tirto.id - Praktik politik uang dalam gelaran pemilihan umum (Pemilu) nasional maupun pemilihan kepala daerah (Pilkada) sulit diseret ke ranah hukum. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bahkan hanya dapat melaporkan sejumlah indikasi pelanggaran, tapi tidak sampai menindak tegas.
Ketentuan soal larangan politik uang sudah diatur jelas dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pasal 73 UU Pilkada, mengatur soal larangan praktik ini. Ancamannya tak tanggung-tanggung, yaitu sanksi administrasi berupa pembatalan sebagai pasangan calon oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) berdasarkan putusan Bawaslu.
Aturan larangan politik uang ini tidak hanya berlaku bagi pasangan calon, partai politik, tim kampanye, serta relawan. Namun, sebagaimana diatur dalam Pasal 73 ayat (4) juga berlaku bagi semua pihak yang dengan sengaja melakukan perbuatan melawan hukum menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada orang lain untuk mempengaruhi.
Sanksinya juga diatur secara tegas dalam Pasal 187A, yaitu berupa pidana penjara paling singkat 36 bulan, dan paling lama 72 bulan serta denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar. Hal ini berlaku tidak hanya bagi yang memberi, akan tetapi juga yang menerima.
Sayangnya, sanksi berat yang telah diatur dalam UU Pilkada ini tidak efektif dalam mencegah maraknya politik uang di gelaran pesta demokrasi. Hal ini diakui oleh anggota Bawaslu RI, Rahmat Bagja saat dihubungi Tirto, Sabtu (27/1/2018).
Rahmat mengatakan, setidaknya ada dua faktor utama yang seringkali menjadi kendala dalam pengungkapan politik uang ini. Pertama, pihaknya kesulitan untuk mendengarkan keterangan saksi atau sulit mencari saksi yang bersedia membongkar adanya politik uang.
Kedua, Bawaslu juga mengalami kesulitan karena keterbatasan waktu. Selama ini, Bawaslu dalam menangani pelanggaran pidana Pemilu ini bekerjasama dengan Kepolisian (penyidik) dan Kejaksaan (penuntut) yang tergabung dalam Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu).
Bila mengacu pada Pasal 146 ayat (3) UU Pilkada, penyidik Polri harus menyampaikan hasil penyidikan disertai berkas perkara kepada penuntut umum paling lama 14 hari kerja terhitung sejak laporan diterima dari Bawaslu Provinsi maupun Panwas Kabupaten/Kota.
Tata cara menangani tindak pidana ini juga diatur UU No.1 tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam regulasi ini disebutkan, perkara Pemilu harus diselidiki oleh penyelidik setidaknya 1x24 jam sejak Bawaslu menetapkan ada perbuatan diduga pidana Pemilu.
Penyelidik pun harus menyerahkan bukti setidaknya 1x24 jam kepada penyidik Polri untuk dilakukan penyidikan. Kemudian, penyidik Polri harus menyampaikan ke penuntut umum paling lambat 14 hari ditambah 3 hari bila ada kekurangan bahan penyidikan.
Menurut Rahmat, dalam pelaksanaannya waktu pengungkapan tersebut cukup singkat. Bawaslu seringkali hanya bisa menangkap penerima, bukan pemberi maupun otak pemberi uang dari praktik politik uang. Padahal, kata Rahmat, pihaknya ingin menangkap pihak yang lebih memiliki peran besar.
“Kami, kan, mau menangkap yang besar toh. Pertanyaan besar dari masyarakat, kan, jangan sampai yang terima uang Rp500 ribu itu, yang kecil-kecil masuk penjara. Nah [sementara] yang ratusan juta enggak,” kata Rahmat.
Rahmat menyarankan, agar peranan Sentra Gakkumdu untuk mengungkap pidana Pemilu lebih dikuatkan. Saat ini, Bawaslu tengah merancang MoU dengan PPATK untuk menelusuri pengiriman uang dalam aksi politik uang. Ia berharap, kerja sama ini bisa memperkuat penindakan pemilu di bawah satu komando, yaitu Sentra Gakkumdu.
“Kalau mau dibuat team work, bisa saja atau Sentra Gakkumdu dilibatkan secara aktif. Sekarang tidak boleh pidana Pemilu itu melalui jalur lain. Itu sendiri, beda [dengan] pidana yang lain,” kata Rahmat.
Peran Gakkumdu yang selama ini tidak optimal dalam mengungkap kasus adanya praktik politik uang ini juga menjadi catatan Indonesia Corruption Watch (ICW). Keberadaan Gakkumdu yang melibatkan Bawaslu, Polri dan Kejaksaan tidak cukup memiliki taring dalam menindak tegas politik uang.
Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW, Donal Fariz mengatakan, Gakkumdu, terutama di level Bawaslu seringkali kesulitan dalam melakukan investigasi politik uang. Kelemahan tersebut, menyebabkan kepolisian sulit mengungkap praktik politik uang sebagai pidana politik.
“Polisi, kan, kerja tahap kedua setelah pelaporan dari masyarakat ke Bawaslu/Panwas,” kata Donal kepada Tirto.
Donal sangat mengapresiasi pembentukan Satuan Tugas (Satgas) Politik Uang yang dibentuk Polri dengan menggandeng Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurutnya, keterlibatan KPK dalam memberantas politik uang dapat menjadi amunisi baru.
“Kami berharap upaya kerja sama lembaga ini bisa memberikan pengawalan lebih baik dalam mengawal dan menindak praktik politik uang dalam Pilkada. Kecurangan yang terjadi selama ini sistematis, namun lemah dalam penindakan,” kata Donal.
Berbeda dengan anggota Baswalu, Rahmat Bagja, secara umum, ia mendukung adanya MoU antara Polri dan KPK dalam membentuk Satgas Politik Uang. Namun, ia mengingatkan, Bawaslu merupakan instansi yang berwenang dalam menindak pelanggaran pidana pemilu, termasuk politik uang.
“Kami sudah mengingatkan bahwa pidana Pemilu itu adalah ranahnya Bawaslu, Polisi dan Kejaksaan dalam Sentra Gakkumdu. Jadi bukan kemudian ada pembuatan [satgas] lagi,” kata Rahmat.
Satgas Politik Uang yang dibentuk Polri yang akan menggandeng KPK dan Kejaksaan ini memang di luar Sentra Gakkumdu yang selama ini berwenang dalam menangani perkara pidana Pemilu. Artinya, dengan adanya MoU antara Polri, KPK dan Kejaksaan ini, maka semakin banyak institusi penegak hukum yang mengawasi praktik politik uang pada pilkada.
Apakah praktik politik uang akan hilang pada Pilkada serentak 2018 mendatang? atau sebaliknya karena potensi tumpang tindih keberadaan dua organisasi yang menangani praktik terlarang ini.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz