tirto.id - Menteri Keuangan Sri Mulyani waswas menghadapi tahun 2021 karena pada tahun itu peringkat utang (credit rating) Indonesia mungkin goyang. Peringkat utang menggambarkan kepada kreditur atau investor tingkat kemampuan subjek--termasuk negara--membayarkan utang.
Ia bilang berbagai negara dalam kelompok emerging market telah mengalami penurunan rating alias downgrade. Meski begitu Sri Mulyani bilang pemerintah akan berusaha Indonesia tak mengikuti jejak mereka.
“Kami akan jaga supaya rating tetap terjaga sehingga bisa masuk kelompok emerging market yang bertahan dalam rating cukup baik meski seluruh dunia banyak mengalami downgrade rating oleh Moody's dan agensi lain,” ucap Sri Mulyani dalam konferensi pers virtual, Selasa (29/9/2020).
Upaya tersebut bakal ditunjukkan dengan menjaga dan mengelola APBN dengan baik. Menjaga bujet ini penting lantaran jadi indikator investor untuk melihat apakah negara masih mampu mengelola keuangan, termasuk membayar utang.
Defisit APBN 2021 dipatok masih tinggi di angka 5,7%, sedikit turun dari 6,34% pada tahun ini.
Lembaga pemeringkat Fitch Ratings mencatat sudah ada 28 negara emerging market yang peringkat utangnya turun hingga 15 Juli 2020. Indonesia sendiri baru sampai pada tahap mengalami pemangkasan prospek (outlook) alih-alih peringkat. Melansir Reuters, S&P Global Ratings memangkas outlook utang jangka panjang Indonesia dari BBB 'stable' menjadi 'negative'.
Outlook negatif berarti ekspektasi investor dapat memburuk di masa depan. Lembaga pemeringkat berpotensi mengambil tindakan memangkas peringkat pada pengumuman berikutnya.
Beberapa negara tetangga juga turut mengalami situasi seperti Indonesia. S&P dan Fitch Ratings memangkas outlook utang Malaysia dari A- stable menjadi A- negative (27 Juni 2020). Sementara Vietnam dan Thailand lebih beruntung, outlook mereka hanya dipangkas dari positive ke stable.
Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Indonesia Ramdhan Ario Maruto mengatakan penurunan rating memang tak terhindarkan. Penyebabnya tak lain adalah pandemi COVID-19. Pagebluk sedikit banyak berpengaruh terhadap inflasi, stabilitas nilai tukar, dan pertumbuhan ekonomi--yang menjadi acuan lembaga pemeringkat.
Pukulan ekonomi dari COVID-19 sedikit-banyak memangkas pendapatan negara, yang juga merupakan salah satu pertimbangan dari lembaga pemerintah dalam menilai kemampuan bayar. Di sisi lain, pemerintah harus meningkatkan utang demi menutup belanja yang terus naik demi menangani pandemi.
Untuk Indonesia, sejumlah indikator sebenarnya sedang kurang baik. Misalnya deflasi yang mengindikasikan penurunan daya beli, nilai tukar yang melemah lagi, dan kontraksi ekonomi di 2020. Belum lagi peningkatan utang pemerintah.
Meski demikian, Ramdhan bilang Indonesia masih mungkin selamat. Ia bilang likuiditas masih cukup baik. Pada Maret-April lalu, investor asing memang meninggalkan Indonesia tetapi masih dapat ditopang dengan investor domestik.
Investor asing menurutnya juga masih menilai utang Indonesia relatif menarik. Pasalnya, suku bunga global sedang berada dalam tren menurun sedangkan imbal hasil utang Indonesia masih di kisaran 6%.
“Kalau potensi [turun rating] ada. Utang kita penerbitannya besar tahun ini. Tapi kondisi pasar masih baik. 2020 ini belum akan turun,” ucap Ramdhan saat dihubungi pada Rabu (30/9/2020).
Peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abdul Manap justru menilai potensi penurunan rating Indonesia besar. Ia mengatakan fiskal Indonesia semakin rapuh yang dikhawatirkan memengaruhi kemampuan membayar. Buktinya, rasio perpajakan terhadap PDB terus turun. Per 2021 nanti, tax ratio Indonesia diperkirakan mentok di angka 8,16% PDB, lebih buruk dari 2019 10,7% dan 11,9% di 2018 yang menurut OECD termasuk yang terendah di Asia Pasifik.
Di sisi lain, utang Indonesia tergolong mahal. Imbal hasilnya (yield) tertinggi dalam daftar negara Asian Development Bank (ADB), di kisaran 6,95%.
Manap bilang dari perhitungannya sekitar 25% penerimaan perpajakan hampir selalu dialokasikan untuk membayar bunga utang.
Jika rating turun, Manap mengatakan konsekuensinya cukup buruk. Pertama, biaya penerbitan utang Indonesia akan semakin mahal karena investor akan meminta yield lebih tinggi untuk mengompensasi risiko investasi mereka. Selain susah mencari pendanaan, juga membebani APBN padahal ekonomi belum pulih maksimal.
Kedua, korporasi dan BUMN di Indonesia akan terkena dampak domino lantaran rating utang mereka melekat pada pemerintah. Bagi BUMN, sudah menjadi rahasia umum kalau pemerintah menjamin utang perusahaan pelat merah. Lalu, baik-buruknya kemampuan membayar suatu korporasi tentu ditentukan juga seberapa baik perekonomian suatu negara agar mereka dapat menghasilkan keuntungan.
Saat S&P memangkas outlook pemerintah, Jumat (17/4/2020), outlook 4 BUMN ikut turun menjadi negatif. Keempatnya adalah PT Pertamina, PT PLN, PT Pelabuhan Indonesia II, dan PT Jasa Marga.
Manap mengatakan agar hal ini tidak terjadi, mau tak mau pemerintah harus serius menangani COVID-19. Ia bilang berbagai masalah ekonomi dan ketidakpastian bersumber dari persoalan kesehatan sehingga tak dapat ditawar lagi kalau pandemi harus dituntaskan lebih dulu.
“Kalau COVID-19 tidak beres, kita bakal tidak bisa mengelak dari penurunan rating,” ucap Manap, Rabu (30/9/2020).
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino