tirto.id - Rachel Goddard menganggap YouTube sebagai salah satu hal terbaik yang pernah terjadi dalam hidupnya. Hal itu ia tuangkan dalam tayangan 'Draw My Life' miliknya yang diunggah setahun lalu dan telah ditonton lebih dari 1 juta kali. 'Draw My Life' adalah video cerita sukses yang kerap dibuat para influencer—di antara mereka adalah Raditya Dika, Laurent Rando, Kevin Hendrawan, dan Molita Lin.
Goddard berkenalan dengan YouTube saat ia masih bekerja paruh waktu sebagai penata rias pada 2012. Semula kanal itu dibuat untuk menyimpan portofolio hasil kecakapannya merias, tapi lantas terbengkalai selama tiga tahun.
Kanal itu baru ia sentuh kembali saat ia berada di Kazakhstan sewaktu mengikuti suaminya, Ben Goddard, yang berdinas di negara berbahasa Rusia itu. Ia bergabung dengan komunitas beauty vlogger Indonesia dan menemukan personal branding sebagai parodi tutorial make up pertama di Indonesia.
Selama ini wanita cantik acap diasosiasikan sebagai mereka yang berkulit putih, tinggi, langsing, lengkap dengan rambut panjang. Paradigma usang itulah yang ingin ditepis Rachel Goddard.
Melalui beragam video tutorial make up di kanal YouTube, ia memperkenalkan tren merias wajah dengan ciri khas kulit sawo matang, yang kebanyakan mewakili perempuan Indonesia. Definisi cantik melawan arus yang diusung Rachel ini membawanya menjadi salah satu beauty vlogger paling berpengaruh saat ini di tanah air.
Baru-baru ini, ketika saya menghubunginya, Eka, manajer Rachel, mengabarkan bahwa selebgram 30 tahun itu tengah bersiap bertolak ke Inggris, kampung halaman sang suami. Eka berkata kepada saya bila ingin wawancara harus via email.
Sedikit yang dapat dikulik dari jawaban Rachel yang dikirim melalui pesan suara. Namun, jika mengutip cerita dari tayangan Draw My Life, YouTuber satu ini mengawali karier di sebuah majalah wanita sebagai assistant beauty editor. Selang beberapa lama, ia baru menyadari renjananya di dunia tata rias wajah. Meski tak jauh dari profesi sebelumnya, ia memilih banting setir menjadi make upartist.
Di YouTube, kanal Rachel memiliki pelanggan lebih dari 500 ribu. Jika berdasarkan penilaian socialblade.com, situsweb penyedia data statistik para influencer di media sosial berbasis di Amerika Serikat, kanal Rachel Goddard berada pada grade B. Dari situs itu pula diketahui estimasi penghasilan Rachel dapat mencapai Rp98 juta hingga Rp1,5 miliar per tahun.
Menanggapi hal itu, Rachel tertawa keras-keras. “Kalau benar penghasilan aku segitu, aku sudah enggak tinggal di apartemen ukuran 30 meter kayak gini,” ujarnya melalui pesan suara yang dikirimkan manajernya Eka.
Ia hanya memberi gambaran bahwa penghasilannya cukup untuk membeli peralatan make up baru saban bulan dan melancong ke luar negeri. Lantaran itu ia memilih untuk melepas pekerjaan lama dan fokus sebagai full-time beauty vlogger.
Ia berkata memakai jasa konsultan pajak untuk menghitung penghasilan wajib pajak. "Sebagai warga negara yang baik, aku pasti lapor dari tahun ke tahun," tambah dia. "Aku juga mulai rajin ngumpulin bukti potong."
Dari Kanal Pribadi hingga Kelompok
Rachel Goddard adalah segelintir individu yang memilih berprofesi sebagai YouTuber. Penghasilan yang cukup menjanjikan membuat platform ini dilirik tak hanya oleh personal tapi juga kelompok atau badan usaha. Hampir semua stasiun televisi, portal media online, hingga rumah produksi memiliki kanal di YouTube, bagian dari bisnis digital sekaligus adaptasi terhadap perubahan konsumsi informasi akibat disrupsi yang dibawa oleh internet.
Misalnya Cameo Project yang digagas Andry Ganda. Semula hanya rumah produksi jasa video pernikahan dan iklan, belakangan untuk kebutuhan portofolio, Andry menyimpan beberapa video proyek idealisnya pada kanal YouTube. Seiring waktu, dengan melihat bisnis konten digital semakin menggeliat, ia mengajak beberapa kawannya, termasuk Yosi Mokalu atau Yosi Project Pop, untuk membuat video menarik.
