Menuju konten utama

Yang Lebih Tabah dari Hujan Bulan Juli

Indonesia sedang mengalami fenomena hilangnya musim kemarau pada tahun 2025 ini. Dampaknya dialami masyarakat luas.

Yang Lebih Tabah dari Hujan Bulan Juli
Rumah Suprapti (25) tergenang air akibat hujan lebat pada Senin (7/7/2025). (FOTO/Dok. Suprapti)

tirto.id - Saat Sapardi Djoko Damono mencoba merenungkan soal kesabaran lewat puisinya “Hujan Bulan Juni”, barangkali, hujan di bulan Juli tahun ini juga menyiratkan pesan serupa. Guyuran hujan deras akibat fenomena alam, yang menyebabkan banjir, tentu tak bisa disalahkan, tapi atas bencana yang tak bisa termitigasi, yang dipaksa lebih tabah adalah rakyat.

Suprapti (25) adalah salah satunya. Sejak hujan mengguyur daerah tempat tinggalnya di Pamulang, Tangerang Selatan, Banten, pada Senin (7/7/2025) siang, rumahnya berangsur dimasuki air. Per pukul 17.00 WIB, tinggi air yang menggenang di dalam rumah mencapai sekira 80 cm, atau mencapai dada laki-laki dewasa.

“Pas itu jam 3 aku meeting (kantor), tiba-tiba kok air masuk, apa nih kok kayak ada rembesan air. Paling kemungkinan cuman tinggi air 1 cm gitu. Terus aku keluar, tiba-tiba depan rumah itu udah tinggi banget, Nah kenapa gak langsung masuk (airnya), gara-gara kan kita menutup pintunya,” tutur Suprapti mencoba mengingat kejadian yang dialami, Kamis (10/7/2025).

Ia mengaku kaget dan bingung atas apa yang harus dilakukan dan diselamatkan pertama kali. Sampai pada akhirnya, ia dan suaminya memilih untuk lebih dahulu mengamankan dokumen dan perangkat elektronik.

Meski tak sampai 6 jam air lambat-laun surut, Suprapti bilang, dirinya jadi harus mengambil cuti bekerja selama tiga hari untuk bebersih rumah dan merapikan barang-barang. Ia menyebut beberapa barangnya, seperti sepatu, turut hanyut dalam air, tapi kemudian ditemukan di rumah warga lain.

Tak cuman merasa bingung atas banjir yang dihadapi, Suprapti juga merasa aneh dengan hujan deras di bulan Juli, yang selama ini ia kenal sebagai musim kemarau.

“Aku ngerasanya aneh udah dari beberapa tahun belakang sih sebenernya, kayak cuaca gak tentu. Dari kejadian ini lebih belajar waspada aja kalau hujan,” ucapnya.

Bukan hanya Suprapti yang menjadi korban ekstremnya cuaca di bulan Juli tahun ini. Adhan (29), yang juga harus melewati banjir sepanjang jalan pulang kerja dari Srengseng, Jakarta Barat menuju Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, juga mengaku heran dengan hujan deras yang membasahi bulan kemarau, Senin (7/7/2025) lalu.

“Sekarang jadi kayak gak bisa tuh menghitung bulan atau mengandalkan kalender. Tapi ya namanya juga krisis iklim kan?” tutur Adhan kepada Tirto, Kamis (10/7/2025).

Dari yang tadinya cukup menempuh kurang lebih satu jam untuk sampai rumah, kala itu Adhan harus menghabiskan 2,5 jam di perjalanan. Selain karena macet akibat banjir, ia juga mesti memutar otak mencari jalanan tikus yang tak tergenang. Adhan mengaku hanya bisa bergantung pada sesama pengguna motor yang melintas, untuk tahu informasi jalur yang tak banjir.

“Capek banget sih jujur. Pas udah masuk Bintaro, langsung macet. Mulainya ya dari sektor 7 Menteng dan Cikini Bintaro. Sampai area sekitarnya, Jurangmangu, Menjangan, dan lain-lain,” ucap Adhan.

Hujan dengan intensitas tinggi itu sebenarnya sudah terjadi sejak pekan pertama Juli. Pada Sabtu (5/7/2025) misalnya, hujan sempat melanda wilayah Jakarta dan sekitarnya hingga menyebabkan kenaikan Bendung Katulampa menjadi Siaga 3 atau Waspada.

Sehari setelahnya, yakni pada Minggu (6/7/2025), BPBD DKI Jakarta mencatat sekira 51 RT di Jakarta Selatan dan Jakarta Timur terendam banjir, dengan ketinggian air mencapai tiga meter.

