tirto.id - Andika Pandu Puragabaya sudah lebih dari empat tahun menjadi anggota DPR RI. Ia salah satu politikus muda Gerindra yang memenangi "Dapil panas" Yogyakarta pada Pemilihan Legislatif 2014. Saat itu usianya baru 27 tahun.
Pada usia semuda itu, Pandu memutuskan terjun ke politik elektoral dengan alasan masih sedikit anak muda yang mau berpolitik. “Politik itu untuk kepentingan banyak orang, untuk masyarakat. Kalau anak muda anti-politik, bagaimana dia membawa perubahan untuk masyarakat?” alasan Pandu.
Di daerah pemilihan Yogyakarta, Pandu harus bersaing dengan Ketua Umum Gerindra saat itu, Prof. Suhardi, dan menantu Sri Sultan Hamengkubuwono X, KPH Wironegaro. “Anak muda itu punya gagasan baru, semangatnya baru. Itu tawaran untuk pemilih Milenial,” Pandu mengklaim keunggulannya.
Pandu adalah satu dari 414 calon legislatif yang berusia di bawah 30 tahun dalam Pileg 2014. Jumlah caleg muda pada gelanggang politik pemilihan lima tahun lalu sekitar 6,5 persen dari total 6.397 caleg.
Situasi itu berbeda pada 2019. Berdasarkan data yang diolah tim riset Tirto.id, ada 878 caleg muda berusia di bawah 30 tahun, atau meningkat lebih dari 100 persen dari Pileg 2014. Caleg termuda berusia 21 tahun. Jumlah caleg muda ini sekitar 11 persen dari total 7.968 caleg.
Ratusan caleg muda itu tersebar pada semua partai. Partai Solidaritas Indonesia menjadi partai yang paling banyak mengusung caleg muda dengan 171 caleg, disusul oleh Partai Garuda (84), Partai Persatuan Pembangunan (81), Partai Kebangkitan Bangsa (78), Partai Amanat Nasional (58), Gerindra dan Perindo (masing-masing 56), serta NasDem (52).
Sisanya adalah partai yang mengusung kurang dari 50 caleg muda. Golkar memiliki 45 caleg, Hanura (37), Partai Berkarya (35), PDIP (34), PKS (31), Demokrat (24), Partai Bulan Bintang (21), dan PKPI (20).
Berebut Klaim 'Partai Anak Muda'
PSI terlihat menjadi partai yang paling banyak mengakomodasi anak muda dalam politik elektoral. Sebagai partai pendatang baru, nyatanya PSI tak hanya mengumbar klaim sebagai "partai anak muda". Mereka mempraktikannya.
Tawaran PSI yang mengusung jargon sebagai 'saluran parpol anak muda' itu yang membuat banyak anak muda turut bergabung, salah satunya Tsamara Amany Alatas, kini salah satu Ketua DPP PSI.
“PSI menawarkan kebaruan bernama politik anak muda. Tak heran jika saya pun kepincut,” tulis Tsamara beberapa saat setelah memutuskan bergabung dengan PSI.
Juru bicara PSI Rian Ernest mengatakan sebenarnya tidak ada prioritas untuk anak muda menjadi caleg PSI. “Proses [rekrutmen caleg] terbuka. Semua bisa melihat karena kami siarkan secara langsung. Mereka mendaftar online, dan memang banyak anak muda yang tertarik bergabung,” katanya.
Partai yang juga mengklaim sebagai 'partai anak muda' adalah Partai Garuda. Mereka merekrut banyak anak muda sebagai caleg dengan alasan potensi suara Milenial pada Pemilu 2019.
Sekretaris Jenderal Partai Garuda Abdullah Mansuri mengklaim banyak caleg muda di partainya karena memperhitungkan suara kaum muda dalam politik. “Anak muda itu harapan untuk membawa perubahan. Itu sesuai visi Partai Garuda.”
Soal caleg muda, ada dua partai Islami yang berupaya memasarkan diri sebagai 'partai anak muda' sejak 2014, yakni PPP dan PKB. Dua partai ini sama-sama dipimpin oleh ketua umum berusia muda, yakni Rohmahurmuziy (44 tahun, tidak lagi menjabat setelah ditangkap KPK pada Maret 2019) dan Muhaimin Iskandar (52 tahun).
Sebelum PSI berdiri, PKB adalah partai yang paling banyak mengakomodasi caleg berusia di bawah 30 tahun. Saat itu PKB merekrut 74 caleg muda, disusul PPP (53) dan Gerindra (52).
Sementara PKPI, yang dipimpin Diaz Hendropriono (40 tahun) menggantikan ayahnya, A.M. Hendropriyono, justru tidak merekrut caleg muda dibandingkan 15 partai nasional lain.
Upaya Menjaring Pemilih Milenial
Berebut merek 'partai anak muda' tak lepas dari upaya menjaring suara pemilih Milenial. Menurut survei politik LIPI, ada sekitar 35 persen sampai 40 persen pemilih dalam Pemilu 2019 yang didominasi oleh Generasi Milenial.
"Atau jumlahnya sekitar 80 juta dari 185 juta pemilih," kata Koordinator Pusat Peneliti Politik LIPI Sarah Nuraini Siregar, akhir Desember 2018.
Para parpol pun meyakini jargon bahwa caleg anak muda akan dipilih oleh anak muda juga. Logika macam ini setidaknya akan dipakai oleh beberapa elektorat muda pada pemilu mendatang.
Misalnya Martin Siahaan, aktivis muda asal Riau, yang kini menetap di Jakarta. Ia berencana memilih caleg muda pada Pileg 2019. Menurutnya, sudah saatnya anak muda meneruskan kepemimpinan generasi tua yang sudah ketinggalan zaman.
“Saya akan memilih caleg muda. Kalau yang tua lagi yang berkuasa, kapan akan ada perubahan?” katanya, retoriik.
Hal serupa diucapkan oleh Laras, anak muda di Yogyakarta. “Saya akan pilih yang terlihat muda dan mukanya meyakinkan,” katanya. Meski ia belum tahu siapa caleg yang akan diplilihnya, tapi ia memastikan akan menggunakan hak pilih pada 17 April mendatang.
Preferensi anak muda memilih caleg anak muda setidaknya pula diyakini oleh Sekjen Partai Garuda Abdullah Mansuri. “Kami ingin menjaring pemilih pemula yang cukup besar, yang dalam beberapa pemilu terakhir tidak datang ke bilik suara dan tidak menentukan pilihan. Ini sebenarnya targetnya. Agar menggugah pemilih Milenial datang ke bilik suara dan memilih Partai Garuda,” alasan Mansuri.
Perubahan demografi Indonesia, yang semakin gembrot pada rentang penduduk usia muda, juga menjadi perhatian Wakil Sekjen Partai Amanat Nasional Faldo Maldini. “Kami sendiri melihatnya justru positif. Karena anak muda jadi banyak yang mau terlibat di politik. Ini harus dilihat sebagai potensi,” kata politikus berusia 30 tahun ini.
Menurut survei CSIS tentang Milenial dan orientasinya pada isu sosial, ekonomi, dan politik, kesulitan paling utama yang dirasakan bagi Milenial adalah terbatasnya lapangan pekerjaan, di atas kesulitan lain seperti tingginya harga sembako. Survei CSIS yang dirilis pada akhir 2017 itu mengelompokkan usia Milenial antara 17-29 tahun.
Survei yang sama menyebut partai politik yang tingkat popularitasnya tinggi bagi kalangan Milenial adalah PDIP, Golkar, Demokrat, Gerindra, PAN, Perindo, dan NasDem. Sementara untuk tingkat elektabilitas partai politik, pemilih Milenial memperhitungkan PDIP, Gerindra, Demokrat, Golkar, Perindo, PKB, dan PKS.
Pada akhir Maret 2019, pelbagai lembaga survei telah menyelesaikan sigi tingkat elektabilitas parpol. Hasilnya, baik itu oleh survei Litbang Kompas, CSIS, maupun Charta Politika dan Indikator, parpol-parpol lama tetap berpotensi mengungguli parpol level menengah dan bawah.
Menurut hasil survei mereka, tiga parpol teratas akan diisi oleh PDIP, Gerindra, dan Golkar. Sementara empat parpol lain yang berpotensi lolos ke parlemen dan melewati ambang batas 4 persen adalah PKB, Demokrat, PKS, dan NasDem. Adapun partai lama seperti PPP dan PAN berada di belakang mereka tetapi berisiko tak mencapai ambang batas 4 persen.
Dari hasil survei pelbagai lembaga sigi itu, parpol-parpol baru seperti PSI, Perindo, Garuda, dan Berkarya kesulitan lolos ke parlemen, termasuk partai lama seperti Hanura, PBB, dan PKPI.
Survei-survei itu juga menunjukkan banyak caleg muda, terutama dari PSI, Garuda, PPP, PAN, dan Perindo berpotensi gagal duduk di kursi empuk parlemen.
Hitung-hitungan itu terutama dipengaruhi oleh popularitas dan mesin partai yang mengusung mereka.
Gagalnya strategi mendulang suara lewat caleg muda ini tak lepas dari problem caleg muda yang memaksakan diri padahal kualitas tidak memenuhi. Itu pula yang jadi pertimbangan pemilih muda.
“Saya tidak akan pilih asal muda, tapi kualitas juga. Saya lihat beberapa caleg muda itu datang entah dari mana, mungkin sekadar memenuhi kuota,” kata Syafii, anak muda asal Yogyakarta.
Itu pula yang diungkapkan oleh Mangatta Toding Allo, anak muda asal Toraja yang kini tinggal di Jakarta. Menurutnya, kualitas tetap harus menjadi syarat utama.
“Kalau aku akan pilih yang rekam jejaknya bagus. Kalau anaknya politisi, anak pejabat, masih muda, lalu jadi caleg, tapi enggak punya track record, itu masalah,” katanya.
Kondisi itu membuat caleg muda sebagai bagian strategi partai untuk menggaet pemilih muda pada akhirnya kehilangan esensi. Caleg muda menjadi tak lebih sebagai umpan yang setengah matang: menjadi harapan partai pun gagal, menjadi harapan perubahan apalagi.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam