tirto.id - Lini Zurlia (31 tahun), merasa tak nyaman ketika datang ke salah satu tempat tongkrongan di Jakarta pada Selasa malam, 2 April 2019. Ketidaknyamanan itu lantaran banyak pengunjung yang tiba-tiba melihat ke arah dirinya dengan tatapan aneh, heran, dan bertanya-tanya.
Padahal, Lini datang ke tempat itu bukan sekali dua kali saja. Namun, baru saat itu ia merasa tidak nyaman karena disoroti secara ramai-ramai.
“Mungkin karena aku datang ke bar itu setelah twit-ku di Twitter mengenai golput goes viral. Yang retweet twit-ku dengan tone negatif kebetulan adalah teman-temanku yang mungkin dari kelas menengah ke atas yang merasa enggak nyaman dengan twit-twit-ku mengenai golput," kata Lini saat dihubungi wartawan Tirto, Rabu (3/4/2019).
“Dan memang hampir sebagian besar pengunjung bar itu adalah kenalanku juga, inner circle-lah,” kata Lini menambahkan.
Lini menduga, cara pandang orang-orang yang ada di dalam tempat nongkrong malam itu berbuah dari twitnya yang viral mengenai golput yang berakhir menjadi atensi publik. Sebab, kata dia, respons dari twit-nya itu beragam: ada yang setuju, tapi tak berani mengutarakan hingga mereka yang tak sependapat dan akhirnya mem-bully Lini.
“Sebelum-sebelumnya sih enggak peduli saja ketika masuk ke dalam bar itu, tapi malam itu aku ngerasa cara pandang orang-orang beda ke aku," kata dia.
Respons yang menerpa akun Twitternya muncul tak hanya lewat fitur "replying", tapi juga "Direct Massage". Lini mengaku banyak pihak yang mengirimnya DM dalam bentuk dukungan karena selama ini suara-suara orang itu belum tersuarakan ke publik.
Namun, lanjut Lini, tak sedikit juga yang mengirimnya DM berisi maki-maki: mulai dari "golput itu adalah pengecut", hingga penggunaan diksi-diksi alat kelamin.
"Tapi aku enggak peduli. Aku lebih peduli ke mereka yang banyak support, tapi enggak berani via reply, akhirnya via DM saja. Takut kena juga imbasnya juga mungkin," kata dia menambahkan.
Selain itu, Lini menilai serangan dan stigma yang diberikan kepada pemilih golput yang menyuarakannya di media sosial juga beda perlakuan antara lelaki dan perempuan. "Kalau laki-laki paling hanya disebut apatis, apolitis, pengecut," kata dia.
Namun, kata Lini, perlakuan dan kata-kata berbeda akan diterima oleh perempuan bila menyuarakan golput.
Lini menirukan beberapa kalimat, di antaranya: "Cantik juga enggak, mau sok-sokan golput." "Bedakan dulu kali baru ngomong golput." atau "Kalau cantik mah enggak bakal jadi model golput."
"Perlakuannya kalau ke perempuan itu seksis sekali. Sudah enggak nyambung dan enggak relevan ngomongin golput," kata Lini.
Hal serupa juga pernah dialami Indri Muin (24 tahun), karyawan yang bekerja di salah satu perusahaan swasta di Jakarta Selatan. Ia pernah mengaku untuk golput pada pilpres tahun ini ke beberapa temannya.
Lantas, kata Indri, teman-temannya langsung mengingatkan dirinya akan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan pemilih yang bersikap golput pada pemilu.
"Tuh, Ndri, golput itu haram. Enggak takut dosa?" kata Indri menirukan salah seorang temannya saat dihubungi reporter Tirto.
Indri merasa apa yang dilakukan teman-temannya sudah berlebihan. Ia menilai, teman-temannya seperti mengintervensi pilihan politik yang ia pilih.
"Kamu kenapa milih golput? Memangnya kalau satu suara golput dari kamu bakalan ngaruh? Apa ngaruhnya? Memang dari kedua kandidat enggak ada yang mendingan? Memangnya yang kerja 5 tahun ini enggak cukup meyakinkan?” kata Indri menirukan teguran temannya.
“Dari omongannya cenderung ngebelain Jokowi,” kata Indri.
Hal serupa juga pernah dialami Nuy Lestari (26). Perempuan yang tergabung dalam organisasi Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI) ini bahkan pernah dianggap sesat karena pilihan politiknya untuk golput.
"Saya dianggap sesat. Dan disuruh baca-baca lagi buku-buku teori pengantar politik. Bahkan bawa-bawa Karl Marx yang bilang enggak pernah ngajarin golput. Kan lucu," kata Nuy saat dihubungi reporter Tirto, Rabu siang.
“Golput itu pilihan politik sesat, dan berpotensi menyebabkan kekacauan ke depan," kata Nuy menirukan komentar teman yang menegurnya.
“Namun, setelah diusut, yang ngotot nuduh sesat ternyata pendukung paslon 01,” kata Nuy sembari tertawa.
Nuy berpendapat, golput merupakan hak demokrasi setiap warga negara. Golput muncul sebagai ekspresi kemuakan atas sistem politik "yang isinya itu-itu saja, keluarga itu-itu saja, dan kelompok itu-itu saja.”
Ia menambahkan “soal anggapan yang menyebut golput itu sesat, dungu, apolitis, menurutku itu gejala kecemasan para elit politik yang takut kehilangan kepercayaan publik.”
Muncul Karena Kekecewaan Atas Hak Publik
Direktur Kantor Hukum HAM Lokataru Haris Azhar melihat tindakan persekusi dan intimidasi secara digital dan verbal kepada mereka yang memilih golput semakin menegaskan bahwa sikap politik golput itu relevan.
Sebab, Haris menilai, semakin kaum golput diserang, hal itu berarti makin menunjukkan betapa pentingnya masyarakat untuk golput.
"Kenapa golput penting? Karena memang 01 sama 02 enggak simpatik pada publik. Enggak simpatik pada real problem, masalah yang utama dari kekuasaan, kekuasaan harus ngapain sih? Kalau pakai basis konstitusi, kekuasaan itu harus ngurusin haknya publik haknya rakyat,” kata Haris.
“Nah, yang begitu-begitu dilanggar, enggak diurusin, lu saja begitu, kampanye dan berdebat enggak ada yang ngomongin urusan publik, ngomongin soal identitasnya masing-masing saja atau kapasitasnya masing-masing,” kata Haris saat ditemui reporter Tirto, Rabu sore.
Haris melihat dan menduga bentuk intimidasi dan kecaman terhadap kaum golput itu muncul dari kubu 01 Jokowi-Maruf. Ia menilai karena menguatkannya angka golput itu berarti menggerus angka kemenangan mereka.
"01 kayaknya makin hari, makin turun, itu larinya ke golput mereka agak-agak panik kayaknya. Yang jual benih antigolput banyakan orientasi, kan, 01, Hendropriyono, Wiranto, Megawati, Franz Magnis-Suseno, sama MUI, mungkin karena ada Ma'ruf Amin [di] 01," kata Haris melanjutkan.
“Kalau 02, kan, sebetulnya itu-itu saja di survei, 22 sampai 28 persen. Orang-orang 02 itu, makin hari kayak masak dodol saja, makin kentel," kata Haris sembari tertawa.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz