tirto.id - Ada hantu berkeliaran tiap pemilu di Indonesia: hantu politik uang.
Ia mewujud melalui pertukaran suara pemilih dengan uang, barang, atau jasa yang ditawarkan para kandidat atau tim pendukung. Ada sebuah rahasia umum yang berbunyi, "Tanpa politik uang, tanpa bagi-bagi sembako, sulit rasanya mengajak masyarakat datang ke TPS dan memilih si kandidat." Tetapi, ada pula yang berkata, "Ambil uangnya, jangan pilih kandidatnya."
Pada Mei 2018, Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Philips J. Vermonte menyampaikan survei pra Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) Serentak 2018. Salah satu yang diungkapkan Phillips ialah soal kecenderungan masyarakat untuk tidak menolak politik uang.
Survei CSIS di Jawa Barat mengatakan 40,5 persen responden menyatakan akan menerima uang/barang yang ditawarkan tim sukses kandidat yang akan dipilih. Sikap serupa juga dikatakan 48,7 persen responden CSIS di Jawa Tengah, 40,5 persen responden di Sumatera Utara, dan 43,9 persen responden di Sulawesi Selatan.
Luky Djani menuliskan dalam Politik Uang dalam Demokrasi Elektoral Indonesia yang dimuat dalam buku Merancang Arah Baru Demokrasi (2014) bahwa politik uang diasumsikan terjadi karena pemilih, utamanya yang berasal dari kelas ekonomi bawah, mengalami kesulitan ekonomi sehingga mudah menerima uang atau barang yang ditawarkan politikus.
Namun, riset yang dilakukan Luky bersama Phillips J. Vermonte mengenai perilaku pemilih pada Pemilu 2014 di lima daerah (Aceh, Kalimantan Timur, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan Nusa Tenggara Timur) menggambarkan politik uang terjadi tidak sesederhana itu.
Dari Kekerabatan hingga Siapa yang Memberi
Selain faktor ekonomi pemilih, ada juga faktor ketergantungan struktural pemilih terhadap patron. Sejumlah pemilih yang bekerja di perkebunan atau pertambangan di Kalimantan Timur (Kaltim) atau yang berasal dari "kasta" bawah di Nusa Tenggara Timur (NTT) tidak leluasa memilih kandidat yang tidak didukung patronnya.
Pun, ketika para pemilih cenderung leluasa, mereka menerima uang atau barang dengan dan memilih kandidat dengan mempertimbangkan momen pemberian uang/barang tersebut. Di Aceh dan NTT, pemberi pertamalah yang akan dipilih, sementara di Sulawesi Selatan (Sulsel), pemberi terakhir yang akan dipilih. Sedangkan di Kaltim dan Jatim, yang dipilih adalah kandidat yang memberi uang/barang paling banyak.
Broker suara atau tim sukses pun berperan untuk menyalurkan uang/barang si kandidat. Ini terjadi karena kandidat tidak mampu bekerja sendiri mengingat luasnya daerah pemilihan (dapil) yang mesti dijangkau. Kandidat pun cenderung menggunakan broker agar tidak ditangkap basah sedang berpolitik uang.
Perantara mana yang dipilih kandidat di Indonesia, menurut Luky, akan bergantung pada komposisi masyarakat di dapil. Studi di Taiwan dan Filipina menunjukkan hanya broker berstatus sosial tertentu yang diterima pemilih. Sedangkan di Indonesia, utamanya di wilayah yang komposisi etnisnya beragam, para kandidat mendekati kelompok-kelompok berdasarkan etnis sebagai perantara dan mobilisator dukungan pemilih dari etnis tertentu. Di sinilah faktor asal daerah, latar belakang etnis, dan hubungan kekerabatan berperan dalam politik uang.
"Di NTT, pemilih mendukung kandidat yang berasal dari kasta sosial-politik yang lebih tinggi," ujar Luky.
Yang jelas, jual-beli suara antara politikus, broker suara, dan pemilih dilaksanakan tanpa kontrak tertulis. Adanya kontrak tertulis rentan digunakan sebagai bukti si kandidat melakukan tindak politik uang.
Mengapa Ada Politik Uang?
Politik uang sejatinya tidak hanya terjadi di Indonesia. Para peneliti pun berbondong-bondong menelaahnya lebih dalam. Pandangan para peneliti tersebut, secara umum, terbagi menjadi dua mazhab.
