tirto.id - Maia Estianty berpose di depan fasad bangunan bermaterialkan bata merah. Perempuan yang tampak awet muda itu mengenakan terusan putih panjang bermotif dan berdiri di taman sambil tersenyum ke arah kamera. Potret diri itu ia unggah di akun Instagramnya.
Sebuah akun Instagram kemudian menyandingkan foto Maia dan situs jual beli daring yang menjual busana tersebut. Busana Maia jadi berita karena harganya yang dianggap tinggi, yakni di atas Rp50 juta. Busana itu dilansir oleh Valentino, label busana asal Roma, Italia, yang dibangun oleh Valentino Garavani pada tahun 1959.
Di Indonesia, Valentino adalah salah satu merek fesyen premium yang cukup diminati. Label busana lain yang setara dengannya ialah Yves Saint Laurent, Prada, dan Gucci. Sepanjang tahun ini, nama Valentino muncul dalam kanal berita hiburan yang membahas paningset pernikahan Kahiyang, gaya penampilan Ayu Ting Ting, dan beberapa potret diri sejumlah selebritas. Publik figur tersebut punya produk serupa yang dilansir Valentino yakni koleksi Valentino Rockstud. Koleksi tersebut di antaranya terdiri dari beragam model alas kaki seperti stiletto, sandal gladiator, flats, dan sepatu sandal yang dihias dengan manik-manik besi pada bagian pinggir produk.
Sejak diluncurkan pada tahun 2010, Rockstud berhasil menyumbang keuntungan yang cukup signifikan bagi Valentino. Sampai sekarang produk tersebut tetap diminati. Salah satu alasannya karena bisa digunakan dalam segala suasana. Kepada Vogue, Maria Grazia Chiuri, mantan direktur kreatif Valentino berkata bahwa ia menciptakan koleksi Rockstud karena melihat kebutuhan akan produk yang pantas digunakan dalam aktivitas sehari-hari.
Tingginya minat publik terhadap Rockstud membuat model produk tersebut ditiru sejumlah pihak. Akhir tahun lalu, Primark, perusahaan retail asal Irlandia meluncurkan sepatu dengan ragam model dan warna yang serupa Rockstud Valentino. Mereka menjual produk dengan harga 16 dolar. Sementara harga yang ditetapkan Valentino untuk produk tersebut ialah 719 dolar. Label fesyen Kate Spade pun pernah menjual sepatu dengan desain seperti ini.
Rockstud dirancang Chiuri dan Pierpaolo Piccioli, dua sosok yang menjabat sebagai direktur kreatif Valentino tahun 2008 – 2016. Sesungguhnya model Rockstud sedikit berbeda dengan gaya desain Garavani yang kental dengan kesan romantis dan anggun.
Tadinya mereka berdua adalah desainer aksesori di rumah mode tersebut. Duo desainer ini naik pangkat setelah Garavani resmi mengundurkan diri dari jabatan sebagai direktur kreatif. Salah satu penyebab pengunduran diri pendiri label ini ialah ketidaksesuaian visi Garavani dengan investor perusahaan.
Dalam dokumenter Valentino: The Last Emperor, Garavani dengan tegas mengungkap bahwa dirinya tidak mau diatur. Pada 2007, setahun sebelum film itu dirilis, label Valentino memang didanai oleh salah satu grup tekstil besar Italia. Matteo Marzotto, pria berusia di bawah 30 tahun jadi pemimpin perusahaan dan bertanggung jawab atas seluruh kebutuhan finansial label Valentino. Ia meminta sang desainer untuk "mengikuti zaman" atau melihat permintaan pasar. Garavani menolak itu.
"Saya selalu berada di dalam studio dan tidak menyimak apa yang terjadi di dunia luar. Saya sangat berterima kasih pada Giancarlo karena menyembunyikan hal-hal atau informasi dari luar agar mood saya tetap baik. Saya hanya bisa melakukan tiga hal yaitu membuat pakaian, mendekorasi rumah, dan menghibur orang,” ujarnya pada Vanity Vair.
