tirto.id - Ribuan orang di Turki, mayoritas perempuan, turun ke jalan di Istanbul untuk memperingati Hari Internasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan. Kendati demikian, polisi menembakkan gas air mata dan peluru karet ke arah mereka.
Al Jazzeramelaporkan, unjuk rasa ini adalah bagian dari mobilisasi nasional yang berlangsung selama satu minggu dan terjadi di tengah seruan agar Turki bergabung kembali dengan Konvensi Istanbul, sebuah perjanjian penting yang melindungi perempuan dari 45 negara pada 2011, yang ditandatangani di kota terbesar Turki pada 2011.
Turki adalah negara pertama yang meneken perjanjian itu, namun pada bulan Juli, pemerintahan Presiden Recep Tayyib Erdogan menarik diri dari konvensi itu karena menurut mereka "inisiatif tersebut telah dibajak oleh sekelompok orang yang berusaha untuk menormalkan homoseksualitas”.
Erdogan berdalih, undang-undang di Turki sudah memberikan perlindungan yang cukup kepada perempuan. Di sisi lain, kelompok hak-hak perempuan mengatakan, Konvensi Istanbul itu memberikan arah untuk undang-undang penting yang tidak pernah diterapkan secara penuh oleh pemerintah.
Sementara itu, BBC melaporkan, beberapa pihak di partai Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan berpendapat bahwa perjanjian itu tidak sesuai dengan nilai-nilai konservatif Turki. Erdogan mengatakan Turki akan menggunakan hukum setempat untuk melindungi perempuan.
Unjuk rasa itu berakhir dengan bentrok antara polisi dan pengunjuk rasa karena desakan untuk membubarkan diri dari daerah tersebut.
"Perempuan dibunuh," kata seorang pengunjuk rasa kepada Reuters. "Mereka dibunuh di depan umum. Mulai Juni, kami mulai menjauh dari jaminan yang melindungi kami.
"Kami tidak dan tidak akan menerima ini dan kami akan terus berjuang".
Menurut kelompok hak asasi di Turki, 345 wanita telah terbunuh sepanjang tahun ini. Berdasarkan data organisasi non-pemerintah, We Will Stop Femicide, setidaknya pada tahun 2021, ada sekitar 285 wanita di Turki yang dibunuh pria. Organisasi itu melakukan pelacakan kejadian itu dan melobi agar para pembunuh segera dihukum dan diadili.
Menteri Dalam Negeri Turki pada Kamis hanya mengakui angka laporan dari kementeriannya sendiri, khususnya tentang pembunuhan wanita di negara itu. Menurut kementerian, pembunuhan wanita di Turki mencapai 251 orang berdasarkan data 15 November, sedangkan tahun 2020 lalu mencapai 268 wanita. Tetapi pemerintah berjanji untuk menurunkan angka itu.
“Ini bukan hanya statistik, ini adalah masalah kehidupan manusia, dan kita perlu mengatasi masalah ini dengan cepat,” kata Suleyman Soylu pada pertemuan untuk meninjau sistem pelaporan kekerasan dalam rumah tangga nasional.
“Kami melihat kekerasan terhadap perempuan sebagai masalah kemanusiaan, dan kami tidak dapat mentolerir bahkan satu kehilangan nyawa.”
Sikap Perempuan Turki
Meskipun pemerintah Turki mengklaim akan mengatasi masalah itu, tetapi banyak perempuan yang sulit mempercayainya, terutama setelah rezim Erdogan menarik diri dari Konvensi Istanbul.
Gokce (25 tahun) dari Jaringan Pertahanan Perempuan mengatakan: “Perempuan memenuhi jalan-jalan karena di Turki dan di seluruh dunia, kekerasan laki-laki meningkat,” kata Gokce kepada Al Jazeera.
“Kami berada di jalan-jalan untuk menyerukan hak perempuan untuk membela diri, untuk menyerukan keadilan bagi perempuan yang terbunuh, untuk hak mereka untuk bekerja, untuk hak-hak perempuan lesbian.”
Menurut Gokce, Konvensi Istanbul adalah produk kerja para aktivis hak-hak perempuan selama bertahun-tahun oleh. Meskipun Turki tidak pernah sepenuhnya memenuhi kewajiban perjanjian itu, sikap pemerintah yang menarik diri tentu saja mengejutkan.
“Erdogan menarik diri dari Konvensi Istanbul dalam satu malam, dengan alasan menyebarkan homoseksualitas,” katanya.
“Para feminis menulis konvensi ini, dan mereka berjuang untuk menerapkannya. Mereka pergi dari satu pengadilan ke pengadilan berikutnya untuk menerapkannya dan itu masih belum sepenuhnya diterapkan di Turki. Seharusnya tidak hanya keputusan satu orang untuk menarik diri darinya.”
Editor: Iswara N Raditya