Salah satu video mereka, berisi pesan politik saat pilkada DKI Jakarta 2012, itu viral. Cameo Project semakin dikenal dan hingga kini memiliki lebih dari 300 ribu subscriber.
Meski begitu, Andry berkata kepada saya bahwa penghasilan Cameo dari monetisasi YouTube tak cukup besar. “Sudah kecil, masih harus dibagi berenam. Belum sama staf kantor. Sudah pasti lebih besar hasil endorse,” ujarnya di kantor Cameo Project di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat, beberapa hari lalu.
Tapi toh derasnya tawaran endorse membuat Cameo akhirnya mau tak mau membuat rate card untuk tarif endorse. “Tergantung kontennya mau seperti apa. Kami bagi ada short movie, parodi musik, sketsa, yang masing-masing berbeda harga. Kami mulai dari kisaran Rp40 juta hingga Rp100 juta per video,” jelas Andry.
Sementara soal pembayaran pajak, Cameo Project sebagai badan usaha akan lebih mudah perhitungannya karena menggunakan ketentuan pajak perusahaan. “Tentu sudah digabung dengan penghasilan dari rumah produksi secara keseluruhan. Kan, kami enggak bermain di YouTube saja,” lanjut Andry.
Kendati cukup taat pajak, Cameo Project sebenarnya berharap agar pemerintah membedakan norma pajak influencer dari artis biasa. “Karena pajak artis itu besar. Kalau kami, kan, hitungannya seperti UKM, hanya saja output berupa konten,” timpal Yosi.
Viralnya konten-konten yang diproduksi Cameo tak terlepas dari peran Yosi Mokalu yang lebih dulu dikenal publik lewat grup musik Project Pop. Yosi mengatakan alasan ia bergabung dengan Cameo Project untuk menemukan lapangan baru berkarya di luar aktivitas bermusik. “Jadi ya enggak sekadar mencari views,” kata Yosi.
Pajak Masih Berpatok pada Mekanisme Lama
Brian, bukan nama sebenarnya, tak pernah membayangkan video bermain anak sulungnya yang ia edit ala kadarnya menjadi viral. Baru sebulan aktif, videonya sudah ditonton 10 ribu kali, cukup memenuhi syarat minimal monetisasi YouTube. Dan dalam setahun, saluran YouTube miliknya sudah memiliki hampir 100 ribu pelanggan.
Ia kemudian mulai menekuni kegiatan baru tersebut setelah berdiskusi dengan seorang kawan yang juga YouTuber. Berbekal ponsel pintar, ia kerap merekam aktivitas sang anak, lalu mengunggahnya hampir setiap hari. Brian mengaku seluruh kegiatan mulai dari merekam, mengedit, hingga mengunggah itu hanya menggunakan satu gawai, yakni ponsel pintarnya.
“Jadi tidak ada treatment khusus kok untuk syuting. Kalau anak saya lagi main, ya rekam. Ngeditnya ya bisa di mana saja, di kereta pun bisa,” ujar Brian.
Dari kegiatannya itu, Brian dapat mengantongi Rp10 juta per bulan hasil monetisasi YouTube. Sementara terkait pajak, ia mengaku tak begitu paham penghitungannya jika berprofesi sebagai YouTuber.
“Bukannya tidak mau bayar. Tapi kami tidak tahu mekanismenya bagaimana,” ujar dia.
Memang, sejak muncul sebagai tren dan melahirkan bisnis baru di dunia digital dengan perputaran uang yang menggiurkan, pemerintah Indonesia mulai melirik industri kreatif ini sebagai sumber penerimaan pajak untuk negara. Namun, hingga kini pemerintah belum memiliki mekanisme pemungutan pajak yang tepat terhadap para influencer tersebut.
Jika pada YouTube hal ini dapat dilakukan dengan monetisasi otomatis dari Google, tetapi bagaimana soal endorsement?
Endorsement tak hanya dilakukan oleh brand besar yang sudah punya nama, melainkan juga dipakai luas oleh online shop. Pajak bisa jadi adalah nomor kesekian di bawah orientasi laba. Terlebih mekanisme pajak Indonesia menggunakan metode self-assessment, alias wajib pajak harus secara aktif melaporkan sendiri besaran pajaknya.
