tirto.id - Memiliki lebih dari 746 ribu pelanggan setia di kanal YouTube, Kevin Hendrawan menjadi salah satu selebritas media sosial paling berpengaruh saat ini. Konten videonya yang kerap membagikan momen jalan-jalan ke pelbagai tempat di seluruh dunia praktis menampilkan citra gaya hidup wah.
Dari estimasi socialblade.com, pendapatan Kevin dari monetisasi YouTube saja mencapai 209 ribu dolar AS atau setara Rp3 miliar per tahun. Namun, Kevin menampik hal itu. Penghasilannya sebagai YouTuber diakui "tak banyak" untuk sekadar menutup ongkos produksi pembuatan video. Gaya hidupnya, menurutnya, jauh dari mewah.
Berapa sebenarnya penghasilan YouTuber sekelas dirinya? Dan bagaimana mereka mengelola pajak dari penghasilan iklan maupun aktivitas endorsement? Selasa pekan lalu, 13 Februari, Kevin datang ke kantor Tirto untuk untuk menjelaskannya kepada kami.
Awal menjadi YouTuber, apakah sudah mempertimbangkan bidang ini sebagai pekerjaan utama?
Perjalanan saya di dunia entertaintment mulai tahun 2014. Saya menang ajang kompetisi yang disiarkan di TV. Itu membuka jalan. Saya lalu sempat jadi presenter di stasiun televisi lalu di National Geographic di luar.
Saya kemudian balik ke Indonesia, jadi presenter "Jalan-Jalan" di Net TV. Waktu itu saya ke Kutub Utara. Kemudian saya melihat masyarakat apalagi Generasi Milenial mulai beralih, sudah tidak mencari hiburan di TV tapi di YouTube. Nah, saya mulai coba vlogging. Traffic-nya awal-awal masih kecil. Jadi kalau ditanya apakah waktu memulai sudah memikirkan YouTube sebagai bisnis, jawabannya enggak. Karena itu berjalan seiring waktu.
Seiring naiknya traffic di YouTube, saya mulai meninggalkan TV dan fokus menjadi YouTuber dan media sosial.
Pertama kali itu saya mencoba vlog—video blog. Puji Tuhan, saya mulai pas. Waktu tren datang, saya sudah mulai duluan. Dan mulainya saat itu cukup susah. Traffic belum ada dan saya sempat berpikir untuk berhenti. Kenapa? Karena untuk menjalankan sulit karena saya harus mengerjakan semuanya sendiri. Ambil gambar sendiri, ngedit video sendiri, bikin ide sendiri; pendeknya, seperti satu tim produksi TV, kita hajar sendiri.
Saya sempat bikin tiga bulan, upload banyak tapi enggak ada viewer-nya sama sekali. Pada saat itu saya berpikir untuk berhenti. Karena kalau pendapatan dari YouTube sendiri sebagai mata pencaharian, tidak besar. Biaya produksinya saja berapa? Tapi walaupun tekor, saya bikin terus.
Berapa?
Saya tidak bisa bilang angka tepatnya. Kan, kalau dari viewer-nya kita dapat duit. Tapi pendapatan yang diterima enggak bisa menutup pengeluaran untuk biaya produksi. Karena pendapatan YouTuber dari Indonesia itu saya bisa bilang sepersepuluh atau bahkan seperlimapuluh dari YouTuber Amerika. Range-nya beda.
Kemudian traffic saya naik terus. Sampai suatu hari saya bikin video tentang Pokemon Go. Traffic-nya bertambah sampai saya dapat viewer tembus dua juta lebih. Mulai dari situ, jadi banyak viewer di vlog saya. Jadilah channel Kevin Hendrawan seperti sekarang.
Karena saya enggak bisa bohong saya harus punya laptop harus bisa ngedit. Kemudian saya memulai YouTube pada 2016, tentu berbeda pada tahun 2008. Itu pakai kamera CCTV saja orang sudah senang. Tapi saya memulai ketika sudah banyak pula yang besar. Mereka sudah punya modal untuk pakai kamera bagus, perlengkapan bagus, dan saya enggak bisa bohong saya harus keep up.
Memang bukan segalanya tapi saya butuh kalau memang mau bersaing. Awalnya beli kamera, kemudian beli lighting, hingga sekarang kami punya satu studio. Apalagi orang nonton lewat handphone, jadi kualitasnya harus bagus. Tapi di masa itu saya enggak ada profit sama sekali. Kenapa bertahan? Karena saya anggap itu investasi.
Instagram itu aku pakai sebagai supporting saja. Misalnya ada video baru nih, aku promo di Instagram. Tapi traffic semuanya aku arahkan ke YouTube.
