tirto.id - “Saya membayangkan Jeremy Scott sebagai paman. Dia penuh dengan fantasi-fantasi gila dalam kreasinya. Kegilaan versi couture di dalam ranah mode,” kata Lokita, 28 tahun, yang mengungkap kekaguman pada desainer busana dan aksesori asal Amerika Serikat. Kini, Lokita baru memiliki satu jam tangan karya Scott. Ia berharap bisa membeli produk lain karya desainer yang sama di kemudian hari.
Scott telah berkarya di ranah mode sejak tahun 1997. Ia membangun lini mode yang dinamai sesuai dengan nama lahirnya dan menciptakan produk yang berangkat dari benda-benda di sekitarnya. Pria ini telah berkolaborasi dengan lini Adidas untuk mendesain produk sepatu lebih dari 10 tahun. Sepatu karyanya sebagian besar kaya warna. Ia membubuhkan sayap tiga dimensi hingga menciptakan sepatu berbentuk boneka Teddy Bear.
Sejak 2013, Scott didaulat menjadi direktur kreatif Moschino, rumah mode premium asal Italia. Karya pertamanya terinspirasi dari McDonalds. Busana dalam koleksi itu diantaranya ialah terusan merah dengan aksen rantai berwarna kuning dan sweater merah dengan logo huruf M berwarna kuning. Pengamat mode menyebut kedua benda tersebut sebagai peleburan antara desain ikonik Coco Chanel dan McDonalds.
Dalam koleksi musim semi 2018, Scott mengeluarkan desain koleksi yang terinspirasi dari figur My Little Pony. Salah satu produknya ialah tas jinjing berbentuk kotak menaruh bekal makanan anak dengan gambar kuda poni di seluruh permukaannya. Scott menyukai hal-hal yang mengingatkannya pada masa kecil. Baik itu permainan atau acara televisi. Baginya hal tersebut mampu menggugah emosi sekaligus menyentuh perasaan seseorang.
Kesenangan tersebut senantiasa diwujudkan dengan menciptakan produk yang ia anggap mengandung unsur humor. “Tidak penting apakah orang lain mengerti apa yang saya pikirkan. Selama Anda bisa menangkap hal pokok yang saya sampaikan, hal itu sudah bisa menjadi sesuatu hal yang menyenangkan sekaligus kuat,” katanya.
Moschino di mata Jeremy bicara tentang humor. Rumah mode tersebut diciptakan pada tahun 1983 oleh Franco Moschino. Pada zamannya, ia dikenal sebagai desainer yang gemar membuat produk “anti-fashion” dan mengambil inspirasi dari budaya pop. Pada 1989, ia mendesain kemeja bermotif telur mata sapi. Busana tersebut kemudian menjadi koleksi Metropolitan Museum of Art, New York. Moschino meninggal pada 1994. Perannya diteruskan oleh asistennya.
Saat Scott menerima tawaran sebagai creative director, ia berpikir, “Apabila bukan saya yang mengambil peran dan melakukan ini, orang lain akan melakukannya dengan keliru.”
Tanpa ragu, ia menerima tawaran tersebut. Pujian yang paling berarti didapat ketika kolega Scott berkata bahwa mereka kembali merasakan semangat mendiang Moschino dalam desain koleksi Moschino. “Pendekatan saya adalah kontradiksi,” katanya kepada Vogue.
Dua tahun belakangan, inspirasinya turut datang dari kardus, kantung plastik, dan buket bunga. Pola dan motif kardus ia ubah menjadi setelan busana. Bentuk kantung plastik dengan bahan serupa plastik ia jadikan sebagai terusan mini.
“Bagi saya, perbedaan antara budaya tinggi dan rendah sudah tidak ada lagi. Saya tidak peduli dengan kritik yang menjelekkan saya,” tuturnya.
Pada 2016, Moschino menyumbang 70% keuntungan bagi induk perusahaan. Di tahun itu, perusahaan mengalami pertumbuhan 8,5% dalam kurun waktu satu tahun. Label asuhan Scott itu mendapat keuntungan sebesar 197,7 juta euro. Dan hal itu berasal dari produk yang memantik reaksi mengernyitkan dahi saat pertama kali memandangnya.
Sekali tiga uang dengan apa yang dibuat oleh desainer Demna Gvasalia. Ia adalah direktur kreatif rumah mode Vetements dan Balenciaga. Produk-produk lansirannya memiliki efek mengejutkan. Ia pernah membuat boots dengan hak berbentuk korek api dan rok yang tampak terbuat dari karpet mobil.
“Saya merasa arti kata buruk itu menarik. Sama menariknya ketika kita berupaya untuk menemukan batas di mana buruk bisa menjadi indah atau indah menjadi buruk. Itu adalah tantangan yang saya sukai. Saya suka ketika orang lain menganggap koleksi saya jelek. Buat saya itu pujian,” tutur Gvasalia.
Pertengahan tahun lalu, Gvasalia melalui label Balenciaga mengeluarkan tas yang bentuknya serupa dengan tas belanja yang dimiliki toko furnitur IKEA. Hal tersebut menjadi viral di media sosial dan turut mengundang respons dari manajemen IKEA.
Di tahun yang sama, Balenciaga memodifikasi desain khas sepatu bermerek Crocs untuk koleksi musim semi 2018. Para model di panggung busana mengenakan alas kaki serupa sandal Crocs dengan hak 10 cm. Lengkap dengan hiasan yang menempel pada permukaan sepatu.
Gvasalia menjadi bahan perbincangan sejak tahun lalu saat ia mengeluarkan koleksi kaos kuning bertuliskan DHL. “DHL memegang peran penting dalam hari-hari kami di kantor. Mereka selalu ada,” katanya. Kaos DHL itu dijual seharga 185 poundsterling. Hal ini lantas menuai kritik dari sejumlah pihak.
Helge Rieder, mantan direktur kreatif dari sebuah agensi desain, berkata bahwa menjual kaos berlogo DHL dengan harga ratusan poundsterling adalah hal gila dan tidak kreatif. Angela McRobie, profesor media dan komunikasi dari Goldsmiths dan penulis buku Be Creative: Making a Living in New Culture, beranggapan Vetements tidak berpandangan kritis terhadap sistem di dunia mode.
“Bagaimana Anda bisa kritis apabila untuk bertahan saja perlu pakai iklan? Koleksi itu terlalu mudah. Merek tidak sadar dengan konteks sosial dan sejarah. Di dalam era media sosial, kebaruan tidak mudah didapat.”
Kenyataannya, produk tersebut terjual habis di pasaran. Bahkan, muncul produk-produk serupa dengan kualitas dan harga yang jauh lebih rendah. Kaos DHL menarik perhatian para model, blogger, dan pengarah gaya. Meme pun cepat tercipta.
“DHL sangat tidak bisa ditebak. Di saat desainer lain main aman, Demna muncul dengan produk ini. Buat saya, dia eksentrik. Berani menaikkan level merek kelas menengah ke level yang lebih tinggi. Misalnya saat berkolaborasi dengan Eastpak dan Fila. Apalagi saat dia kerjasama dengan merek Juicy Couture yang saat itu sudah redup namanya. Demna menaikkannya lagi,” kata Astrid Bestari, penggemar Demna Gvasalia.
Guram Gvasalia, CEO Vetements, pernah bilang bahwa ia tidak bisa mempertimbangkan Louis Vuitton sebagai brand mewah lantaran semua orang bisa memiliki setiap benda yang diproduksi dalam jumlah besar. Ia dan Demna menikmati memproduksi busana dan aksesori dalam skala tertentu.
Ketertarikan pada hal-hal “ringan” ternyata tak hanya dirasakan Jeremy Scott dan Demna Gvasalia. Di koleksi musim semi 2018, Nicholas Ghesquiere, direktur kreatif Louis Vuitton mengejutkan publik dengan melansir t-shirt hitam katun dengan sablon bergambar tokoh dan tulisan serial Stranger Things.
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Maulida Sri Handayani