Menuju konten utama

WSBP & Kelas Tirto Gelar Belajar Beton Goes to School Vol. 3

Melalui program Belajar Beton Goes to School, diharapkan mahasiswa bisa termotivasi menjadi agen perubahan menuju pembangunan berkelanjutan.

WSBP & Kelas Tirto Gelar Belajar Beton Goes to School Vol. 3
Belajar Beton Goes to School X Kelas Tirto. Tirto.id/Jason Putra W

tirto.id - Beton dikenal sebagai material paling banyak digunakan dalam pembangunan infrastruktur modern. Namun di balik perannya, industri ini menyumbang emisi karbon dalam jumlah besar, sehingga kerap dituding sebagai salah satu penyebab krisis iklim.

Pertanyaan soal paradoks ini mengemuka dalam diskusi Belajar Beton Goes to School Vol. 3 di Politeknik Negeri Jakarta (PNJ) yang digelar PT Waskita Beton Precast (WSBP) Tbk berkolaborasi dengan Kelas Tirto, Rabu (2/10/2025).

Bertempat di Aula Rektorat PNJ, acara ini menghadirkan dua narasumber utama: Kepala Divisi QSHE PT Waskita Beton Precast Tbk, Irvan Pandjaitan; dan dosen Teknik Sipil PNJ, Nunung Martina. Lebih dari 100 mahasiswa hadir mengikuti diskusi bertema “Beton dan Keberlanjutan: Bisa Nggak Sih Industri Ini Lebih Hijau?”

Nunung, dalam pemaparannya, mengawali dengan menyebut bahwa materi renewable hanya ada satu: kayu. Di luar kayu, semua bahan untuk pembangunan itu tidak ada yang renewable.

Padahal kebutuhan beton di dunia sangatlah tinggi. Nunung menyebut, saat ini produksi beton global mencapai 30 miliar ton per tahun. Padahal di 2060 ada target soal net zero emission. Itu sebabnya, jika kapur yang merupakan bahan baku semen untuk beton kelak habis, maka kita harus melakukan inovasi.

“Maka kita harus melakukan encouragement, melakukan improvement terhadap material-material yang selama ini tidak disentuh, terutama dari bahan limbah supaya bisa menggantikan material-material yang digunakan untuk membuat beton,” tutur Nunung.

Nunung juga menyoroti perlunya sinergi antara kampus dan industri. Menurutnya, riset-riset akademik bisa menjadi pintu masuk lahirnya inovasi beton hijau. Dengan mix and match antara riset dan industri, maka penelitian dan riset yang dikerjakan pun bisa bermanfaat dan tidak sekadar untuk melengkapi tugas administratif. Dari riset-riset ini, inovasi untuk bahan pengganti yang lebih ramah lingkungan bisa lahir.

Dosen peraih gelar master di bidang Ilmu Material Universitas Indonesia ini kerap melakukan riset terkait material dan juga pengolahan limbah, termasuk sampah plastik. Saat ini untuk riset terbarunya, Nunung bekerja sama dengan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantar Gebang.

“Jadi kami membuat bahan pengganti batubara untuk pabrik semen. Yang kedua, bahan dasar untuk membuat pipa, khususnya nanti untuk pengganti bis beton untuk saluran air. Yang ketiga, bahan baku pengganti agregat dengan kekuatan bisa di atas 50 MPa dari bahan plastik HBCT polyethylene ini,” tambah Nunung.

Senada dengan Nunung, Irvan juga menegaskan bahwa dunia industri konstruksi kini tak bisa lagi mengabaikan isu lingkungan. WSBP menyadari betul hal ini.

Sejak beberapa tahun terakhir, mereka menerapkan berbagai alternatif bahan baku yang lebih ramah lingkungan, seperti fly ash alias limbah pembakaran batu bara. Saat ini WSBP adalah produsen beton readymix pertama dan satu-satunya di Indonesia yang berhasil meraih sertifikasi Green Label Indonesia (GLI) 2025 Level Gold.

Predikat ini diraih dengan asesmen yang ketat. Menurut Irvan, penilai atau auditor sertifikasi ini akan melihat jenis produk yang dibuat, bahan bakunya, juga bahan baku alternatif. Menurutnya, bahan baku alternatif ini jadi penting ketika bicara tentang konsep dasar green label.

Selain itu, auditor juga akan melihat bagaimana perusahaan melakukan pengelolaan lingkungan. Tak hanya itu, mereka juga akan memeriksa dan mengaudit bagaimana WSBP mengelola limbah B3. Pemeriksaan juga sampai ke tahap aspek keselamatan kerja, manajemen energi, manajemen air, hingga perhitungan karbon.

“Karena kalau tadi di awal kami menjelaskan bahwa seperti apa sih pentingnya sebuah keberlanjutan, kenapa sih pentingnya ESG segala macam. Inilah bukti nyata yang memang harus dilakukan,” kata Irvan.

Selain paparan, sesi diskusi berjalan hangat. Mahasiswa bertanya beberapa hal teknis, hingga tantangan dalam menerapkan green product dalam industri semen dan beton di Indonesia.

Irvan menjawab, tantangan terbesarnya adalah biaya. Karena, produk yang biasanya berlabel hijau biasanya biaya produksinya akan lebih tinggi. Ini tantangan, karena industri beton juga merupakan perusahaan yang mencari profit.

“Tapi niat baik untuk bisa jadi industri hijau, itu harus dipertimbangkan agar bisa jadi satu komitmen oleh manajemen,” kata Irvan.

Melalui program Belajar Beton Goes to School, Waskita dan PNJ berharap mahasiswa tidak hanya memahami sisi teknis beton, tetapi juga dimotivasi untuk menjadi agen inovasi menuju pembangunan berkelanjutan. []

(INFO KINI)

Penulis: Tim Media Servis