tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan anggota Komisi VI DPR Bowo Sidik Pangarso sebagai tersangka kasus suap kerja sama pengangkutan untuk distribusi pupuk menggunakan kapal milik PT. Humpuss Transportasi Kimia, Kamis (26/3/2019) kemarin.
Bowo diduga menerima uang dari Manager Marketing PT Humpuss Asty Winasti melalui orang suruhannya yang bernama Indung. Bowo dikatakan menerima uang total Rp221 juta dan 85.130 dolar AS lewat tujuh kali pemberian. Kedua orang itu pun telah ditetapkan sebagai tersangka.
Bowo diduga telah mengumpulkan duit haram dari sejumlah pihak lainnya sehingga total uang yang diterima mencapai Rp8 miliar.
Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan menjelaskan, saat penyidik KPK menemukan uang tersebut, uang itu telah dimasukkan ke dalam amplop yang masing-masing berisi pecahan Rp50 ribu atau Rp20 ribu. Jumlah amplop mencapai 400 ribu dan seluruhnya dimasukkan ke dalam 84 kardus besar.
Rencananya, uang itu digunakan sebagai untuk "serangan fajar" pada hari H Pemilihan Legislatif pada 17 April mendatang. Bowo memang mencalonkan diri jadi anggota legislatif melalui Partai Golkar di daerah pemilihan Jawa Tengah II.
"Di tengah upaya KPK dan sejumlah partai politik mewujudkan politik yang bersih dan berintegritas, hal-hal transaksional seperti ini terjadi. KPK sangat menyesalkan kejadian ini," kata Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Kamis malam.
Potensial Marak Terjadi?
Peneliti korupsi politik dari Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina menilai kasus Bowo Sidik hanyalah puncak gunung es. Ia menilai, praktik politik uang sangat potensial terjadi di Pemilu 2019 ini, bahkan mungkin lebih masif dari Pemilu 2014.
Almas mengatakan demikian lantaran ada ambang batas parlemen atau parliamentary threshold sebesar 4 persen pada Pemilu 2019. Ambang batas itu berpotensi mendorong caleg semakin all-out dalam menarik suara calon pemilih mereka atau partainya.
"Baik menggunakan cara-cara yang legal maupun cara-cara yang ilegal," kata Almas kepada reporter Tirto, Jumat (28/3/2019).
Sepanjang masa kampanye ini, kata Almas, Bawaslu sudah banyak menangani kasus politik uang. Pada Februari lalu, Bawaslu mencatat ada 28 kasus pelanggaran Pemilu yang telah diputus. Paling banyak merupakan kasus politik uang.
Direktur Eksekutif Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, kasus Bowo Sidik menjadi tamparan keras bagi upaya menciptakan pemilu bersih di Indonesia. Kasus ini sekaligus mengonfirmasi kalau praktik politik uang masih berjalan.
"Kasus ini mengkonfirmasi praktik yang selama ini terjadi namun sulit untuk diberantas," kata Titi saat dihubungi Tirto.
Banyak faktor, kata Titi, jadi penyebab politik uang di akar rumput masih terus terjadi. Salah satunya ialah minimnya pengawasan dan penegakan hukum dari lembaga penyelenggara Pemilu.
Dalam kasus suap terhadap Bowo yang uang suapnya bakal dipakai untuk serangan fajar, Titi menyebut, partai politiklah yang paling bertanggung jawab. Ia menilai, sebagai pengusung, partai seharusnya memiliki tanggung jawab moral untuk menyediakan calon yang terbaik bagi pemilih.
Namun apa yang terjadi justru partai seolah menutup mata soal langkah pemenangan yang diambil calegnya. Ia menilai, partai justru tampak bersikap oportunistis demi mendapatkan kursi di parlemen.
"Jadi kalau partai betul-betul punya komitmen untuk mengontrol dan mengawasi, pasti itu bisa ditekan, tapi praktiknya partai itu oportunis aja membiarkan caleg bekerja dengan cara-cara ilegal sekalipun," ujarnya.
Mendorong Golput
Baik Almas maupun Titi keduanya sepakat kasus Bowo Sidik dapat menggerus kepercayaan publik pada calon anggota legislatif. Selain itu, praktik politik uang dinilai makin mendorong apatisme politik, sebab Pemilu dianggap tidak akan menciptakan perubahan berarti.
"Kasus ini akan semakin menggerus kepercayaan orang terhadap pemilu dan kandidat," kata Almas.
Oleh sebab itu, Titi menilai seluruh pihak yang terlibat dalam Pemilu harus merespon kasus dengan kasus ini dengan tepat. Hal ini diperlukan agar hal yang tidak diinginkan itu tidak terjadi.
"Parpol dan kadernya harus membuktikan diri kalau mereka bukan bagian dari kejahatan tersebut," kata Titi.
Selain itu, ia mengakui pemilu memang memiliki masalah yang kompleks, seperti hoaks, golput, dan politik uang. Untuk itu, menurutnya pemerintah tidak boleh lagi melihat masalah yang kompleks tersebut secara parsial,.
"Kalau angka pengguna hak politiknya tinggi, tapi itu terjadi akibat praktik politik uang, ya, tidak ada maknanya," kata Titi.
Sementara itu, Juru Bicara Tim Kampanye Nasional Jokowi-Ma'ruf Amin, Arya Sinulingga tidak melihat bahwa elite politik yang memakai politik uang bisa menjadi biang kerok golput. Sebaliknya, masyarakat bisa semakin yakin untuk memilih calon yang bersih pada pemilu serentak 2019 nanti.
"Money politic [politik uang] harus dilawan sama-sama, datang ke TPS, kita pilih yang enggak money politic. Jangan golput. Nanti yang menang malah yang money politic. Indonesia makin hancur kalau nanti yang menang malah yang money politic," kata Arya kepada Tirto, Jumat (29/3/2019).
Arya menegaskan bahwa siapapun yang kedapatan melakukan money politic sebaiknya tidak dipilih. Namun dia tidak menyangkal bahwa masih ada elite partai yang bertindak curang untuk memenangkan posisinya.
"Jangan golput, jangan terjebak dengan money politic," ucapnya sekali lagi.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Mufti Sholih