Giancarlo Giammetti ialah partner bisnis sekaligus mantan kekasih Garavani. Kerjasama mereka dimulai pada awal tahun 1960-an saat bisnis Garavani nyaris bangkrut. Giammetti lantas merancang pengembangan bisnis dan berbagai hal lain di luar desain busana, sesuatu yang selama ini luput diurus Garavani. Ia memang hanya terobsesi membuat perempuan tampil cantik dan sensasional, sesuatu yang telah tertanam sejak dirinya masih remaja. Kala itu, Garavani selalu terpana dengan penampilan para bintang televisi dan ia kerap membaca majalah gaya hidup.
“Saya suka keindahan dan itu bukan salah saya. Saya tahu apa yang wanita inginkan. Mereka ingin tampil cantik,” katanya dalam Valentino: The Last Emperor.
Cantik di benaknya bisa terwujud dengan membuat gaun yang membuat pemakainya terlihat elegan, langsing, dan semampai. Tidak ada potongan baju yang eksperimental atau membingungkan. Karya Garavani terbilang rapi dan terkesan "mapan". Ia tidak suka desain dekonstruktif khas gaya punk atau grunge.
Pada akhir tahun 1960-an, ia sempat jadi perancang langganan Jackie O. Garavani mendesain sejumlah gaun pesta hingga gaun pernikahan Jackie. Bagi Garavani masa tersebut ialah masa keemasan. Desainer yang selalu tampil mengenakan suit lengkap ini pun bilang bahwa ia merancang busana untuk sejumlah pejabat publik.
Pada 1970-an, Giammetti adalah salah satu orang pertama yang memanfaatkan strategi lisensi bisnis untuk mendongkrak penghasilan. Vanity Fair menyebut pola bisnis ini yang membuat Garavani dan Giammetti kaya raya. Pada 1998, Valentino S.p.A dijual senilai 300 juta dolar kepada HdP, salah satu konglomerasi Italia. Valentino sempat berganti kepemilikan beberapa kali.
Pada tahun 2000an itu Valentino banyak meladeni order gaun pernikahan dan gaun pesta para putri raja yang sebagian besar berasal dari kerajaan di Eropa. Beberapa bulan setelah melansir pameran dan koleksi peringatan 45 tahun berkarya, Garavani memutuskan untuk berhenti.
Pria yang kini berusia 86 tahun lebih punya lebih banyak waktu untuk menjalani kegemaran mengadakan jamuan pesta di kediamannya yang tersebar di beberapa negara. Salah satu rumah yang kerap jadi lokasi pesta ialah Chateau de Wideville, Perancis, rumah yang sempat dimiliki oleh Raja Louis XIV.
Pada tahun 2014 lalu, Valentino mengadakan jamuan bersama keluarga Kardashian di sana. Kata Garavani, jamuan tersebut diadakan untuk menyambut pesta perayaan pernikahan Kim dan Kanye West.
Pada tahun yang sama, ia melansir Valentino: At The Emperor’s Table, buku yang berisi dekorasi tata saji jamuan. Bagi Garavani, dekorasi meja makan ialah segalanya. Kepada Vanessa Friedman dari New York Times ia mengaku bahwa dirinya bahkan tetap mendekorasi tata saji meja makan meski makan seorang diri.
Dalam film dokumenternya, Garavani bilang bahwa dirinya tidak bisa membayangkan bila harus berkarya di luar ranah fesyen. Sekarang bayangan itu malah jadi kenyataan. Garavani kini memilih hidup sebagai seorang sosialita. Begitu pula para pengguna karyanya, termasuk Maia. Secara tak disengaja, lewat foto unggahannya di Instagram, Maia memancarkan citra Garavani yang sebenarnya: seorang penikmat kemewahan.
Editor: Nuran Wibisono