tirto.id - “Saya punya niatan, kenapa tidak?”
Kalimat itu jadi salah satu alasan Ardhia Prameswari Regita Cahyani memutuskan menjadi calon legislatif di DPR RI dari Dapil Jawa Timur I (Surabaya dan Sidoarjo). Niat untuk melakukan perubahan di daerah itu yang membulatkan tekadnya terjun ke politik.
Ardhia baru akan berusia 22 tahun pada Agustus mendatang. Karena usianya yang masih belia itu, ia menjadi caleg termuda di Partai Gerindra, nomor dua termuda di antara total 7.968 caleg dalam Pemilu 2019.
Ia mendaftar langsung ke Dewan Pimpinan Pusat Gerindra di Jakarta. Tak ada satu pun kenalan atau kerabat di Gerindra yang membantunya. Bahkan pengalaman organisasi di partai pun tak pernah ada. Modalnya niat dan rasa percaya diri.
“Dapat nomor urut itu tanpa mengeluarkan uang, jadi itu suatu kebanggaan tersendiri buatku. Meskipun aku masih muda, sudah bisa dapat nomor urut sendiri tanpa ada biaya,” katanya.
Abdul Hakim Bafagih, caleg muda PAN di Dapil Jatim VIII (Jombang, Madiun, Mojokerto, dan Nganjuk) punya cerita berbeda dari Ardhia. Ia tidak berangkat dari nol seperti halnya Ardhia. Ia menjadi caleg setelah ditawari ayahnya, Ketua DPD PAN Kota Kediri.
“Ya diajarilah, jangan dilepas,” kata Abdul Hakim saat menerima tawaran ayahnya.
Politik sebenarnya bukan barang baru buatnya, tapi ia merasa belum punya banyak pengalaman. Ia masih muda. Usianya baru 26 tahun. Satu-satunya pengalaman politiknya adalah terlibat dalam tim kampanye Wali Kota Kediri, Abdullah Abu Bakar, yang tak lain adalah kakaknya.
Jaringan patronase via keluarga itulah yang mendorongnya terjun ke politik elektoral. Dan, pada pencalonan pertamanya sebagai legislator, Abdul Hakim langsung mendapatkan nomor urut 2.
Dua cerita tentang caleg muda itu memiliki perbedaan besar. Ardhia menjadi caleg dari nol, sedangkan Abdul Hakim memulai semuanya dengan mudah karena privilese keluarga. Ardhia harus berjuang untuk mendapatkan nomor urut, Abdul Hakim hanya cukup menerima penawaran dari ayahnya.
Dua caleg muda itu adalah gambaran kontras dari caleg muda berusia di bawah 30 tahun yang kini tengah bertarung merebut kursi empuk di Senayan. Ada caleg muda yang memang merintis karier politik dari bawah, ada pula yang berkat “hak istimewa” keluarga.
Memang tak semua caleg muda memiliki privilese, tapi mereka yang punya keistimewaan berkat posisi dan jaringan keluarganya mendapatkan posisi yang empuk.
Caleg Muda yang punya Modal Privilese
Dari 878 caleg muda berusia di bawah 30 tahun pada Pemilu 2019, ada 160 orang mendapat nomor urut 1 dan 2. Nomor urut 1 dan 2 biasanya diberikan kepada caleg prioritas untuk menang. Sebagian dari caleg muda yang mendapatkan nomor urut 1 dan 2 adalah mereka yang memiliki privilese.
Misalnya di PKB. Ada Surya Maulana yang mendapatkan nomor urut 1 di Dapil Kalimantan Utara. Surya adalah anak dari Bupati Tana Tidung, Unduansyah.
Begitu pula di Gerindra. Ada Ardhya Pratiwi yang mendapatkan nomor urut 1 di Dapil Jawa Barat X (Ciamis, Kuningan, dan Pangandaran). Ardhya adalah anak dari mantan Panglima TNI Jendral Djoko Santoso, yang kini menjabat Ketua Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Pada 2014, kakak kandung Ardhya, Andika Pandu Puragabaya, juga menjadi caleg dan berhasil memenangkan Dapil Yogyakarta.
Di PDI Perjuangan, ada Azmah Shoobiroh yang mendapatkan nomor urut 2 di Dapil Jabar V (Kabupaten Bogor). Azmah merupakan putri dari (alm) Yusuf Supendi, pendiri PKS yang pindah ke PDIP.