Mazhab pertama, model core-voters, mengatakan bahwa partai politik (parpol) atau politikus memberikan sejumlah uang atau barang kepada para pemilih pasif mereka. Para pemilih tersebut sebenarnya akan memilih kandidat, tetapi tidak semua dari mereka mau hadir dan memberikan suara di TPS. Toh, mereka tidak wajib memberikan suaranya di Pemilu. Politikus memberi uang kepada mereka supaya mereka mau hadir ke TPS dan memilihnya.
Sebaliknya, mazhab kedua, model swing-voters, mengatakan bahwa parpol atau politikus mendistribusikan sejumlah uang atau barang kepada swing voters, orang-orang yang berpindah pilihan parpol atau kandidat dari satu Pemilu ke Pemilu berikutnya, alih-alih kepada pemilih pasif.
Meskipun ada perdebatan cara pandang, dua mazhab tersebut, menurut peneliti politik Burhanuddin Muhtadi, sama-sama didasarkan pada kedekatan ideologis pemilih dengan kandidatnya. Selain itu, dua model tersebut juga mengasumsikan bahwa pelaku politik uang adalah parpol.
Dalam disertasi berjudul Buying Votes in Indonesia: Partisans, Personal Networks, and Winning Margins (2014), Burhanuddin menyimpulkan bahwa politik uang di Indonesia dilakukan kandidat secara individu, bukan parpol.
Sistem proporsional terbuka yang diterapkan dalam Pemilu legislatif (Pileg) mengharuskan seorang kandidat calon anggota legislatif (caleg) berkompetisi tidak hanya dengan caleg dari parpol lain tetapi juga caleg dari parpol sendiri. Kompetisi yang intens di antara banyaknya kandidat juga berarti bahwa mereka hanya memerlukan sedikit suara agar bisa menjadi anggota legislatif.
"Kehendak untuk mengalahkan pesaing dari parpol sendiri membuat para kandidat menghindari risiko saat memilih target calon pemilih yang akan beri (uang/jasa). Hasilnya, sebagian besar politikus dan tim sukses mengatakan mereka lebih menarget pemilih yang partisan atau pemilih loyal," ujar Burhanuddin.
Namun, yang ditemukan Burhanuddin justru sebaliknya. Alih-alih menarget pemilih loyal, politik uang malah banyak didapat pada undecided voters. Menurut Burhanuddin, temuan ini juga terkait tingkat kedekatan masyarakat yang rendah di Indonesia. "Hanya 15 persen orang Indonesia merasa dekat dengan parpol," sebut Burhanuddin.
"Dengan demikian, temuan saya menunjukkan bahwa meskipun politisi cenderung menargetkan konstituen yang mereka anggap benar-benar loyal, kebanyakan tim sukses akhirnya mendistribusikan (uang/jasa) kepada pemilih yang menerima manfaat tetapi tidak membalas dengan suara," ujar Burhanuddin.
Burhanuddin berpendapat politik uang di Indonesia terjadi bukan dalam kerangka model core-voters atau swing-voters, melainkan dalam kerangka model personal-loyalist.
Di Indonesia, kandidat dan tim sukses sebenarnya bermaksud untuk menargetkan pemilih partisan, tetapi dalam kenyataannya mereka kebanyakan mendistribusikan uang/jasa kepada orang-orang yang terhubung ke jaringan pribadi. Meskipun mereka menganggap orang-orang ini sebagai 'loyalis' pada kenyataannya mereka mungkin tidak memiliki rasa kesetiaan kepada calon.
Di Indonesia, nampaknya calon dan calo bermaksud untuk menargetkan pemilih partisan, tetapi dalam kenyataannya mereka kebanyakan mendistribusikan patronase kepada orang-orang yang terhubung ke jaringan pribadi. Meskipun menganggap orang-orang ini sebagai 'loyalis', pada kenyataannya mereka boleh jadi tidak memiliki rasa kesetiaan kepada kandidat. Meskipun mengakui bahwa sebagian besar kandidat bergantung pada jaringan pribadi untuk mengidentifikasi pemilih untuk ditargetkan dengan pembelian suara, pendekatan ini tidak mengesampingkan pentingnya loyalis partai.
Penulis: Husein Abdulsalam
Editor: Windu Jusuf