tirto.id - “Ma'ruf Amin itu milenial juga, dan milenial itu bukan masalah umur [tapi] masalah perbuatan, sikap. Jadi itu bagian dari kombinasi antara nasionalis-religius," kata Ketua Umum Partai Hati Nurani Rakyat Oesman Sapta Odang beberapa waktu lalu.
Dengan klaim soal milenial pula, Presiden PKS Sohibul Iman berkomentar Sandiaga Uno. Menurutnya, Sandiaga sebagai cawapres, yang "walaupun berpenampilan stylish, milenial" tapi dapat disebut "berpegang teguh ajaran Islam." Ia pun menambahkan, "insyaallah, Sandiaga adalah santri di abad milenial."
Kedua kelompok kontestan itu seperti bersepakat, yang penting ada citra milenialnya. Saking pentingnya milenial dalam spektrum Pemilihan Presiden 2019 mendatang, Lingkar Survei Indonesia (LSI) memberi porsi khusus dalam rilis surveinya. Lembaga itu menyebut bahwa tingkat keterpilihan Prabowo-Sandiaga di responden berkategori milenial (berusia antara 17-39 tahun) hanya sebesar 29,5 persen.
Sementara itu, pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin mendapatkan dukungan sebesar 52,7 persen. Survei dilakukan LSI pada 12-19 Agustus dengan melibatkan 1.200 responden.
Apa sebenarnya kelompok milenial?
Menurut Proyeksi Penduduk Indonesia dari Badan Pusat Statistik (BPS), mereka yang berusia 20-34 tahun akan disebut secara sederhana sebagai kelompok milenial. Laporan memperlihatkan bahwa kelompok usia itu, setidaknya, akan menyumbang 23,95 persen dari total populasi Indonesia pada 2018. Pada 2018, BPS memproyeksi jumlah penduduk Indonesia mencapai 265 juta jiwa.
Pada 2019, jumlah mereka diproyeksi sebanyak 23,77 persen dari total populasi Indonesia yang mencapai 268 juta jiwa. Artinya, hampir seperlima penduduk di Indonesia adalah kelompok milenial.
Pemilu 2019 akan diikuti oleh 185.732.093 pemilih dalam negeri dan 2.049.79 pemilih luar negeri. Data tersebut adalah data Rekapitulasi Daftar Pemilih Tetap (DPT) Pemilu 2019 yang diperoleh Tirto dari KPU. Angka DPT itu jumlahnya tidak jauh berbeda dengan proyeksi data BPS untuk jumlah penduduk untuk usia produktif (20-75 tahun) pada 2019, yakni 175.144.400 jiwa.
Dengan asumsi berimpitannya proyeksi BPS dengan DPT, data proyeksi BPS dapat dipergunakan dalam menentukan proyeksi jumlah kelompok milenial. Melihat data ini pula, dapat disimpulkan bahwa pemilih muda berpotensi menentukan suara dalam partisipasi Pemilu 2019. Kelompok milenial setidaknya menyumbang 23 persen dari total keseluruhan suara pada Pemilu 2019: potensi 42 juta suara DPT dalam negeri dan 42 ribu suara DPT luar negeri.
Peta Sebaran Milenial
Fokus pada perolehan suara kelompok milenial tentu membutuhkan informasi peta geografis persebaran mereka, di wilayah provinsi manakah kelompok milenial berada. Masih berdasarkan data proyeksi BPS, konsentrasi kelompok milenial dominan berada di Pulau Jawa. Wilayah ini menyumbang setidaknya 53,95 persen dari seluruh total suara kelompok milenial di Indonesia atau 35 juta suara.
Angka itu berasal dari Jawa Barat yang ditinggali 18,77 persen kelompok milenial (11 juta penduduk), disusul Jawa Timur sebesar 13,80 persen (8 juta penduduk), dan Jawa Tengah sebesar 11,91 persen (7 juta penduduk).
Wilayah Banten dan DKI Jakarta menempati posisi kelima dan keenam, dengan proporsi masing-masing 5,23 (3 juta penduduk) dan 4,25 (2 juta penduduk) persen. Total jumlah milenial di Jawa sudah signifikan dan menggoda bagi para elite politik dalam strategi mendapatkan suara dalam Pemilu 2019.
Sumatera Utara tercatat memiliki 5,34 persen (3 juta suara penduduk) kelompok milenial yang membuatnya berada di posisi keempat di seluruh Indonesia, dan menduduki posisi pertama di pulau Sumatera.
Sementara itu, wilayah Sulawesi Selatan tercatat memiliki 3,34 persen (2 juta penduduk) kelompok milenial dan merupakan persentase terbanyak di Sulawesi.
Lantas, apa pengaruhnya angka dan jumlah kelompok milenial tersebut, terutama dalam pemilu? Dalam riset yang berkembang selama ini, kelompok milenial acapkali dicitrakan sebagai kelompok diri yang otonom dalam menentukan sesuatu. Namun, benarkah asumsi itu?
Milenial: Karakter yang Tidak Bisa Digeneralisasi
Dalam "Old Society, New Youths: An Overview of Youth and Popular Participation in Post-Reformasi Indonesia" (PDF), Jonatahna Chen dan Emirza Adi Syailendra mencatat bahwa tidak ada deskripsi yang secara utuh dapat menggambarkan karakteristik kelompok milenial.
Ada yang menggambarkan mereka berkarakter liberal dan sekuler, tapi ada pula yang mendeskripsikan mereka religius yang cenderung konservatif. Bahkan, ada yang menyebut bahwa mereka apatis dan pasif terhadap dinamika politik, juga kurang rasa nasionalisme. Jika benar demikian, tentu suara mereka dalam pemilu tidak mudah diasumsikan menjadi satu karakteristik dan "diolah" menjadi satu kecenderungan suara tertentu.
Dalam studi Vianne B. Murcia dan Ritz Larren T. Bolo berjudul “Millennial Voters Preference for the 2016 Philippine Presidential Elections: A Simulation Using Conjoint Analysis” (PDF), disebut bahwa kelompok milenial di Filipina cenderung memilih calon presiden yang berlatar belakang ekonomi, pernah memimpin, berpikiran liberal, serta memiliki tingkat pendidikan setara jenjang doktoral. Studi mereka dilakukan terhadap 900 orang dan berkonteks pemilihan presiden Filipina 2016.
Sementara itu, survei dari Centre For Strategic and International Studies (CSIS) (PDF) periode 23-30 Agustus 2017 menunjukkan kelompok milenial di Indonesia cukup optimistis terhadap masa depan.
Mayoritas respondennya, sebanyak 82,5 persen, optimis terhadap kemampuan pemerintah meningkatkan pembangunan. Sebanyak 75,3 persen juga optimistis terhadap kemampuan pemerintah meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meski bisa dibaca bahwa kelompok milenial Indonesia cenderung mendukung status-quo, data tersebut juga menunjukkan bahwa anak muda tidak apatis terhadap situasi politik.
Bertolak dari survei tersebut, tidak salah jika kandidat capres dan cawapres berusaha memenangkan hati dan suara kelompok milenial itu. Apalagi dengan potensi jumlah suara mereka di pemilu nanti, meski suara mereka tidak mudah ditebak.
Preferensi politik mereka bisa jadi berubah mengikuti bagaimana arah kampanye politik, bagaimana kandidat pemimpin merepresentasikan dirinya, hingga konsolidasi organ partai politik dan penggalangan massa.
Editor: Maulida Sri Handayani