Menjadi selebgram atau influencer tidak terlepas dari aktivitas endorse, bagaimana mekanismenya?
Ya, kalau endorse sebenarnya simpel. Ada barang, kemudian ada sejumlah uang, ya di-endorse-lah. Simpelnya, bayar orang untuk promosi tapi di media sosial.
Tarifnya?
Ini yang sebenarnya agak abu-abu. Kenapa? Karena sesama influencer tidak saling kenal dan tidak ada yang bisa memberi standar kalau follower-nya atau subscriber segini, maka rate-nya sekian. Jadi kalau ditanya rate-nya berapa, jawabannya beda-beda. Tergantung kelasnya juga.
Ada orang yang fotonya bagus-bagus di Instagram, pasti harga endorse-nya lebih tinggi. Tapi kalau lebih tinggi pasti jumlahnya juga lebih sedikit. Hanya brand tertentu saja yang besar yang berani pasang endorse. Ada juga selebgram yang ambil semuanya. Mau ada lulur, pembesar ini-itulah, yang penting duit. Ya seperti itu yang kadang bikin aku miris. Karena kami enggak pernah tahu, kan, ada peng-endorse asal kasih barang tapi kami enggak pernah tahu itu barang tipuan atau palsu.
Tarif endorse Anda siapa yang menentukan?
Saya sendiri. Tapi saya tidak punya rate card.
Bagaimana menentukannya?
Dilihat dari engagement postingannya. Karena gini: ada orang yang jumlah like-nya banyak, komentarnya enggak ada. Ada orang yang komentarnya banyak, tapi like-nya sedikit. Ada juga yang followers-nya banyak tapi likes-nya sedikit. Nah, yang kayak gitu, kan, dipertanyakan.
Kami lihat perbandingan dari follower, like, dan komentar. Karena saya mengelola media sosial ini secara profesional, saya mencoba menciptakan standar saya sendiri. Dan juga dilihat dari sosial ekonomi statusnya, yang follow ini siapa. Itu memengaruhi. Berapa persen cowok, berapa persen cewek.
Jadi saya bisa memilah misalnya jika ingin di-endorse produk yang mungkin kebanyakan dipakai perempuan, mungkin bisa dilakukan karena follower saya kebanyakan perempuan. Misalnya begitu.
Pendapatan mana yang lebih besar? Youtube atau Instagram?
Kami dapat uang dari advertiser. Orang nonton YouTube pastinya YouTuber dapat nilai lebih. Tapi tidak setiap bulan banyak iklan. Dan banyak iklan bukan YouTuber yang menentukan, melainkan platform. Itu otomatis. Pilihannya cuma kami mau diaktifkan iklannya atau tidak.
Di bulan seperti Februari, Maret, atau di bulan-bulan kosong, perusahaan tidak terlalu mengeluarkan banyak iklan. Tapi kalau mau Lebaran, misalnya, baru banyak. Mungkin hampir 40 persen video ada iklannya. Kalau misalkan akhir tahun juga banyak iklannya. Tidak ada pendapatan tetap. Fluktuasinya sangat tinggi.
Kalau bicara soal iklan dari viewer, tidak ada sama sekali. Misalnya, perusahaan A mau iklan di YouTube, mereka datang dengan budget tertentu dan meminta diiklankan di channel YouTube yang rata-rata viewer-nya adalah Milenial, dan YouTube menyebarkan iklan itu di YouTuber yang sesuai kriteria tadi. Banyak pelanggan belum tentu penghasilannya jadi lebih tinggi. Tergantung kontennya sesuai tidak dengan pengiklan. Jadi relatif.
Kami jatuhnya, kan, creativepreneurship, seperti jualan di toko. Kalau lagi ramai ya ramai. Jadi kalau ditanya besaran mana, saya pun tidak tahu. Karena datangnya pekerjaan itu kami tidak bisa kontrol. Rata-rata pun tidak bisa bilang karena fluktuasinya luar biasa sekali.
Paling tinggi?
Saya tidak bisa bilang. Tapi lebih dari cukup untuk biaya hidup. Lebih besar dari pekerjaan kantoran saya dulu. Kalau saya boleh defense, besarnya pendapatan tidak sebanding dengan risiko dari pekerjaannya.
Apa risikonya?
Kami tidak pernah tahu platformnya bertahan sampai kapan. Kalau Menkominfo bilang YouTube ditutup, dalam hitungan detik, pekerjaan kami hilang. Artinya, kami tidak punya job security. Kami tidak punya jenjang karier di pekerjaan. Ini murni entrepreneurship.
Berdasarkan socialblade.com, pendapatan Anda bisa mencapai 209 ribu dolar AS per tahun. Benar?
Totally salah. Tidak ada sampai segitu sama sekali. Perbandingannya begini, Social Blade itu mengambil range. Di YouTube itu ada CPM atau cost per mille. Artinya, berapa uang yang kita dapatkan per seribu views yang ada iklannya. Social Blade tidak pernah tahu iklan di kanal saya ada berapa. Mereka hanya mengira-ngira. Kalau saya tinggal di Amerika dan semua video saya ada iklannya dan pelanggan saya besar, mungkin pendapatan saya bisa mencapai angka segitu.
Bedanya begini: perusahaan di Amerika mau mengiklan untuk orang Amerika harganya beda dengan perusahaan Indonesia yang mau mengiklan untuk orang Indonesia. Kalau bisa lihat ada tabel CPM bahwa Indonesia itu dibandingkan Amerika Serikat atau Australia hanya seperseratusnya. Bahkan untuk yang batas bawah pun, tidak sampai segitu.
Kelihatannya YouTuber itu kaya sekali tapi sebenarnya jika hanya dari view saja, itu untuk menutupi biaya produksi tidak bisa. Saya misalnya vlogger travelling. Untuk produksi saya harus beli tiket, penginapan, segala macam. Tidak semua bisa endorse. Perusahaan juga punya rencana campaign. Kalau kami mau bikin video yang disponsori, tentu ada biaya ekstra untuk produksinya lagi.
Ini, kan, Anda hitungannya freelancer. Bagaimana mekanisme pembayaran pajaknya?
Kalau bayar pajaknya, kami ikut pajak pekerja kreatif selayaknya artis yang lain. Di situ ada pekerjaannya selebriti. Dan saya menggunakan konsultan dan pajak kami lumayan, kok.
Tapi, sekali lagi, dari penghasilan YouTube sendiri itu sudah dipotong pajak. Karena biasanya begini, di YouTube itu ada perantaranya. Namanya MCN atau Multi Channel Network. Kalau YouTuber bergabung dengan ini, dan saya bergabung dengan ini, itu nantinya penghasilan yang kami dapatkan sudah langsung dipotong pajak. Jadi saat kami terima pendapatan dari YouTube itu sudah ada rinciannya berikut pajaknya. Per hari pun kelihatan penghasilannya. Jadi kami bukannya mendapatkan uang kaget.
Tapi seandainya tidak tergabung dengan MCN, YouTuber bisa melaporkan sendiri pajaknya. Tapi saya boleh bilang, penghasilan itu tidak menutup. Tekorlah istilahnya.
Apa barang endorse paling mahal yang pernah diterima?
Tiket jalan-jalan. Tidak semua konten ada endorsement. Itu artinya kami keluar biaya sendiri untuk produksi. Jadi subsidi silanglah.
Menjadi selebgram ini bukan seperti orang yang mendapat uang kaget atau orang kaya mendadak. Ini sama dengan pekerjaan lain, hanya saja bidangnya kreatif. Kelihatannya menyenangkan. Tapi kami juga harus berpikir kontennya apa. Harus ide baru terus. Semakin bagus idenya, semakin besar pula biaya produksinya. Sementara jumlah view dan tarif iklan sama saja.
Ketika kami mendapat endorse dari perusahaan, nilai yang kami dapat sudah dipotong dengan pajak. Jadi saya tinggal setor bukti pemotongan pajak itu ke konsultan saya, nanti dihitung apakah kurang bayar atau lebih bayar.
Kami semua sebenarnya sudah sangat aware. Kalau di lingkaran saya, semua bayar pajak. Kami saling berbagi dan cari tahu sendiri bagaimana mekanisme membayar pajak di industri ini. Dan kebetulan ada kawan kami, YouTuber juga dan dia orang pajak. Jadi kami sering berbagi.
Jadi, kalau dibilang influencer tidak bayar pajak, tergantung. Mungkin influencer abal-abal. Kami yang sudah menjadikan ini sebagai pekerjaan utama, kami bayar pajak. Pajak saya diberlakukan sama dengan artis, dan saya bisa bilang itu besar pajaknya dibandingkan dengan UKM.
Kalau saya bisa memberi saran, pajak kami seharusnya di bawah artis. Karena artis, kan, tidak butuh biaya produksi. Kalau kami, hitungannya entrepreneurship. Saya bukan orang yang suka protes, jadi apa pun mekanismenya saya siap taat. Tapi saya harus bilang, YouTuber dan artis itu berbeda.
Penulis: Restu Diantina Putri
Editor: Fahri Salam