Akses jalan terganggu akibat banjir di Jakarta

Warga menggunakan gerobak mengangkut sepeda motor dan pengendara melintasi banjir di Kembangan, Jakarta Barat, Selasa (8/7/2025). Banjir setinggi 60 cm akibat luapan Kali Angke tersebut membuat arus lalu lintas jalan yang menghubungkan Puri Kembangan ke Cengkareng terhambat dan sejumlah kendaraan roda dua mogok. ANTARA FOTO/Putra M. Akbar/agr

Kemudian hujan yang kembali mengguyur berbagai wilayah pada Senin (7/7/2025) juga tak kalah besar dampaknya. Per Selasa (8/7/2025) pukul 06.00 WIB, tercatat genangan masih terjadi di 46 Rukun Tetangga (RT) di wilayah Jakarta. Selain wilayah permukiman, banjir juga merendam sejumlah ruas jalan raya hingga menyebabkan kemacetan.

Sejumlah kawasan di Bogor sampai Tangerang pun ikut terdampak, termasuk Perumahan Puri Bintaro Indah. Selain disebabkan oleh intensitas hujan yang tinggi, banjir di kawasan Tangerang turut diperparah oleh meluapnya anak Kali Angke.

Lantas, apa penyebab dari cuaca ekstrem ini?

Penjalaran Sistem Awan Besar

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebelumnya telah mengungkap bahwa dinamika atmosfer yang tidak lazim telah menyebabkan mundurnya musim kemarau di sebagian besar wilayah Indonesia, sekaligus meningkatkan potensi cuaca ekstrem dalam beberapa pekan terakhir.

Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, menyatakan hingga akhir Juni 2025, baru sekitar 30 persen wilayah Zona Musim yang mengalami peralihan ke musim kemarau, yang mana pada waktu yang sama, biasanya sekitar 64 persen wilayah Indonesia sudah memasuki musim kemarau.

Kemunduran musim kemarau tahun ini disebut sebagai dampak dari lemahnya Monsun Australia dan tingginya suhu muka laut di selatan Indonesia. Kedua faktor ini menyebabkan tingginya kelembaban udara yang memicu terbentuknya awan hujan, bahkan di tengah periode yang seharusnya kering.

Kondisi ini diperburuk oleh berbagai fenomena atmosfer seperti aktifnya Madden-Julian Oscillation (MJO) dan gelombang ekuator (Kelvin dan Rossby Equator) yang mendukung pembentukan awan konvektif dan memperbesar potensi hujan lebat.

Akses jalan terganggu akibat banjir di Jakarta

Polisi memberikan imbauan kepada pengendara mobil yang akan melintasi banjir di Kembangan, Jakarta Barat, Selasa (8/7/2025). Banjir setinggi 60 cm akibat luapan Kali Angke tersebut membuat arus lalu lintas jalan yang menghubungkan Puri Kembangan ke Cengkareng terhambat dan sejumlah kendaraan roda dua mogok. ANTARA FOTO/Putra M. Akbar/agr

“Kendati ENSO dan IOD berada dalam fase netral dan diperkirakan akan tetap netral hingga akhir tahun, curah hujan di atas normal masih terus terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia sejak Mei dan diperkirakan berlangsung hingga Oktober 2025,” papar Dwikorita saat konferensi pers di Jakarta, Senin (7/7/2025).

Namun begitu, Profesor Riset Iklim dan Cuaca Ekstrem Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Erma Yulihastin, menilai kontribusi faktor-faktor global itu kurang efektif dan hampir tidak ada. Sebab, MJO hanya akan efektif jika banjir terjadi pada rentang Desember - Februari.

Erma mengatakan, faktor yang lebih berperan dalam menciptakan hujan ekstrim belakangan adalah faktor regional, dalam artian adanya interaksi antara komponen atmosfer dan komponen laut serta dinamika di Laut Jawa dan Samudera Hindia.

“Itu yang lebih berperan dan berkontribusi memberikan suplai kelembaban, awan-awan yang konvektif yang kemudian menjadi besar, menjadi kluster. Jadi awannya tidak hanya sekedar single cumulonimbus, tapi menjadi kluster-kluster awan. Dan kalau studi terkini menunjukkan bahwa yang berkontribusi mayoritas menciptakan hujan-hujan ekstrim di wilayah tropis memang kluster awan yang menjadi besar itu,” terang Erma saat dihubungi jurnalis Tirto, Kamis (10/7/2025).

Kluster awan yang meluas dan membesar itu disebut dengan mesoscale convective complex (MCC), yang seringnya muncul saat musim hujan, namun kini terbentuk meski sedang kemarau. Perubahan perilaku kluster awan ini terjadi sebagai efek dari pemanasan suhu permukaan laut.

Jadi, hujan deras di bulan Juli yang biasanya kemarau terjadi karena laut di sekitar Indonesia sedang hangat-hangatnya. Laut yang lebih panas menghasilkan lebih banyak uap air, yang kemudian membentuk awan-awan hujan besar. Awan ini tidak berdiri sendiri, tapi bergabung membentuk kluster awan besar, semacam kumpulan awan badai yang bisa menyebabkan hujan ekstrem. Selain itu, angin dan gelombang udara dari Samudera Hindia dan Laut Jawa ikut mendorong terbentuknya awan-awan ini.

Jadi, meskipun seharusnya di bulan Juli, sebagian besar daerah Indonesia masuk musim kemarau, langit tetap mendung dan hujan karena faktor laut dan atmosfer yang saling memperkuat.

Banjir di Tangerang Selatan

Warga berdiri di depan rumahnya yang terendam banjir di Perumahan Taman Mangu Indah Pondok Aren, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (8/7/2025). ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/tom.

Lantas, kenapa suhu permukaan laut jadi menghangat?

Penelitian Syaifullah yang dimuat di Jurnal Segara (2015) menunjukkan bahwa suhu permukaan laut perairan Indonesia berhubungan dengan pemanasan global. Selama lebih 32 tahun, peningkatan suhu permukaan lautan di wilayah Indonesia bervariasi dan kenaikan suhu permukaan laut (SPL) yang paling besar terjadi di Lautan Pasifik Barat di sebelah utara Papua.

“Kalau tekanan rendah terjadi, maka perilaku dari awan kemudian juga mengalami perubahan, berkluster-kluster dan ukurannya menjadi meluas. Itu yang saya terangkan sebagai perilaku dari Mesoscale Convective Systems,” tutur Erma.

Studi Cheng, dkk yang bertajuk "Mesoscale Convective Systems Modulated by Convectively Coupled Equatorial Waves" (2023) mengungkap kalau MCS menyumbang lebih dari 50 persen curah hujan di daerah tropis, dan menjadi penyebab utama hujan ekstrem serta banjir besar.

Berdasar studi itu pula dijelaskan, jika ada gelombang atmosfer tropis yang aktif, maka MCS jadi lebih sering, lebih kuat, dan lebih berisiko bikin banjir. Tapi, tidak semua gelombang punya pengaruh yang sama, di mana gelombang yang paling kuat efeknya yakni Kelvin dan gelombang depresi tropis. Sementara MJO pengaruhnya lebih kecil.

Pemerintah Harus Bisa Pahami Perilaku Musim

Untuk memitigasi kejadian serupa, Erma mendorong pemerintah untuk pertama-tama bisa memahami tentang perilaku musim. Pemerintah juga disebut harus menyertakan lembaga penelitian atau think tank.

“Misalnya melibatkan BRIN, gitu kan, supaya kebijakan yang diambil tidak salah arah atau kurang tepat lah gitu ya maksudnya. Karena perilaku musim kan sudah mengalami banyak perubahan-perubahan,” ucap Erma.

Di sisi lain, upaya yang mesti dilakukan yakni antisipasi drainase. Artinya, kita semua harus mengubah mindset dan meyakini bahwa ini bukan musim kemarau, tapi musim hujan yang diperpanjang. Dengan begitu, semua harus bersiap.

“Bulan Agustus gimana, udah nyiapin belum drainasenya. Dicek ulang, terutama historical kemarin aja lokasi-lokasi banjirnya di titik mana. Kapasitas drainase harus dipastikan meningkat, kemudian limpasan air bisa terserap atau diaruskan dengan cepat gitu kan,” lanjut Erma.

Dari kejadian banjir lalu, urgen untuk kemudian mengaktivasi alarm peringatan banjir di titik-titik tertentu. Maka, alarm dan sirine bisa berbunyi kalau terjadi banjir. Sebab, sekali lagi, Indonesia sedang mengalami fenomena hilangnya musim kemarau pada tahun 2025 ini.

Kriteria musim kemarau tidak tercapai, yakni terdapat minimal tiga dasarian berturut-turut dengan curah hujan kurang dari 50 mm per dasarian, atau total ketiganya kurang dari 150 mm (syarat curah hujan dasarian pertama harus kurang dari 50 mm per dasarian).

“Jadi dalam waktu 10 hari harus kurang dari 50 mm dan diikuti oleh 10 hari yang dasar yang kedua ketiganya gitu ya. Jadi selama 1 bulan itu 50, 50, 50 dalam 10 harian kurang dari 50 maksudnya jadi harus kurang dari 150, sementara hasil observasi yang kemarin 200 ya, hampir 200an turun dalam waktu 1 hari,” kata Erma.

Baca juga artikel terkait BANJIR atau tulisan lainnya dari Fina Nailur Rohmah

tirto.id - News Plus
Reporter: Fina Nailur Rohmah
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Farida Susanty