Ada juga Ganisa Pratiwi Rumpoko, anak Wali Kota Batu yang mendapatkan nomor urut 2 di Dapil Jatim III (Banyuwangi, Bondowoso, dan Situbondo); dan Gilang Dhielafararez, anak Jaksa Muda Pidana Umum yang mendapatkan nomor urut 2 di Dapil Jawa Tengah II (Demak, Jepara, dan Kudus).
Partai Golkar memberikan tempat spesial bagi Ravindra Airlangga. Caleg muda kelahiran tahun 1991 ini mendapatkan nomor urut 1 di Dapil Jawa Barat V. Ia adalah anak dari Airlangga Hartarto, Ketum Golkar. Ada pula Puteri Komarudin, anak Ade Komarudin, politisi Golkar, yang mendapatkan nomor urut 2 di Dapil Jawa Barat VII (Bekasi, Karawang, dan Purwakarta).
Partai NasDem adalah yang paling banyak menampung caleg anak muda berkat patron keluarga. Misalnya, Rizka Amalia R Natakusumah, anak Dimyati Natakusumah, mantan wakil ketua MPR dan Bupati Pandeglang; Yessy Melania, anak Bupati Melawi; Aura Aulia Imandara, anak Wali Kota Makassar; Hillary Brigitta Lasut, anak Bupati Kepulauan Talaud; Davin Kirana, anak bos Lion Air Rusdi Kirana; Arkanata Akram, anak Gubernur Kaltara; dan Stefani Tannur, anak ketua DPD NasDem Kabupaten Belu.
Tak ketinggalan pula Prananda Surya Paloh, anak sang ketua umum Surya Paloh, yang juga mendapatkan tempat istimewa. Pada 2014, Prananda sudah maju sebagai caleg dan menang. Kini ia bertugas di Komisi I DPR RI.
Tak hanya anak Surya Paloh dan Airlangga Hartarto yang mendapatkan posisi enak. Di Partai Perindo, dua anak Hary Tanoesoedibjo, yakni Jessica Herliani Tanoesoedibjo dan Valencia H Tanoesoedibjo, mendapatkan posisi nomor urut 2 di masing-masing dapilnya.
Kedua anak Hary Tanoe itu masih sangat muda: Jessica kelahiran 1994; Valencia kelahiran 1993. Selain dua putrinya, istri bos media MNC, Liliana dan anak sulungnya, Angela, juga maju sebagai caleg dari Perindo.
PPP juga sama, yang menempatkan dua caleg muda dari keluarga kiai berpengaruh untuk menjadi caleg nomor urut 1. Masing-masing M. Habibur Rochman, anak Kiai Asep di Jawa Timur; dan Rojih, cucu Mbah Maimoen, kiai tersohor di Jawa Tengah.
PAN tak ketinggalan menempatkan anak muda dengan hak istimewa sebagai caleg nomor urut 1 dan 2. Ada Fachry Pahlevi Konggoasa, anak Bupati Konawe; Athari Ghauthi Ardi, anak anggota DPR RI Epyardi Asda; Abdul Hakim Bafagih, adik Wali Kota Kediri; dan Dellia Wihelmina, istri Wakil Wali Kota Palu, Sigit Purnomo aka Pasha Ungu.
Selain itu, PAN menempatikan Eril Arioristanto Dardak, adik dari Wakil Gubernur Jawa Timur, Emil Dardak, di nomor urut 1 untuk Dapil Jawa Timur VII. Namun, sayangnya, Eril mendapatkan musibah; ia meninggal dunia sebelum pemilihan.
Partai Hanura juga memberikan tempat bagi anak muda berprivilese sebagai caleg nomor urut 1 dan 2. Ada Gayatri Aisyah Ardhinindya, istri Ketua DPD Hanura Jatim; Bryan Yoga Kusuma, anak Direktur Utama Bank BRI; dan Muhamad Kautsar Sangaji, anak M "Ongen" Sangaji, anggota DPRD DKI Jakarta.
Partai Demokrat juga menyelipkan satu anak muda dengan privilese keluarganya. Ia adalah Rizki Aulia Rahman Natakusumah, anak dari Dimyati Natakusumah, mantan wakil ketua MPR dan bupati Pandeglang.
Kenyataan banyak caleg muda yang terjun ke politik elektoral dan sebagian lagi berkat privilese keluarga ini mengundang pertanyaan sejumlah pemilih muda. Benarkah mereka terjun ke politik untuk membawa perubahan atau sekadar melanggengkan kekuasaan keluarga?
David Sitorus, aktivis muda gerakan mahasiswa di Jakarta, mempertanyakan keterlibatan caleg muda dengan privilese itu. Ia curiga bahwa caleg-caleg yang maju berkat sokongan politik keluarganya ini hanya digunakan untuk menggaet suara sekaligus mempertahankan kekuasaan keluarga.
“Anak muda itu dipakai untuk menggaet suara pemilih Milenial, tapi sebenarnya agar kekuasaan tetap dipegang mereka-mereka saja,” katanya.
Hal serupa diungkapkan oleh Martin Siahaan, pemilih muda asal Riau. Sebagai pemilih muda, ia kecewa bila caleg muda yang mengklaim diri bakal membawa perubahan hanya jadi alat melanggengkan kekuasaan kelompok tua.
“Sama saja ini jadinya. Orang itu lagi, itu lagi. Enggak ada bedanya,” katanya.
Anomali Partai Baru dan Caleg Muda
Meski ada banyak partai yang menampung anak muda berkat privilese keluarga sebagai caleg nomor urut 1 dan 2, tapi bukan berarti semua partai melakukannya.
Beberapa partai yang tidak melakoninya adalah PSI, Partai Garuda, Partai Berkarya, PKS, dan PKPI.
PSI, misalnya, tidak memberikan anak muda dengan privilese khusus di tempat yang empuk. Setiap caleg yang mendaftar ke PSI diuji kemampuannya. Tidak memandang usia dan latar belakang keluarga. Bahkan sang ketua umum, Grace Natalie, mendapat nomor urut 5.
Allen Yuliana Elia, caleg muda PSI nomor urut 1 di Dapil Jawa Barat IV (Kabupaten dan Kota Sukabumi), mengatakan proses pencalegan di PSI terbuka dan transparan. Bahkan, untuk nomor urut pun tidak ditentukan berdasarkan potensi dan prioritas.
“Nomor urut caleg itu diundi. Kebetulan saya mendapat nomor urut 1,” klaimnya.
Allen Yuliana tak pernah terjun ke politik elektoral. Bersinggungan dengan organisasi politik pun tidak. Ia selama ini berkarier di bank dan memutuskan terjun pada Pemilu 2019 karena tergugah oleh PSI, partai baru yang menurutnya menawarkan banyak hal baru.
“Sekarang saya full berpolitik,” kata perempuan kelahiran 1991 ini.
Partai Garuda, Partai Berkarya, dan PKPI juga demikian. Mereka tidak mengakomodasi caleg prioritas dari privilese. Mereka merekrut anak-anak muda dari pelbagai latar belakang, dari aktivis mahasiswa hingga pedagang pasar.
Namun, beberapa caleg muda di partai kecil ini direkrut untuk memenuhi kuota. Mereka bahkan nyaris tidak melakukan kampanye apa pun. Di samping itu, kenyataan partai-partai ini sulit untuk lolos ambang batas parlemen sebesar 4 persen memperkuat faktor bahwa banyak caleg muda hanya untuk papan nama.
Dari semua partai itu, hanya PKS yang berbeda. Partai yang lekat dengan partai Islam ini tidak menempatkan caleg muda pada urutan 1 dan 2. Mereka ditempatkan pada nomor urut 3, itu pun caleg tanpa privilese. Partai ini benar-benar mengandalkan kaderisasi dalam merekrut caleg muda.
Misalnya Hajrin Fauziyah, caleg kelahiran 1993 di Dapil Kalimantan Barat II (Kabupaten Sanggau, Sintang, Sekadau, Melawi dan Kapuas Hulu) merupakan aktivis KAMMI, organisasi mahasiswa underbow PKS. Begitu pula Afif Pratama Putra, caleg Dapil Gorontalo ini adalah aktivis KAMMI yang terjun ke gelanggang politik elektoral.
Penulis: Mawa Kresna
Editor: Fahri Salam