bagaimana Christopher Nolan “membanting-banting” mental Bruce Wayne (Christian Bale) dalam trilogi The Dark Knight. Milea mengalami nasib yang sama. Lebih tepatnya, seperti dipaksa naik roller coaster. Ia sebentar-sebentar jatuh cinta, sebentar-sebentar dipatahkan hatinya.
Sialnya, pelakunya bukan Dilan seorang. Ada seorang guru Bahasa Indonesia bernama Dedi (Ence Bagus). Ia naksir berat dengan Milea dan pada suatu hari mengirimnya surat yang berisi puisi.
Seharusnya lucu. Dilan dan kawannya pun tertawa. Namun, bagi seseorang yang sedang mendapat banyak masalah, Dedi adalah sosok pengganggu yang “creepy”.
Bayangkan, ia adalah orang dewasa yang berstatus sebagai guru, tapi kerjaannya bikin situasi menjadi amat tak nyaman bagi murid perempuan yang ditaksirnya, terutama karena ia terus-terusan menatap di setiap ada kesempatan.
Tak lupa juga ada Yugo—laki-laki mesum yang paling Milea benci. Yugo mencoba merangkulnya saat diajak nonton film di bioskop. Saat gagal, Yugo justru makin nekat dengan mencium Milea. Milea tentu saja kabur, lagi-lagi dengan linangan air mata.
Klimaks kegilaan Milea terjadi saat Yugo dan ibunya datang ke rumah Milea untuk meminta maaf. Milea belum sempat menjabat tangan Yugo saat Dilan tiba-tiba datang. Ia saat itu baru dibebaskan dari penjara dan langsung pergi untuk menemui Milea.
Milea tiba-tiba histeris. Ia bangkit dari tempat duduk. Pipinya banjir air mata sambil sesenggukan menggandeng tangan Dilan yang masih berdiri di depan pintu, lalu berteriak ke orang-orang seisi rumah:
“Bilang ke mereka, Dilan! Bilang ke dunia bahwa kamu adalah pacarku!”
Saya bengong. Dilan apalagi. Tapi Dilan menurut. Dengan terbata-bata ia mengucap kalimat, “Saya adalah pacar Milea.”
Setelah adegan dramatis berakhir, Milea bisa tenang. Ia diajak Dilan pacaran di bangku samping rumah. Malam yang menyenangkan—sebelum keesokan harinya Dilan kembali berulah dan Milea kembali berurai air mata.
Pada akhirnya, Dilan 1991 tidak terasa sebagai drama-romantis, tapi film thriller-psikologis tentang evolusi kegilaan seorang Milea. Milea hanya terlihat bahagia di awal film, lalu lama-kelamaan mentalnya terganggu. Dari yang awalnya dibawa terbang ke awan cinta, lalu dihempaskan keras ke jurang depresi.
Pelajaran moralnya: hati-hati jika ingin menjalin hubungan dengan “badboy”, jika tidak ingin terbebani tanggung jawab moral (dan mental) saat Anda berupaya mengubah si pasangan agar menjadi “goodboy”.
Bagaimana jika kebahagiaan-kebahagiaan manis itu, kenangan-kenangan indah itu, hanya bisa didapatkan dari pria-pria slengekan seperti Dilan? Pilihan ada di tangan Anda. Barangkali, siap-siap tisu saja.
Editor: Maulida Sri Handayani