Di sisi lain, pemerintah tak bisa memelototi semua kegiatan transaksi di dunia maya, kecuali ada mekanisme lain yang ditopang oleh teknologi. Jelas, ini berbeda dari perilaku bisnis konvensional.
Ditemui di kompleks Parlemen Senayan pada awal Februari lalu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Suahasil Nazara, mengaku bahwa institusinya sudah menemukan mekanisme penentuan pajak untuk para influencer tersebut.
“Itu masih didiskusikan. Pada prinsipnya mengatur supaya yang konvensional dan elektronik ini akan disamakan," katanya.
Ia menambahkan bahwa variabel pajaknya tidak ada yang baru, tetapi "tata caranya saja yang beda.” Meski begitu, mungkin karena dalam situasi wawancara spontan, mungkin juga karena belum ada langkah yang konkret, Suahasil Nazara menolak untuk menjelaskan lebih rinci soal perbedaan tata cara yang dimaksud tersebut.
===========
HAK JAWAB DARI RACHEL GODDARD
1. Pada 8 Februari 2018, reporter Tirto menghubungi tim Rachel Goddard untuk wawancara mengenai pendapatan yang dilansir dari socialblade.com
Kami kecewa karena waktu wawancara, ekspektasi saya adalah Tirto bisa membuat artikel yang mengedukasi orang-orang. [Tapi] ternyata membuat judul yg clikbait tanpa mementingkan isi artikel.
Terimakasih,
Eka Pratiwi
Regards,
Rachel Goddard
Youtuber / Beauty Vlogger
-------------
Jawaban:
Kami telah memuat secara proporsional cerita Rachel Goddard terkait pajak. Kami telah menambahkan kutipan bahwa Rachel memakai jasa konsultan pajak.
Kutipannya dalam artikel (lihat paragraf 11 sebelum anak judul pertama): "Sebagai warga negara yang baik, aku pasti lapor dari tahun ke tahun," tambah Rachel. "Aku juga mulai rajin ngumpulin bukti potong."
Soal ilustrasi artikel yang menampilkan wajah Rachel (dalam artikel di Line Today masih versi semula), mungkin itu yang mendorong asumsi kilat, tanpa baca artikelnya secara utuh, bahwa pemberitaan kami "menggiring asumsi publik bahwa Rachel Goddard tidak membayar pajak," sebagaimana tuduhan Anda.
Kami sudah mengganti ilustrasi untuk artikel ini. Kami minta maaf jika sudah memunculkan asumsi macam itu. Soal tuduhan judul yang clickbait, kami selalu menekankan judul yang proporsional. Ruang redaksi di Tirto melarang pemakaian judul yang mengesankan sensasional, bombastis, jauh panggang dari substansi artikel dan berita.
Meski judul semula bagi kami sudah imparsial, kami bisa memahami kecemasan Anda. Karena itu pula kami sudah mengganti judul yang lebih lapang menampilkan isi laporan.
Bila baca artikelnya dengan utuh, tak ada sedikit pun motivasi atau pesan tersirat bahwa sumber yang kami wawancarai, termasuk Rachel Goddard, lari dari kewajiban pajak. Laporan ini menjelaskan bahwa bisnis YouTuber, atau influencer untuk istilah profesi secara umum di media sosial, belum secara memadai diatur oleh Dirjen Pajak, termasuk pula untuk ekonomi digital atau e-commerce.
Kami sudah menulis secara terang bahwa "mekanisme pajak Indonesia selama ini masih memakai metode self-assessment, alias wajib pajak harus secara aktif melaporkan sendiri besaran pajaknya," betapapun perkembangan pola bisnis telah berubah secara dahsyat akibat disrupsi yang dibawa oleh internet.
Karena itulah kami menyebut urusan pajak bagi para pelaku bisnis di lanskap digital ini masih "abu-abu", sementara opsi wajib pajak dalam peraturan di Indonesia tahun 2015 yang dekat dengan profesi influencer masih dimasukkan dalam kategori "kegiatan hiburan, seni, dan kreativitas lainnya" atau "kegiatan pekerja seni". (Lihat Lampiran I nomor urut 1341 sampai 1346 dalam Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-17/PJ/2015 tentang norma penghitungan penghasilan neto.)
Soal penghitungan pajak ini, kami telah menguraikannya dalam laporan ketiga: Menghitung Pajak YouTuber dan Selebgram.
Terima kasih atas hak jawab Anda,
Fahri Salam
Editor Indepth Tirto
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam