Menuju konten utama

Politik Uang Itu Dosa atau Rezeki?

Menurut peneliti Indikator Rizka Halida, faktor keyakinan (agama) berpengaruh pada sikap pemilih terhadap politik uang.

Politik Uang Itu Dosa atau Rezeki?
Warga berpakaian adat Jawa melakukan aksi berkeliling kampung Suryaputran, Panembahan, Kraton, DI Yogyakarta, Selasa (14/2). ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah

tirto.id - Ada istilah serangan fajar yang akrab hadir di telinga orang Indonesia ketika musim pemilu sudah dekat. Istilah ini merujuk pada praktik politik uang yang dilakukan kandidat pemilu—bisa legislatif atau eksekutif—terhadap para calon pemilihnya. Praktik suap ini memang sudah berlangsung lama dan menjadi rahasia umum di kalangan pemilih, kandidat, dan partai politik.

Menurut peneliti Indikator Rizka Halida, kecenderungan itu sekarang meningkat. "Dari peserta Pileg, memang proporsional terbuka itu membuka lebih besar peluang bagi calon untuk bagi-bagi uang kepada pemilih," kata Rizka dalam diskusi PERSEPI di kantor Centre for Strategic and International Studies, Tanah Abang, Jakarta Pusat, Senin (24/7).

Sistem pemilu legislatif proporsional terbuka, menurut Rizka, memperlihatkan calon anggota legislatif dari berbagai partai politik. Jika pemilih memilih seseorang, suara akan terdistribusi secara langsung pada calon tersebut (bukan suara parpol). Hal ini membuka peluang sang calon untuk langsung melakukan transaksi kontrak politik yang bisa mengarah pada praktik politik uang.

Meski telah diatur konstitusi, dan dapat menjerat pemberi suap maupun yang menerima suap, menurut Rizka, praktik jual beli suara saat pemilu legislatif 2014 lalu masih marak terjadi.

Hal di ataslah yang kemudian mendasari penelitian disertasi Rizka tentang seberapa besar pengaruh uang yang diberikan saat serangan fajar pada pilihan akhir para pemilih. Pada Oktober 2015 lalu, Rizka melakukan penelitian pada 1.220 partisipan yang tinggal di Jakarta dan Pati, dengan metode wawancara eksploratif. Hasilnya, memang masih banyak orang-orang yang terang-terangan menerima serangan fajar tersebut. Namun, temuan Rizka menyimpulkan bahwa jual-beli suara tidak efektif mengarahkan pilihan.

Para pemilih yang dianalogikan sebagai penjual suara, dalam temuan Rizka, belum tentu memilih kandidat pemberi uang yang dianalogikan sebagai pembeli suara. Salah satu penyebabnya ialah masih adanya norma dalam masyarakat yang menyadari suap sebagai perbuatan tidak baik dan melakukannya tentu bukanlah pilihan yang baik pula. Faktor lain adalah kesadaran masyarakat untuk memilih pemimpin yang lebih berintegritas dan berkualitas.

“Jadi, kalaupun ada yang menerima uang dari salah satu calon, seberapa besar pun uangnya, belum tentu bakal memilih dia. Apalagi kalau masyarakat sadar ada pilihan yang lebih baik,” ungkap Rizka.

Dalam penelitian tersebut, para pemilih disediakan dua pilihan sambil dijabarkan deskripsi calon yang akan dipilih, kemudian ditawari uang asli dalam amplop. Rizka menyiapkan tiga pilihan nominal: Rp50 ribu, Rp100 ribu, dan Rp150 ribu.

Hasilnya, Rizka menemukan, bahwa ada faktor eksternal dalam diri pemilih yang sangat berpengaruh pada pilihan mereka: apakah menerima atau menolak uang, lalu apakah memilih kandidat yang memberi uang atau lawannya. Faktor internal itu disebut kontrol diri inhibisi.

Infografik jual beli suara dalam pemilu

Penelitian ini menyimpulkan bahwa ada dua tahap keputusan yang akan diambil oleh para pemilih: (1) Menolak atau menerima uang, dan (2) Memilih calon yang menawarkan uang atau lawannya.

Partisipan yang menolak amplop artinya punya kontrol diri inhibisi yang tinggi. Begitu juga sebaliknya. Selain itu, jumlah uang yang ditawarkan juga berpengaruh pada kontrol diri inhibisi para partisipan. “Ketika ditawari 50 ribu, memang ada yang menolak, tapi ketika tawaran diberi lebih tinggi, 150 ribu, ada juga yang mengambil,” kata Rizka.

Namun, yang tidak ada kaitannya adalah jumlah uang dengan pilihan terakhir sang pemilih. Sebab, ketika memutuskan untuk menerima amplop atau tidak, tiap individu dihadapkan dengan konflik batinnya sendiri. Kemudian tingkat kontrol diri inhibisinya yang akan memutuskan pilihan.

Definisi kontrol inhibisi sendiri, menurut Rizka adalah kecenderungan individu untuk bisa meregulasi dirinya ketika menghadapi stimulus. “Inhibisi di sini artinya menahan. Ketika dia menghadapi stimulus, apakah dia bisa menahan untuk tidak memakan stimulus tersebut,” kata Rizka menjelaskan.

Lantas, apakah kontrol inhibisi ini ada kaitannya dengan agama—pegangan hidup yang mengajarkan baik dan buruk?

Temuan Rizka, “baik yang menolak dan menerima uang mengaitkan pilihan mereka dengan agama.” Yang menolak menganggap uang itu sebagai suap dan bagian dari perbuatan dosa. Yang menerima menganggapnya sebagai rezeki yang tidak boleh ditolak. “Jadi, agama tidak bisa langsung diidentikkan dengan kontrol diri inhibisi,” kata Rizka.

Temuan ini jadi penting untuk mematikan praktik politik uang atau serangan fajar. “Ini bukti kepada para calon yang berusaha membeli suara, bahwa uang mereka belum tentu bisa menjamin keterpilihannya,” kata Rizka.

Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Pramono Ubaid Tanthowi menanggapi positif penelitian Rizka. Ia sepakat bahwa temuan tersebut dapat jadi bukti betapa tidak efektifnya politik uang yang sudah dilarang oleh konstitusi. “Tapi, ada paradigma yang sudah tertanam di kepala orang-orang yang mau turun dalam putaran pemilu, kurang lebih begini: nyebar-nyebar duit saja kita belum tentu menang, apalagi enggak nyebar,” kata Pramono.

Mantan badan pengawas pemilu (Bawaslu) daerah Banten ini mengaku melihat sendiri betapa suburnya praktik tersebut.

“Nah, untungnya dalam penelitian Doktor Rizka ini, ada bukti bahwa pemilih juga mempertimbangkan integritas dan kualitas calon pemimpinnya, ketimbang duit belaka,” tambah Pramono. “Ini jadi penting, sebagai pegangan KPU ataupun Bawaslu untuk kembali giat bersosialisasi pada masyarakat tentang buruknya dampak politik uang.

“Istilahnya untuk meningkatkan kontrol diri (inhibisi) tadi,” ungkap Pramono.

Baca juga artikel terkait PEMILU atau tulisan lainnya dari Aulia Adam

tirto.id - Politik
Reporter: Aulia Adam
Penulis: Aulia Adam
Editor: Maulida Sri Handayani